Rabu, Januari 30, 2008

Filsafat Pembangunan Pendidikan

Meskipun kemajuan pendidikan bukan satu-satunya penentu kemajuan bangsa[i], tetapi ia merupakan sasaran utama dan pertama proses tahawwul wa taghayyur (transformasi dan perubahan) menuju pembentukan manusia bermutu yang mampu memikul amanah Sang Pencipta dan merealisasikan tugas-tugas kemanusiaannya untuk membangun peradaban. Dalam Islam yang menjadi fokus proses pendidikan adalah apa yang ada pada diri manusia (ma bi anfusihim). Proses itu dilakukan dengan tujuan agar terjadi perubahan fundamental pada dirinya, sehingga karakter kemanusiaannya yang fitri berkembang membentuk kesempurnaan. Tentu saja pencapaian tujuan itu, seperti telah disinggung di muka, menuntut aktivitas pendidikan yang komprehensif, menjangkau seluruh dimensi manusia meliputi aspek jasmani, ruhani, dan ‘aqlani.

Pakar pendidikan menilai, manusia mulai berinteraksi dengan aktivitas pendidikan sejak Nabi Adam As menerima pelajaran langsung tentang nama-nama dari Allah Swt (QS. 2: 31-33). Sejak itu pula manusia mulai merealisasikan proses perkembangan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Proses pendidikan dapat dipandang sebagai [suatu yang alami dalam perkembangan peradaban manusia.

Meneliti berbagaj definisi pendidikan[ii] yang dikemukakan oleh para ahli tampak jelas bahwa proses pendidikan mencakup seluruh dimensi manusia[iii]. Pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan komponen utama manusia (akal, jasad, dan qalbu) secara terus-menerus menjadi obyek proses pendidikan dalam rangka pembentukan kematangan kemanusiaannya. Pendidikan merupakan satu keniscayaan bagi setiap individi[iv].

Dalam Islam proses pendidikan bersifat seumur hidup (madal hayah),"Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahad". Pendidikan menjadi hak fundamental setiap individu[v]. Semua bangsa di dunia sepanjang sejarahnya memandang pendidikan sebagai hak dan kewajiban asasi yang harus ditegakkan secara serius[vi].

Sebagai sebuah proses pembangunan kualitas kemanusiaan, pencerdasan sejati, dan pembentukan manusia seutuhnya, pendidikan harus diarahkan untuk meningkatkan martabat manusia. Martabat tertinggi manusia yang mungkin dicapai melalui pendidikan adalah taqwa. Maka, tujuan pendidikan dalam Islam adalah terbentuknya individu muttaqi. Tanpa pendidikan yang integratif yang mencakup seluruh dimensi manusia mustahil tujuan terbentuknya individu muttaqi tercapai. Maka pendidikan seharusnya mengajarkan kemampuan berpikir, bukan semata-mata mengisi pikiran, membentuk manusia trampil berpikir saintifik dan filosofis (kritis), mengembangkan kecerdasan religius dan spiritualnya, dan secara terus-menerus melakukan pencerahan kalbunya sehingga ia sebagai manusia mampu merealisasikan amanah ibadah dan amanah risalah yang menjadi tanggung jawab kemanusiaannya. Dengan begitu ia akan menjadi orang yang terbaik, yang manfaat kebaikannya dapat dirasakan oleh manusia lain sebanyak-banyaknya.



"Sebaik-baik orang adalah yang paling bermanfaat kepada orang lain." (HR al-Qaqha'i dari Jabir)[vii].



Pendidikan adalah pembentukan manusia seutuhnya agar menjadi orang bertaqwa, maka harus pula ditekankan aktivitas mengasuh melatih, mengarahkan, membina, dan mengembangKan seluruh potensi kemanusiaannya, termasuk potensi spiritual. Dalam bahasa Arab, kata rabba yang berarti pendidikan, memiliki banyak arti. Misalnya, merawat, mendidik, memimpin, mengumpulkan, menjaga, memperbaiki, dan mengembangkan[viii].

Tentu saja proses pembentukan harus berakar kepada teori, filsafat, dan ideologi serta nilai-nilai intrinsik, terutama nilai keadilan dan keseimbangan yang merupakan dasar penciptaan manusia itu sendiri[ix]. Sedangkan keutuhan manusia pada hakikatnya ditentukan oleh sejauh mana ia mampu melengkapi dirinya dengan dimensi religius, budaya, dan ilmu pengetahuan. Melalui proses pendidikan yang transformatif dan integratif, setiap individu diharapkan dapat terbentuk keperibadiannya dan mampu mencapai puncak prestasinya sebagai insan kamil (QS. 49:13)[x].

Harus diakui, proses pendidikan sangat ditopang oleh kejelasan visi tentang individu dan masyarakat yang ideal, tentang hakikat kebenaran,keadilan, dan kemanfaatan, tentang tujuan dan misi manusia diciptakan, dan tentang realitas Tuhan, alam, manusia, dan kehidupan. Kejelasan visi tersebut dapat memberi dasar bagi transformasi pengetahuan dan pembentukan perilaku manusia pendidikan. Sedangkan keidealan individu atau masyarakat selalu diukur dengan konsistensinya dalam merealissaikan nilai prinsip-prinsip, dan ideologi yang telah menjadi keyakinan bersama dalam seluruh aspek kehidupan[xi] dan kemanfaatan keberadaannya bagi masyarakat yang lebih luas.

Kalangan ahli pendidikan umumnya memandang falsafah tradisional tentang pendidikan mencoba memberikan jawaban terhadap persoalan fundamental yang menyangkut hakikat individu tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Dalam aplikasinya pendidikan dipandang sebagai aktivitas yang dilandasi satu kesadaran untuk melakukan perubahan pada diri seseorang, baik terkait dengan perilaku pribadi (suluk fardi) maupun perilaku kolektif (suluk jama'i)nya. Proses perubahan di berbagai dimensi kemanusiaan itu terus diarahkan secara padu sehingga tumbuh keseimbangan yang menjadikan kemanusiaannya terbentuk secara utuh.

Selanjutnya falsafah pendidikan memandang tumbuh dan berkembangnya kemanusiaan manusia merupakan hasil proses pendidikan yang selalu terkait dengan hakikat sifat dasar manusia. Konsep-konsep tentang sifat dasar manusia telah memberikan kontribusi pada dunia pendidikan yang pada umumnya berkaitan dengan masalah dan tanggung jawab manusia di dunia, potensi orisinal, tingkah laku, kebebasan berkehendak, dan sebagainya.

Proses pendidikan yang benar, tepat, transformatif, efektif, dan integratif akan melahirkan individu-individu yang berkepribadian utuh, kreatif, dan mampu berperan aktif dalam memproduksi kemaslahatan yang dirasakan oleh manusia sebanyak-banyaknya. Dalam Islam, kualitas keislaman seorang muslim tidak hanya diukur oleh kesalehan pribadinya, tetapi juga oleh sejauhmana pengaruh kesalehannya itu kepada orang lain. Seorang muslim tidak dituntut hanya saleh secara pribadi[xii], tetapi juga produktif[xiii] dalam arti amal-amal baik yang dilakukannya melahirkan kebaikan yang dapat dinikmati orang lain sebanyak-banyaknya serta dapat menekan kejahatan dari orang lain[xiv] serendah-rendahnya, sehingga terbentuklah sebuah masyarakat yang saleh. Tercapainya cita-cita kolektif orang-orang beriman menuntut suasana kemasyarakatan yang saleh pula. Selanjutnya individu-individu mengantarkan suatu bangsa menjadi bangsa yang beradab, maju, dan sejahtera secara lahir batin. Sebaliknya, pendidikan yang salah, tidak tepat, dan carut-marut hanya akan membiakkan individu dan masyarakat yang bodoh, miskin, dan amoral[xv].

Dasar filosofi penyelenggaraan pendidikan dalam Islam menyiapkan generasi yang memahami generasi yang memahami eksistensi dan posisinya sebagai hamba dan wakil Allah di muka bumi, menyadari arti kemuliaan dan martabat kemanusiaan di hadapan makhluk lainnya, dan mampu merealisasikan tujuan dan risalah kemanusiaanya secara padu. Sebab melalui proses pendidikanlah manusia dapat menjalankan fungsinya yang sejati (QS. 51: 56) dan merealisasikan misi otentik penciptaannya (QS. 2: 31).

Hal itu jelas menuntut adanya sistem pendidikan yang mampu memadukan secara harmonis dan seimbang antara apa yang menjadi prinsip-prinsip yang tertuang dalam Kitab-Nya yang suci sebagai pedoman hidup (Manhaj Al-hayah) dengan seluruh ayat-ayat-Nya yang bertebaran di jagad raya (Sunan AI-Kaun) sebagai fasilitas hidup (wasa’ilul hayah). Dengan perpaduan yang harmonis dan seimbang, maka pendidikan telah membebaskan dirinya dari keterjebakan arus "sekularisasi kurikulum", ataupun kejumudan dalam arus "sakralisasi kurikulum".

Sekali lagi ditegaskan, secara individu tujuan akhir proses sendidikan dalam Islam adalah meraih kebajikan dan ketaqwaan, bukan semata-mata memperoleh ilmu dan pengetahuan. Sedangkan secara sosial, pendidikan adalah suatu usaha yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat religius yang berkualitas, mandiri, dan modern. Untuk tujuan itu diperlukan transformasi nilai, di samping transformasi ilmu pengetahuan dan kecakapan sampai membuahkan kebajikan tertinggi dan ketaqwaan. Islam adalah agama, yang sama sekali tidak menerima pandangan yang mengatakan "ilmu untuk ilmu" atau " seni untuk seni untuk semata.

Atas dasar itu pendidikan harus bersifat integratif sesuai dengan kebutuhan kemanusiaan itu sendiri[xvi]. Sebab pendidikan harus diarahkan kepada upaya pembentukan kepribadian manusia yang utuh yang mampu melakukan pengabdian kepada Pencipta, Pemelihara, dan Penguasa alam jagad raya, dan merealisasikan risalah otentiknya. Melalui proses pendidikan yang integratif sorang dapat merealisasikan cara mengimplementasikan nilai-nilaia Hahiyah dan hukum-hukum-Nya untuk kesejahteraan hidupnya.

Dalam kata lain, pusat perhatian pendidikan dalam perspektif Islam telah bagaimana membangun generasi yang memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan yang dijiwai dengan nilai-nilai Jasa'aniyah, sehingga penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan knologi pada gilirannya merupakan refleksi dari tugaskemanusiaan sebagai khalifah (QS. 2: 30) yang semuana diorientasikan pada pengabdian kepada Allah (QS. 51: 56).

Proses pendidikan yang integral dalam tataran praktis berorientasi pada penguatan tiga aspek, yakni iman, ilmu dan amal[xvii]. Tegasnya pendidikan yang terintegrasi tidak pernah dan tidak akan mendikotomikan antara kehidupan dunia-akhirat, jasmani-rohani agama-politik, individu-masyarakat, akan tetapi keseluruhari kehidupan manusia di dunia akan memiliki implikasi pada kehidupan di akhirat kelak.

Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabatsuatu bangsa. Selanjutnya melalui proses pendidikan yang bersifat integratif ini diharapkan setiap manusia memiliki keshalihan individu dan sosial dalam satu sisi, dan di sisi lain meraih kemajuan dalam bidang sains dan teknologi, sehingga terbentuk peradaban yang penuh kedamaian dan kesejahteraan.[xviii]

Pendidikan adalah hak individu dan warga negara, maka negara bertanggungjawab menyelenggarakan proses pendidikan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat untuk mengenyam pendidikan secara terpadu atas asas keadilan. Indikatornya dapat diamati pada kemampaun pemerintah dalam mendidik seluruh putera-puteri bangsa di manapun mereka berada dengan model pendidikan integratif yang bermutu, serta memberikan kesempatan yang setara dan kemudahan akses yang sama ke seluruh rakyat di manapun mereka berada. Setiap warga negara, bagaimanapun kondisi geografis dan sosial-ekonomi mereka, harus merasakan tercapainya tujuan pendidikan. Kendati demikian, proses penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab bersama antara negara, sekolah, orangtua, dan masyarakat.[xix]

Era globalisasi tak mungkin dihindari menuntut format pendidikan nasional untuk memperhatikan konsekuensi logis dari perkembangan era global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan, dan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, serta harapan tentang masyarakat dunia masa depan[xx] dengan selalu bernaung pada falsafah pendidikan yang dianut. Sebab falsafah pendidikan itu antara lain menjadi pijakan logis dan rasional tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, model pendidikan itu sendiri. Dalam aplikasinya ia harus selalu memperhatikan asas-asas psikologi, psikometri, dan paedagogi. Semua aktivitas belajar selayaknya berlandaskan kepada pencapaian tugas-tugas perkembangan dan prinsip-prinsip belajar ang meliputi hal-hal yang terkait dengan kerja kognitif, afektif, keunikan individual, motivasi, bakat, dan kecenderungan, serta tata hubungan antar individu. Semua itu kemudian akan mempengaruhi pola dan model instruksional, pengelolaan kelas, penilaian hasil belajar, pengelolaan media belajar dan sebagainya.

-----------------------
[i] Para pakar mengidentikkan pendidikan dengan taqaddumiyah (kemajuan). Mereka memandang sebuah aktivitas kependidikan yang tidak membawa fjiemajuan, bahkan sebaliknya menimbulkan kemunduran, tidak dapat dikatakan pendidikan.

[ii] Dalam kamus bahasa Arab setidak-tidaknya dapat ditemukan tiga akar kata untuk stilah tarbiyah: (1) rabba-yarbu (bertambah dan berkembang), (2) rabiya-yarba iimbuh dan berkembang), dan (3) rabba-yarubbu (memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga atau merawat, dan memperhatikan). Ketiga akar tarbiyah tersebut secara muatan dan substansinya saling berkaitan dan mendukung. Selain itu, ketiga akar kata tarbiyah tersebut digunakan pula secara luas dalam AI-Qufan dan syair-syair bahasa Arab. Di samping itu, dalam I'perbendaharaan bahasa Arab, dapat ditemukan pula beberapa kata yang searti dan senada dengan kata tarbiyyah, yaitu kata ziyadah, nas'ah, taghdiyah, ri'ayah Jdan muhafazhah (penambahan atau pembekalan, pertumbuhan, pemberian gizi, ipemeliharaan dan penjagaan). Abdurrahman AI-Bani menyatakan, dalam jagat tarbiyah selalu tercakup tiga unsur berikut: (1) menjaga dan memelihara, (2) mengembangkan bakat dan potensi sesuai dengan karakter dan karakteristik mutarabbi, dan (3) mengarahkan seluruh potensi sampai mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Dalam kamus Mu'jam Al-Wasith disebutkan, kalimat 'rabba Al-rajul waladahu', berarti merawat. Sedangkan kalimat 'rabb Al-qawma', berarti memimpin. Meskipun secara harfiah masing-masing kata-kata tersebut memiliki arti khasnya, namun dalam proses aktivitas tarbiyah, satu sama lainnya saling melengkapi dan berhubungan dalam maknanya.

[iii] Menurut para ahli bahasa pendidikan tetap dipahami sebagai sebuah upaya memperhatikan perkembangan seluruh sisi kemanusiaan anak didik dan merawatnya dengan secara bertahap, komprehensif, dan berkesinambungan. Tentu saja perhatian dan perawatan yang dilakukan seorang pendidik harus sesuai dengan perkembangan anak didik sampai ia mampu mencapai kesempurnaan. Proses tarbiyah harus mempertimbangkan watak dasar anak didik dan sesuai dengan karakter kemanusiaannya. Dalam konteks pembangunan karakter manusia muslim proses ditempuh melalui konsep-konsep llahiyah. Hanya Dialah yang memiliki kebenaran mutlak dan seluruh konsepsinya secara pasti akan sesuai dengan fitrah manusia serta seluruh kebutuhannya.

[iv] Dalam literatur Islam banyak ditemukan penggunaan istilah pendidikan yang berbeda meskipun esensinya sama. Antara lain (1) Al-lrsyad, seperti yang digunakan oleh AI-Harits AI-Muhasibi dalam bukunya yang berjudul Risalatul Mustarsyidiin, (2) AI-Tahdziib, seperti yang digunakan oleh Ibnu Miskawaih untuk bukunya Tahddzibu AI-Aklaq, (3) Al-Siyasah, sebagaimana yang dipergunakan oleh Ibnu Sina terhadap bukunya S/yasatt/s Sibyan, (4) At-Ta^d/ib, seperti yang digunakan dalam buku Ta'diib Al-Sibyaan, dan ( 5) AI-Ta'lim, sebagaimana yang digunakan oleh Al-Zurnuji dalam bukunya, Ta'lim AI-Muta'alim. Ta'lim dan ta'dib banyak digunakan Rasulullah dalam menunjuk persoalan tarbiyah. Beberapa sarjana muslim lebih banyak menyukai istilah yang sering digunakan Rasulullah seperti dikatakan dalam salah satu hadistnya, "Allah telah mendidikku, lalu Dia didik aku sebaik-baiknya." (HR. Ibnu Sam'anari Ibnu Mas'ud). "Didiklah anak-anak kalian dengan tiga macam hal, yaitu: mencintai Nabi kalian, mencintai keluarga, dan membaca AI-Qur'an, karena sesungguhnya orang yang menghafalnya kelak akan berada di bawah naungan Allah, yaitu pada hari yang tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya, berada bersama para Nabi kekasih-Nya" (HR. Al-Dailami).

[v] Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyebut pendidikan sebagai hak fundamental setiap individu dan posisinya sebagai warga negara, "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia". "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." (Pasal 31 UUD 1945).

[vi] Organisasi Konferensi Islam sejak berdirinya (1973) telah menyelenggarakan tidak kurang dari lima kali Konferensi Dunia tentang Pendidikan Isia (Makkah/1977, Islamabad/1980, Dhaka/1981, Jakarta/1982, dan Kairo/lw^ Rekomendasi yang dipandang penting yaitu melakukan klasifikasi ui | pengetahuan yang terdapat dalam wahyu (AI-Qufan dan Al-Sunnah) dan y terdapat dalam Sunnatullah yang prosesnya, menurut versi Ismail AI-Faruqi, dise Islamisasi ilmu pengetahuan.

[vii] Musnad as-Syihab al-Qadha'ijuz 4 hal. 365 no. 1140. Diletakkan al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah juz 1 hal. 425 no. 426, dihasankan di dalam Shahih al-Jam!' juz 12 hal.472 no. 5600, didha'ifkan di as-Silsilah ad-Dha'ifah juz 4 hal. 399 no. 1900, al-'ljluni menshahihkan maknanya (Kasyful Khafa' juz 1 hal 393 no. 1254

[viii] AI-Raghib AI-Asfahani dalam AI-Mufradat menyebutkan bahwa Al-rabb berarti tarbiyah yang makna lengkapnya adalah 'menumbuhkan prilaku demi munculnya prilaku yang baik yang dilakukan secara bertahap hingga mencapai batas kesempurnaan.' Lihat, Hasan Ali Hasan AI-Hijazi, AI-Fikru AI-Tarbawi 'inda Ibnu Qayyim, Dar AI-Hafizh li AI-Nasyr wa AI-Tauzi', diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Muzaidi Hasbullah dengan judul ManhaJ Tarbiyah Ibnu Qayyim, Pustakan AI-Kautsar, Jakarta, hal. 74

[ix] Firman Allah, "Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah, Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang." (QS. 82: 6-7).

[x] Dalam konteks pendidikan Rasulullah Saw memberikan arahan kepada umat I Islam agar dapat berlaku adil kepada anak-anaknya. "Berlaku adillah terhadap I anak-anak kalian, berlaku adillah terhadap anak-anak kalian, berlaku adillah tterhadap anak-anak kalian." (Diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan, Ahmad, dan Ibnu IKllbban dari AI-Nu'man Basyir).

[xi] Sehubungan dengan masalah tersebut Rasulullah Saw bersabda, "Sebaik-baik "tenerasi adalah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, lalu |rang-orang yang sesudah mereka. Setelah itu datang kaum-kaum yang kesaksian -seorang di antara mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului -aksiannya." (HR. Al-Syaikhani)

[xii] "Orang yang terpilih di antara kamu ialah orang yang paling baik akhlaknya." (HR. Bukhari dan Muslim).

[xiii] "Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya, an sejahat-jahat manusia adalah orang yang panjang umurnya dan buruk Tialnya." (HR. Ahmad).

[xiv] Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, "Orang Islam itu adalah orang png menjadikan orang-orang Islam yang lain selamat dari lisan dan tangannya."

[xv] Hal itu setidak-tidaknya diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya, "Jikalau pkiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka nendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan srbuatannya." (QS. 7: 96).

[xvi] Tentang perlunya pendidikan integratif bagi kehidupan manusia dapat merujuk ada salah satu misi Rasulullah Saw, yaitu misi pendidikan yang integratif seperti diisyaratkan dalam AI-Quf an, "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS 62:3). Di bagian lain, semangat pendidikan integratif disinggung dalam Muqadimah DUD 1945, "...melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Secara eksplisit hal itu dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional dalam Pasal 31 UUD 45, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Selanjutnya Pasal 3 UU no 20/2003 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

[xvii] Sejarah peradaban manusia membuktikan, kearifan intiuitif membuka jalan bagi perkembangan pengetahuan dan peradaban. Dalam psikologi kearifan intiutif berawal dari pengasahan otak kanan yang bertugas menangani sintetis, ritme, holisme, dan intuisi. Sedangkan otak kiri bertugas menangani hal-hal yang bersifat rasional analitis yang akan melakukan pembuktian atas capaian otak kanan. Fakta tersebut membuktikan pentingnya proses pendidikan integratif dalam pembangunan manusia seutuhnya.

[xviii] Konsep pendidikan yangterpadu, yang berdasarkan kepada konsep ilmu yang integrated merupakan keistimewaan konsep pendidikan dalam Islam. Hal itu sangat berlawanan dengan aliran pemikiran yang memisahkan ilmu ke dalam dua "water-tigh compartments" yang tidak dapat didamaikan, yang dalam istilah di Barat disebut sebagai "theology" dan "science" atau "religious knowledge" dengan "secular knowledge" atau faith dan knowledge.

[xix] Negara, dalam hal ini pemerintah, memberi dukungan, kemudahan dan perlindungan bagi terselenggaranya pendidikan. Orang tua dapat memberi masukan, membantu memperkaya proses belajar, menjadi nara-sumber, a fasilitator dalam berbagai kegiatan pendidikan. Masyarakat dapat mem bam menyediakan sumber dan fasilitas pendidikan. Konsekuensinya negara ha membangun sistem pendidikan yang komprehensif bermutu, dan berkeadilanuntuk melahirkan peserta didik yang berkembang optimal, mandiri, dan mem daya saing yang tinggi.

[xx] Agaknya perlu diperhatikan empat pilar pendidikan yang diajukan oleh Komisi Internasional Untuk Pendidikan Abad Dua Puluh Satu dalam laporannya kepada UNESCO, yaitu (1) Learning to live together: belajar untuk memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya, (2) Learning to know: penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya learning to how, (3) Learning to do: belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerjasama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi, dan (4) Learning to be: belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama. Keempat pilar pendidikan masa depan ini kemudian diterjemahkan ke dalam format sekolah yang diharapkan mampu membantu siswa-siswi mereka untuk menguasai kompetensi yangberguna bagi kehidupan di masa depan, yaitu: kompetensi keagamaan, kompetensi | akademik, kompetensi ekonomi, dan kompetensi sosial pribadi (lebih jauh lihatTim FIP UPI, 2001. "Pilot Project Sekolah Efektif , halaman. 23-24.

Tidak ada komentar: