Kamis, Januari 17, 2008

Kepemimpinan Visioner

oleh Fahmy Alaydroes

PENDAHULUAN

Kepemimpinan adalah suatu konsep yang sangat dekat dengan kesuksesan dalam mencapai tujuan suatu organisasi. Kepemimpin akan sangat mewarnai, mempengaruhi bahkan menentukan bagaiman perjalanan suatu organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya.

Membahas topik kepemimpinan seperti mengarungi samudera luas yang mendapat pasokan air dari ratusan sungai yang tak pernah kering. Selalu saja saja ada perkembangan dalam organisasi pada setiap jaman yang menuntut karakteristik kepemimpinan tertentu. Perkembangan teori kepemimpinan telah banyak dimunculkan oleh para pakar, antara lain: kepemimpinan karismatik, kepemimpinan militeristik, kepemimpinan situasional, kepemimpinan transformasional, hingga kepemimpinan visioner.

Pengertian konsep kepemimpinan sendiri mendapat banyak perhatian dari para ahli. Dubin (1968:385) dalam Megan Crawford (2005:41) melihat kepemimpinan sebagai latihan otoritas dan pembuatan keputusan, sementara Fiedler (1967:8) memandang pemimpin sebagai individu di dalam kelompok yang diberi tugas untuk mengatur dan mengkoordinasi aktivitas-aktivitas kelompok yang berhubungan dengan tugas’. A.B. Susanto (2007 : 5) mengatakan bahwa tugas seroang pemimpin adalah membuat program visioning yang mampu mengutarakan visi dan misinya, pemimpin yang efektif dalam pandangan peter F. Drucker (1996) dalam Bernardine R Wijaya dan Susilo Supardo (2006:5) adalah mereka tidak bertanya apa yang saya kehendaki, melainkan apa yang perlu dilakukan, mereka bertanya apa yang dapat dan harus saya lakukan untuk membuat perbedaan, mereka selalu bertanya apa misi dan tujuan organisasi, mereka mempunyai toleransi yang kuat terhadap kebinekaan orang, tidak takut kepada kekuatan yang dimiliki rekan-rekannya, mereka memiliki keyakinan diri bahwa diri mereka adalah tipe orang yang dihormati dan dipercaya. Dengan demikian mereka memperkuat diri untuk tidak melakukan hal-hal yang populer tetapi tidak benar.

Dalam era yang sangat cepat berubah, dimana segala aspek yang mempengaruhi perkembangan organisasi menajdi begitu sangat besar pengaruhnya, kepemimpinan yang mampu berfikir jauh ke depan, mampu mengantisipasi segala perubahan dan perkembangan zaman, di era yang sangat kompetitif dan tuntutan kebutuhan yang semakin beragam, rinci dan spesifik menjadi sangat relevan. Organisasi membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengembangkan organisasinya dengan baik sampai jauh ke depan, melampaui usia zamannya. Kepemimpinan visioner (visionary leadership) merupakan syarat mutlak bagi organisasi yang ingin berkembang sampai puluhan tahun ke depan.

Dalam makalah yang ringkas ini, penulis akan lebih focus kepada pemaparan konsep kepemimpinan visioner. Makalah akan membahas pengertian dan karakteristik kepemimpinan visioner serta langkah-langkah strategis kepemimpinan visioner yang merujuk kepada pendapat para ahli. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kepemimpinan visioner, pada bagian akhir makalah digambarkan sekilas figure beberapa tokoh pemimpin dunia yang penulis anggap dapat memiliki karakteristik kepemimpinan visioner.

PENGERTIAN PEMIMPIN VISIONER

Seth Kahan (2002)[1], menjelaskan bahwa kepemimpinan visioner melibatkan kesanggupan, kemampuan, kepiawaian yang luar biasa untuk menawarkan kesuksesan dan kejayaan di masa depan. Seorang pemimpin yang visioner mampu mengantisipasi segala kejadian yang mungkin timbul, mengelola masa depan dan mendorong orang lain utuk berbuat dengan cara-cara yang tepat. Hal itu berarti, pemimpin yang visioner mampu melihat tantangan dan peluang sebelum keduanya terjadi sambil kemudian memposisikan organisasi mencapai tujuan-tujuan terbaiknya.

Corinne McLaughlin (2001)[2] mendefinisikan pemimpin yang visioner (Visionary leaders) adalah mereka yang mampu membangun ‘fajar baru’ (a new dawn) bekerja dengan intuisi dan imajinasi, penghayatan, dan boldness. Mereka menghadirkan tantangan sebagai upaya memberikan yang terbaik untuk organisasi dan menjadikannya sebagai sesuatu yang menggugah untuk mencapai tujuan organisasi. Mereka bekerja dengan kekuatan penuh dan tercerahkan dengan tujuan-tujuan yang lebih tinggi.Pandangannya jauh ke depan. Mereka adalah para social innovator, agen perubah, memandang sesuatu dengan utuh (big picture) dan selalu berfikir strategis.

Pentingnya seorang pemimpin memiliki kemampuan menggambarkan dengan jelas tujuan-tujuan yang akan diraihnya di masa depan adalah syarat utama bagi seorang pemimpin yang visioner. Aribowo Prijosaksono dan Roy Sembel (2007)[3] dalam makalahnya menyebutkan bahwa kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas.Visi yang akan menjadi daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Lebih jauh Prijosaksono dan Sembel mengatakan bahwa ada dua aspek mengenai visi, yaitu visionary role dan implementation role. Artinya seorang pemimpin, selain membangun suatu visi bagi organisasinya juga memiliki kemampuan untuk menjabarkan visi tersebut ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang merupakan upaya untuk mencapai visi itu. Oleh karena itu seorang pemimpin yang visioner adalah seorang yang sangat responsive. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka yang dipimpinnya. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya.

Dari berbagai pendapat tentang kepemimpinan visioner tersebut, penulis memandang bahwa kepemimpinan yang visioner merupakan kepemimpinan yang mampu mengembangkan intuisi, imajinasi dan kretaifitasnya untuk mengembangkan organisasinya. Dia memiliki kemampuan untuk memimpin menjalankan misi organisasinya melalui serangkaian kebijakan dan tindakan yang progressif menapaki tahapan-tahapan pencapaian tujuannya, adaptif terhadap segala perubaahan dan tantangan yang dihadapi, serta efisien dan efektif dalam pengelolaan segala sumberdaya yang dimilikinya. Pemimpin yang visoner menjalankan kepemimpinannya dengan dukungan penuh dari seluruh staf dan semua pihak yang terkait dengannya, disebabkan kepiawaiannya dalam meyakinkan mereka bahwa apa yang mereka laksanakan akan memberikan yang terbaik buat semua pihak.

KARAKTERISTIK PEMIMPIN VISIONER

Kepemimpinan visioner memiliki ciri-ciri yang menggambarkan segala sikap dan perilakunya yang menunjukkan kepemimpinannya yang berorientasi kepada pencapaian visi, jauh memandang ke depan dan terbiasa menghadapi segala tantangan dan ressiko. Diantara cirri-ciri utama kepemimpinan visioner adalah:

1. Berwawasan ke masa depan, bertindak sebagai motivator, berorientasi pada the best performance untuk pemberdayaan, kesanggupan untuk memberikan arahan konkrit yang sistematis[4].

2. Berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan selalu siap menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin visioner juga menunjukkan perhitungan yang cermat, teliti dan akurat. Memandang sumber daya, terutama sumberdaya manusia sebagai asset yang sangat berharga dan memberikan perhatian dan perlindungan yang baik terhadap mereka

3. Mampu menggalang orang lain untuk kerja keras dan kerjasama dalam menggapai tujuan, menjadi model (teladan) yang secara konsisten menunjukkan nilai-nilai kepemimpinannya, memberikan umpan balik positif, selalu menghargai kerja keras dan prestasi yang ditunjukkan oleh siapun yang telah memberi kontribusi[5]

4. Mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah, mengelola ‘mimpi’ menjadi kenyataan, mengajak orang lain untuk berubah, bergerak ke ‘new place’,[6] . Mampu memberi inspirasi, memotivasi orang lain untuk bekerja lebih kreatif dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan situsi dan kondisi yang lebih baik.

5. Mampu mengubah visi ke dalam aksi, menjelaskan dengan baik maksud visi kepada orang lain, dan secara pribadi sangat commited terhadap visi tersebut[7].

6. Berpegang erat kepada nilai-niliai spiritual yang diykininya. Memiliki integritas kepribadian yang kuat, memancarkan energy, vitalitas dan kemauan yang membara untuk selalu berdiri pada posisi yang segaris dengan nilai-nilai spiritual. Menjadi orang yang terdepan dan pertama dalam menerapkan nilai-nilai luhur, sebagimana yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi: “I must first be the change I want to see in my world.”

7. Membangun hubungan (relationship) secara efektif, memberi penghargaan dan respek. Sangat peduli kepada orang lain (bawahan), memandang orang lain sebagai asset berharga yang harus di perhatikan, memperlakukan mereka dengan baik dan ‘hangat’ layaknya keluarga. Sangat responsive terhadap segala kebutuhan orang lain dan membantu mereka berkembang, mandiri dan membimbing menemukan jalan masa depan mereka

8. Innovative dan proaktif dalam menemukan ‘dunia baru’. Membantu mengubah dari cara berfikir yang konvensional (old mental maps) ke paradigma baru yang dinamis. Melaklukan terobosan-terobosan berfikir yang kreatif dan produktif. (‘out-box thinking’). Lebih bersikap atisipatif dalam mengayunkan langkah perubahan, ketimbang sekedar reaktif terhadap kejadian-kejadian. Berupaya sedapat mungkin menggunakan pendekatan ‘win-win’ ketimbang ‘win-lose’.

STRATEGI TINDAKAN KEPEMIMPINAN VISIONER

Frank Martinelly (2007) menguraikan startegi bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang visioner. Menurutnya ada 5 langkah yang semstinya dilakukan[8]:

Strategy 1
– Fokus kepada Tujuan Organisasi

Seluruh tindakan dan pengambilan keputusan harus di arahkan kepada semata-mata upaya pencapaian tujuan final dari organisasi. Hal ini dilakukan guna menghindari segala kecenderungan dan ‘godaan’ penyitaan energi dan pemborosan sumber daya kepada hal-hal kecil dan tidak prinsip yang mungkin timbul. Untuk menjaga agar semua rencana aksi focus kepada tujuan organisasi, memerlukan kekompakkan dan pemeliharaan hubungan antara pimpinan dan seluruh staff/karyawan.

Strategy 2 – Membuat Rencana Jangka Panjang

Permusan jangka panjang akan menuntun kepada langkah yang jelas sampai 5-10 tahun ke depan, siapa-siapa saja yang akan memimpin dan bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan tersebut, kompetensi kepemimpinan yang bagaimana yang diperlukan, lalu bagimana disain pengembangan kepemimpinannya?. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini perlu membentuk semacam komite yang ditugaskan untuk menyiapkan langkah-langkah strategis pencapaian tujuan jangka panjang, yang lingkup tugasnya antara lain: melakukan rekrutmen, seleksi, orientasi, pelatihan, performance assessment dan penetapan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Strategy 3 – Mengembangkan Visi bagi masa depan organisasi.

Kunci perumusan visi adalah menjawab pertanyaan: apabila kita menginginkan dan bermimpi akan seperti dan menjadi apa organisasi kita kelak di kemudian hari?. Begitu rumusan visi telah dibuat, maka seharusnya visi tersebut akan menjadi inspirasi bagi seluruh aktivitas organisasi, baik dalam rapat-rapat, dalam perbincangan, dalam menghadapi segala tantangan dan peluang, dalam arena kerja. Begitu visi telah dirumuskan, maka saat itu pula, visi disampaikan ke seluruh pihak terkait di dalam organisasi, bahkan ke ruang-ruang public di luar organisasi.

Strategy 4
– Selalu berada dalam kondisi siap dan dinamis untuk perubahan.

Selalu siap berubah dengan cepat akan terbantu dengan menyajikan informasi-informasi mutakhir tentang segala perubahan yang terjadi di luar organisasi yang berpotensi berdampak kepada organisasi 3-5 tahun ke depan. Dorong dan fasilitasi anggota orgasnisasi untuk membaca, mendengar dan mencari tahu segala hal yang terkait dengan kejadian-kejadian dan berita yang relevan dengan tuntutan perubahan. Kemudian setelah itu munculkan pertanyaan yang menantang: sejauhmana organisasi mampu secara efektif merespon perubahan dan kecenderungan-kecenderungan tersebut? Bagaimana pula organisasi lain yang sejenis menyiapkan diri mereka menghadapi perubahan-perubahan ini? Pertanyaan-pertanyaan iti seyogyanya akan dapat memicu dan memacu anggota organisasi untuk berfikir dan memposisikan diri mereka untuk siap berubah.

Strategy 5 – Selalu mengetahui perubahan kebutuhan konstituen/pelanggan

Keinginan dan kebutuhan pelanggan seringkali mengalami perubahan. Oleh karena itu, seharusnya organisasi menyediakan informasi-infromasi aktual yang terkait dengan hal ini. Survey kepuasan pelanggan, kontak langsung dengan pelanggan, mengefektifkan layanan ’customer care’, adalah beberapa cara yang dapat dilakukan agar orgnisasi selalu mengetahui harapan dan keinginan pelanggan yang baru. Dengan demikian organisasi akan selalu siap untuk melakukan perubahan dan perbaikan untuk menjaga kepuasan pelanggan.

Sementara itu, Robert Starrat (1995)[9] menekankan pentingnya melakukan pelembagaan visi dengan cara selalu mengkaitkannya dala setiap pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, penyusunan prosedur pelaksanaan program, langkah-langkah evaluasi. Bahkan menurutnya, sampai pada isi kurikulum (dalam lembaga pendidikan), penganggaran (budgeting) seharusnya juga mencantumkan visi dalam dokumen-dokumen yang terkaitnya. Menurutnya, kalau hal ini tidak dilakukan, visi yang telah dicanangkan secara perlahan akan kehilangan kredibilitasnya.

Di atas segalanya dari sekian banyak strategi, seorang pemimipin harus mampu menciptakan terlebih dahulu iklimdan budaya untuk suatu perubahan. Kepada seluruh pihak terkait, pemimpin harus terus dan sering, dengan antusias, menyuarakan pentingnya perubahan demi kebaikan,mendorong semangat kepada seluruh lini, mengungkapkan contoh-contoh kesuksesan, memberikan teladan dan tentu saja harus sering nampak bekerja keras bersama mereka. Pada sisi yang lain, perlu juga diperhatikan bahwa mengawal perubahan memerlukan kesabaran dan kemakluman akan berbagai hambatan materil ataupun non materil. Seringkali didapatkan berbagai kesalahan dan hambatan psikologis di awal-awal perubahan. Pada masa-masa transisi, pemimpin harus bersabar, mendampingi seluruh staff dengan bijaksana, mudah memberi bantuan dan arahan.

KEPEMIMPINAN VISIONER DALAM SEKOLAH

Kepala sekolah merupakan posisi yang sangat penting dalam suatu sekolah. Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang bersifat unik karena sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yang kompleks dan unik tersebut, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. “Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah.” [10]

Secara sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seseorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadinya interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para siswa. “Kepala sekolah adalah mereka yang banyak mengetahui tugas-tugas mereka dan mereka yang menentukan irama bagi sekolah mereka”[11]. Rumusan tersebut menunjukkan pentingnya peranan kepala sekolah dalam menggerakkan kehidupan sekolah guna mecapai tujuan. Studi keberhasilan kepala sekolah menunjukkan bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah. Kepala sekolah yang berhasil adalah kepala sekolah yang memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi kompleks yang unik, serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.

Kualitas Kepala Sekolah yang visioner[12]

Setiap jabatan menggambarkan status yang diemban pemegangnya. Status itu, pada gilirannya, menunjukkan peran yang harus dilakukan pejabatnya. Peran utama yang harus diemban oleh kepala sekolah yang membedakannya dari jabatan-jabatan kepala lainnya adalah peran sebagai pemimpin pendidikan. Kepemimpinan pendidikan mengacu pada kualitas tertentu yang harus dimiliki kepala sekolah untuk dapat mengemban tanggung jawabnya secara berhasil. Kepala sekolah harus tahu persis apa yang ingin dicapainya (visi) dan bagaimana mencapainya (misi). Kepala sekolah yang visioner sangat memahami betapa pentingnya mengajak semua pihak terkait dalam sekolahnya untuk bersama-sama mewujudkan visi yang telah dirumuskan bersama. Implikasi sifat visioner, kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi untuk melaksanakan misi guna mewujudkan visi itu, dan selanjutnya kepala sekolah juga harus memiliki sejumlah karakter tertentu yang menunjukkan integritasnya.


Visi dan Misi

Kepala sekolah yang bertanggung jawab berusaha mengetahui visi sekolahnya. Jika belum ada, mereka akan berusaha merumuskannya dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Visi itu kemudian disosialisasikan sehingga menjadi cita-cita bersama. Selanjutnya ia akan berusaha secara konsisten untuk terus berupaya menggalang komitmen untuk mewujudkan visi itu. Ia tidak akan berdiam diri membiarkan visi itu menjadi rumusan indah yang menghiasi dinding kantornya..

Kompetensi

Kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlihatkan seseorang ketika melakukan sesuatu. Memahami visi dan misi serta memiliki integritas yang baik saja belum cukup. Agar berhasil, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Apa saja kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah? Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002).

Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah.

Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf.

Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.

Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.

Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas.

Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.

Integritas

Integritas adalah ketaatan pada nilai-nilai moral dan etika yang diyakini seseorang dan membentuk perilakunya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat. Ada ungkapan yang bagus untuk memahami pengertian integritas: integritas Anda tidak diukur dari kemampuan Anda menaklukkan puncak gunung, tetapi diri Anda sendiri. Setidaknya ada sejumlah ciri yang menggambarkan integritas kepala sekolah: dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali.

Dapat dipercaya (amanah). Seorang kepala sekolah haruslah orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu diperolehnya secara sukarela, tidak dengan meminta apalagi memaksa orang lain untuk mempercayainya. Kepala sekolah tidak perlu berpidato di depan para guru, murid, atau orang tua murid bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya. Perilakunya sehari-hari telah menyampaikan informasi yang akurat tentang keamanahan itu. Kepala sekolah yang dapat dipercaya memiliki kejujuran yang tidak diragukan.

Konsisten. Kepala sekolah yang konsisten dapat diandalkan. Kepala sekolah seperti ini tidak mencla-mencle, perbuatannya taat asas dengan perkataannya. Kepala sekolah seperti ini tidak bermuka banyak. Ia mengoperasionalkan kebijakan pendidikan secara tegas dan bijaksana, dan tidak perlu menjadi anggota bunglon sosial untuk mengamankan kebijakan itu.

Komit. Kepala sekolah yang komit, terikat secara emosional dan intelektual untuk mengabdikan diri sepenuhnya bagi kepentingan anak didiknya. Kepala sekolah seperti ini tahu persis bahwa tanggung jawabnya tidak mungkin dapat dipikulnya setengah-setengah. Pekerjaan sebagai kepala sekolah baginya bukan pekerjaan paruh waktu. Ia tidak boleh merangkap-rangkap pekerjaannya dengan pekerjaan lain, atau menjadi kepala sekolah di lebih dari satu tempat.

Bertanggung jawab. Kepala sekolah memiliki kewajiban sosial, hukum, dan moral dalam menjalankan perannya. Kepala sekolah yang berintegritas tidak akan menghindar apalagi lari dari tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang mengutamakan kepentingan anak didiknya sadar betul bahwa secara sosial, hukum, dan moral ia harus berperilaku yang dapat dipertanggungjawabkan.

Secara emosional terkendali. Kepala sekolah yang berkecerdasan emosi tinggi sangat menyadari pengaruh emosinya dan emosi orang lain terhadap proses pemikirannya dan interaksinya terhadap orang lain. Kepala sekolah seperti ini mampu mengaitkan emosi dengan penalaran, menggunakan emosi untuk memfasilitasi penalaran dan secara cerdas menalarkan emosi. Dengan kata lain, ia menyadari bahwa kemampuan kognitif seseorang diperkaya dengan emosi dan perlunya emosi dikelola secara kognitif.

KESIMPULAN

Kepemimpinan sangat berpengaruh dalam proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah, agar pengaruh yang timbul dapat meningkatkan kinerja personil secara optimal. Maka pemimpin harus memiliki wawasan dan kemampuan dalam melaksanakan gaya kepemimpinan.

Kepemimpinan visoner adalah kepmimpinan yang mampu menggerakkan seluruh sumberdaya menjalankan misi agar dapat mendekati visi yang ditetapkan. Kepemimpinan visioner memahami wawasan jauh kedepan dan memiliki kemampuan membawa organisasinya berkembang dan mampu menghadapi segala tantangan zaman.

Lembaga sekolah memrlukan pemimpin (kepala sekolah) yang visioner, yaitu kepala sekolah yang berorientasi pada upaya pencapaian visi yang telah ditetapkan dengan mengajak seluruh pihak untuk secara efektif menggapainya melalui berbagai program dan kegiatan yang produktif.

REFERENSI

Hughes, Richard L, et al., 2006. “Leadership. Enhancing the Lesson of Experience”..

Int’l ed. Boston: Mc Graw Hill

Mulyasa, E. 2004. “Menjadi Kepala Sekolah Profesional”. Bandung: Rosda Karya

www.jaygary.com/visionary_leadership:

www.sedl.org/change/leadership/history.html

www.teal.org.uk/Trainingbox/vision.pdf:
www.createthefuture.com

www.vtaide.com/png/ERIC/Visionary -Leadership.htm

[1] “Visionary Leadership”

[2]

[3] Aribowo Prijosaksono dan Roy Sembel, artikel. “Makna Kepemimpinan” . Tersedia di: http:// agungadiono.blogspot.com

[4] Naskah Pidato Pengarahan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di depan jajaran aparatur negara propinsi Nusa Tenggara Barat, 5 Maret 2004

[5] www.jaygary.com/visionary_leadership: “Visionary Leadership in World Futures” by Jay Gary, Sep 11, 2005

[6] http://www.sedl.org/change/leadership/history.html

[7] http://www.teal.org.uk/Trainingbox/vision.pdf: “Visionary Leadership”
[8] Martinelli, Frank, “ Encouraging Visionary Board Leadership”, The Center for Public Skills Training. http://www.createthefuture.com

[9] HOW DO LEADERS FACILITATE VISION? http://www.vtaide.com/png/ERIC/Visionary -Leadership.htm

[10] Wahjosumidjo. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h. 349.

[11] James M Lipham. 1985. The Principal Concepts, Competencies, and Cases. New York: Longman Inc, h. 123

[12] Sebagaimana diuraikan dalam http://mkkssma.wordpress.com/2007/03/29/dicari-kepala-sekolah-yang-profesional/

Read More/baca selengkapnya..

Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa

oleh Drs. Fahmy Alaydroes, psi., MM, MEd.[1]

Pendahuluan

Motivasi belajar (motivation to learn) menentukan kualitas interaksi siswa dengan kegiatan di kelas. Perhatian, respons dan kesungguhan mengerjakan tugas-tugas belajar menjadi lemah, dan pada gilirannya akan berakibat pada rendahnya prestasi akademik. Sebaliknya, apabila motivasi belajar anak tinggi muncul gairah dan semangat belajar dalam yang tampil dalam bentuk perilaku antusias dalam mengerjakan berbagai tugas, dan akhirnya akan mendongkrak prestasi akademik.

Untuk meningkatkan motivasi para siswa, seorang guru haruslah memahami teknik-teknik membangkitkan motivasi. Teknik-teknik ini mengacu kepada prinsip-prinsip dan teori-teori dasar tentang motivasi. Dengan pemahaman itu, guru dapat menemukan cara terbaik untuk meningkatkan motivasi para siswa. Motivasi dapat berasal dari faktor eksternal yang disebut motivasi ekstrinsik dan dapat juga berasal dari individu itu sendiri, yaitu motivasi intrinsik. Kedua jenis motivasi ini secara signifikan memainkan peran dalam mendorong perilaku individu.

Esai ini akan menjelaskan tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik dan penjelasan tentang bagaimana para guru dapat mengembangkan masing-masing untuk memotivasi para siswa untuk belajar. Kemudian, esai ini juga akan menjelaskan kelebihan dan kekurangan masing-masing motivasi untuk memotivasi para siswa.

Pengertian

Motivasi Ekstrinsik

Term ‘ekstrinsik’ menunjukkan bahwa motivasi ini terkait dengan faktor-faktor eksternal. Dalam perspektif behavioral, motivasi muncul karena faktor-faktor eksternal seperti penghargaan (rewards) atau penghukuman (punishment). Alberto dan Troutman[2] (berpendapat bahwa motivasi ekstrinsik yang dikembangkan dengan memberikan stimulus yang menyenangkan atas suatu perilaku tertentu yang dianggap kesenangan oleh siswa dan hal ini akan meningkatkan perilaku tersebut. Santrock (2001) menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik berkenaan dengan insentif eksternal seperti penghargaan dan penghukuman. Elliot et al (1999, h. 333) berpendapat bahwa motivasi ekstrinsik disebabkan oleh penghargaan dan dorongan eksternal atas para siswa. Ryan dan Deci (1999, h. 55) mendefinisikan motivasi ekstrinsik sebagai “sebuah konstruk berkenaan dengan aktifitas apapun juga dilakukan agar dapat mencapai sejumlah hasil yang dapat dipisahkan.” Dengan definisi dan pandangan ini, motivasi ekstrinsik jelas disebabkan oleh dorongan eksternal dari orang lain.

Untuk mengilustrasikan konsep ini, misalnya, seorang guru SD menerapkan sebuah sistem penghargaan (reward system) di kelas. Kepada para siswa, dia menjelaskan apabila mereka dapat menyelesaikan 10 soal matematika dengan baik dua hari kemudian, maka mereka akan mendapatkan sebuah game VCD baru. Dengan penghargaan eksternal ini, guru SD itu berupaya memotivasi para siswa untuk belajar matematika dengan baik. Dengan demikan, apabila sistem ini bekerja efektif, maka motivasi ekstrinsik akan berkembang pada para siswa. Di tempat kerja, motivasi ekstrinsik terlihat apabila para pegawai bekerja dengan lebih produktif karena pihak manajemen telah menaikkan upah mereka. Di universitas para siswa belajar keras karena mereka ingin mendapatkan pekerjaan yang baik di masa depan.

Motivasi Intrinsik

Ryan dan Deci (1999, h. 57) mendefinisikan motivasi intrinsik sebagai “melakukan suatu aktifitas untuk kepuasan inheren daripada untuk mencapai hasil tertentu yang dapat dipisahkan.” Orang akan berperilaku untuk kesenangan atau mengambil resiko apabila dimotivasi secara intrinsik daripada karena dorongan eksternal, tekanan atau penghargaan. Santrock (2001, h. 397) juga mengatakan bahwa motivasi intrinsik disebabkan oleh faktor-faktor internal, seperti kebutuhan pencapaian, penentuan diri, keingintahuan, tantangan dan berkarya. Para siswa belajar bersungguh-sungguh karena secara internal mereka dimotivasi untuk mencapai standar tinggi dalam pekerjaan mereka. Sementara itu, Elliot, Kratochwill, Liitlefield dan Travers (1999, h. 333) menyatakan bahwa motivasi intrinsik berarti kehendak para siswa sendiri belajar untuk mencapai tujuan spesifik tanpa kebutuhan atas dorongan eksternal. Berkaitan dengan menghidupkan motivasi intrinsik, Stipek (1998, h. 117) menyatakan bahwa pada dasarnya manusia secara lahiriah cenderung “(1) mencari peluang untuk mengembangkan kompetensi dan (2) mencari kesenangan baru – peristiwa dan aktifitas yang agak menyimpang dari harapan mereka; dan mereka juga (3) mempunyai kebutuhan lahiriah secara otonom dan melakukan aktifitas atas kemauan mereka sendiri.”

Selain itu, Paul Chance (lihat internet: http://seamonkey.ed.asu.edu/~jimbo/..) mendeskripsikan penghargaan intrinsik secara menakjubkan: “Kita belajar untuk melepaskan anak panah dengan melihat berapa dekat anak panah itu dengan target, belajar mentipekan dengan melihat kata-kata yang benar yang muncul di layar komputer, belajar memasak dari penglihatan mata yang menyenangkan, wewangian dan rasa sedap yang dihasilkan oleh usaha kulinari kita; belajar membaca dari memahami yang kita peroleh dari kata-kata yang dicetak dan belajar untuk memecahkan teka-teki dengan mencari solusi.”

Untuk melihat konsep ini lebih jelas lagi, mari kita lihat sebuah contoh sebagai ilustrasi yang dikutip oleh Santrock (2001, h. 394). Terry Fox, seorang pemuda warga negara Kanada, melakukan lari jarak jauh terbesar dalam sejarah. Dia berlari melintasi Kanada sejauh 5.359 mil dalam cuaca yang buruk, angin kencang, hujan deras, bersalju dan jalan-jalan yang ditutupi es dengan bantuan alat penyangga (prosthetic limb). Sebelum melakukan lari bersejarah itu, dia kehilangan satu kakinya karena penyakit kanker. Dia menyelesaikan lari yang bersejarah itu karena ingin melakukan pengumpulan dana untuk penelitian kanker. Terry Fox adalah orang yang punya motivasi intrinsik.

Kelebihan dan Kekurangan Motivasi Ekstrinsik


Dalam praktek pendidikan, mempergunakan “grades”, “high test scores”, “award”, “teacher or instructor attention” yang merupakan bagian dari teknik-teknik untuk memobilisasi motivasi ekstrinsik adalah suatu yang lazim. Glaser dan Cooley, 1973 (Wlodkowski, 1986, h. 56) menyatakan bahwa dengan mempergunakan penghargaan dalam berbagai bentuknya secara efektif diyakini sebagai sebuah variabel penting dalam desain instruksional kelas. Selain itu, Webb, Currington & Guthrie (lihat di Stipek 1999, h. 27) telah mengamati bahwa penerapan prinsip-prinsip atas penghargaan telah lazim dilakukan di sekolah Amerika sebagai insentif untuk pencapaian akademik. Kepada siswa terbaik, mereka memberikan predikat sebagai “siswa terbaik tahun ini,” mereka biasanya memberikan vouchers boneka dan hamburger serta beasiswa. Dalam hal ini, kita dapat melihat insentif-insentif ini sebagai salah satu jenis untuk penegasan kembali (reinforcement) dan umum digunakan dalam setting pendidikan.

Kemudian, apabila memotivasi anak-anak pada kelompok usia awal sekolah (4-6 tahun), maka jauh lebih efektif apabila kita memobilisasi motivasi ekstrinsik ini melalui berbagai jenis sistem penghargaan. Dalam konteks membangun perkembangan moralitas pada anak-anak, Newman dan Newman (1995) berpendapat bahwa suatu sistem penghargaan dan penghukuman eksternal adalah suatu kontribusi yang signifikan.

Goodenow pada tahun 1992 seperti yang dikutip oleh Elliot et al (1999) menemukan pada penelitiannya (atas 301 siswa SMU kulit putih, kulit hitam, keturunan Amerika Latin) bahwa konteks sosial mempengaruhi baik faktor motivasi maupun pencapaian. Penelitian ini telah membuktikan bahwa konteks sosial telah berfungsi sebagai konsekuensi. Lingkungan sosial yang dianggap sebagai suatu kondisi yang baik untuk proses belajar atau konteks ruang kelas, dikatakan dapat merupakan sebagai konsekuensi dari perilaku belajar. Para siswa dalam penelitian ini mempunyai perasaan yang puas dan mendapatkan kesenangan dengan teman-temannya, dengan lingkungan sosialnya dan perasaan yang puas ini adalah suatu stimulus yang baik untuk meningkatkan motivasi para siswa.

Dengan kata lain, selain berbagai kelebihan itu, kita juga harus memahami bahwa memobilisasi motivasi eksternal dapat menyebabkan situasi yang merusak. Berbagai studi telah mengungkapkan bahwa dalam hal tertentu, mempergunakan faktor-faktor eksternal untuk memotivasi siswa untuk belajar mempunyai efek negatif tertentu. Berbagai studi itu mengungkapkan sebagai berikut ini:

Yang pertama, Penghargaan dapat menurunkan proses belajar. Lepper et al., 1973 (Santrock, 2001) pada studinya telah menemukan bahwa para siswa yang punya kepentingan yang kuat dalam bidang seni dan tidak mengharapkan mengdapatkan penghargaan lebih banyak mempergunakan waktunya untuk mata pelajaran menggambar daripada siswa yang juga mempunyai minat yang tinggi dalam bidang seni tetapi mereka tahu akan diberikan penghargaan atas mata pelajaran menggambar. Dari studi ini, kita dapat memahami bahwa acapkali penghargaan secara spesifik memindahkan atau mengalihkan perhatian atau konsentrasi para siswa dari bidang yang harus dipelajari karena faktor penghargaan dan secara tepat hal ini dapat mengganggu atau merusak proses belajar itu sendiri.

Yang kedua, pemberian peringkat (grades) tidak efektif untuk sebagian anak pada kelas-kelas dini di sekolah dasar. Stipek (1998) menyatakan bahwa penghargaan yang diterapkan di ruang-ruang kelas di Amerika Serikat tidak secara universal efektif. Dia memberikan contoh bahwa memberikan peringkat (grades) tidak begitu efektif karena sebagian anak di kelas-kelas dini SD karena anak-anak belum punya nilai dalam faktor peringkat (grades).

Yang ketiga, penghargaan mempunyai efek negatif atas keinginan individu untuk mencoba tugas-tugas yang menantang. Harter pada tahun 1978 dan Kohn pada tahun 1933 (Stipek, 1998) telah mengkaji bahwa sebagian anak-anak yang diberikan penghargaan ekstrinsik (extrinsic reward) untuk pilihan jawaban yang benar atas soal-soal yang kurang sulit secara signifikan daripada anak-anak yang tidak diberikankan penghargaan (rewards). Anak-anak hanya mencoba untuk mendapatkan penghargaan dengan menjawab soal-soal tanpa memperhatikan soal-soal itu apakah sulit atau tidak. Dengan kata lain, mereka memilih soal-soal yang lebih mudah. Selain itu, Burger tahun 1980 (Beck, 1983, h. 188) telah mengungkapkan pada eksperimennya bahwa penghargaan eksternal kadang-kadang mengurangi motivasi intrinsik.

Yang keempat, penghargaan dapat mempertahankan perilaku tertentu hanya dalam jangka pendek. Stipek (1998) berpendapat bahwa perilaku yang diberikan penghargaan, biasanya terjadi hanya pada kondisi penghargaan (reward condition) dan hal ini hanya bertahan dalam jangka pendek. Apabila penghargaan itu tidak diberikan dalam jangka panjang, maka perilaku itu akan menghilang. Kemudian, Kazdin dan Bootzen pada tahun 1972 (Wlodkowski, 1986) pada studi mereka, mengungkapkan bahwa perilaku yang dipelajari dengan baik dan dikontrol oleh penguatan ekstrinsik (extrinsic reinforcement) acapkali tidak dapat dialihkan ke lingkungan alamiah dan tidak terkontrol.

Dari kelebihan dan kekurangan motivasi ekstrinsik tersebut, para guru sebaiknya lebih hati-hati apabila mereka akan mempergunakan faktor-faktor eksternal untuk memotivasi para siswa. Mereka harus mengetahui dan mempersiapkan semua manajemen penguatan (reinforcement management) secara komprehensif dan bijak.

Kelebihan dan Kekurangan Motivasi Intrinsik

Berbagai studi dan penelitian menyatakan bahwa ada nilai tertentu untuk memobilisasi motivasi intrinsik. Paragraf berikut ini menganalisis kelebihan yang terlihat secara empirik seperti yang dibuat oleh Stipek (1999, h. 124).

Yang pertama, mempelajari berbagai aktifitas di luar sekolah: Dengan meningkatnya motivasi intrinsik, para siswa terlibat dalam mempelajari berbagai aktifitas di luar sekolah. Hal ini akan berlangsung karena para siswa terlibat dalam proses belajar tidak bergantung pada faktor penghargaan (reward) atau penghukuman (punishment) yang biasanya berlaku di dalam sekolah. Dengan kata lain, para siswa yang secara intrinsik dimotivasi untuk belajar di tempat lain, baik di dalam atau di luar sekolah. Kedua, preferensi atas tantangan: seorang anak yang secara intrinsik dimotivasi cenderung menyukai tugas-tugas yang menantang. Berbagai studi memperlihatkan kecenderungan ini, sebagian di antaranya adalah dari Boggiano, Pittman dan Ruble tahun 1982; Boggiano et al., 1988; Flink, Boggiano, Barret & Katz tahun 1992. Ketiga, pemahaman konseptual: Para siswa yang secara intrinsik cenderung membaca dan mempelajari lebih banyak materi daripada rote-learning (Shirey, 1992; Tobias, 1994; Wade, 1992). Meningkatnya proses belajar berlangsung karena orang cenderung lebih kepada teks yang menjadi minat mereka dan perhatian ini membantu mereka untuk memproses dan mengingat apa yang telah mereka baca (Anderson, 1982; Asher, 1980). Keempat, kreatifitas: Berbagai studi memperlihatkan bahwa motivasi intrinsik mendukung kreatifitas, seperti Amabile tahun 1983; Butler and Nisan, 1986. Alasannya adalah kontingensi ekstrinsik dapat menciptakan fokus instrumental yang memperkecil perhatian dan orientasi individu untuk mengambil solusi yang paling cepat dan mudah. Kelima, kesenangan dan keterlibatan: Sejumlah penelitian (Harter, 1992; Tobias, 1994; Miserando, 1996) menemukan bahwa motivasi intrinsik juga terkait dengan kesenangan dan keterlibatan yang lebih besar daripada motivasi ekstrinsik. Mereka juga menemukan bahwa para siswa yang secara intrinsik dimotivasi untuk lebih terlibat, tekun, berpartisipasi dan punyai rasa ingin tahu atas tugas-tugas sekolahnya dan berkurangnya kejenuhan dalam aktifitas sekolah daripada para siswa yang mengklaim dimotivasi secara ekstrinsik.

Selain itu, Deci dan Ryan (1985, h. 32) juga menyatakan bahwa apabila orang-orang secara intrinsik termotivasi, maka “mereka punya kepentingan dan kesenangan, mereka merasa kompeten dan menentukan nasib sendiri, mereka mempersepsikan lokus sebab-akibat atas perilaku mereka menjadi suatu yang internal. Dan dalam hal tertentu, mereka berada dalam arus”.

Walaupun sebagian besar studi telah melaporkan kelebihan motivasi intrinsik, namun ada keterbatasan tertentu apabila guru-guru berupaya memobilisasi motivasi ini pada kondisi tertentu. Masalah ini terjadi apabila guru-guru atau orang tua mengeluh bahwa mereka menghadapi anak-anak yang termotivasi secara intrinsik berupaya menghindari tugas yang mereka tidak sukai. Anak-anak yang secara intrinsik termotivasi hanya memberikan perhatian dan mengerjakan secara serius hanya berbagai aktifitas yang mereka suka (Deci dan Ryan, 1985).

Strategi untuk Meningkatkan Motivasi Ekstrinsik


Pada dasarnya, meningkatkan motivasi ekstrinsik atas para siswa untuk belajar, berarti memanipulasi faktor-faktor eksternal agar dapat berfungsi sebagai suatu penguat (reinforcer) atau penghargaan (reward) dari perilaku target tersebut. Sejumlah strategi telah diajukan oleh Wlodkowski (1986), misalnya, dengan memberikan hadiah atas tugas yang berprestasi melalui berbagai bentuk upacara penyerahan hadiah dan memberikan umpan balik positif dan pujian yang efektif. Dengan memberikan pujian yang efektif, Flemming dan Levie (1993) menyatakan bahwa lebih baik diberikan dalam bentuk pesan personal tertulis karena dapat berpengaruh lebih lama atas perasaan kepuasaan seorang siswa daripada sebuah pernyataan verbal atau pernyataan singkat dengan tugas itu sendiri. Sementara itu, Stipek (1999, h. 32) dengan tegas menyatakan bahwa memberikan pujian harus bersifat contingent atas perilaku dimana seorang guru hendak mempertahankan atau meningkatkan. Dia juga meyakini bahwa ekonomi (token economic) sebagai sebuah alat yang efektif dalam meningkatkan pencapaian akademik seperti terlihat dalam berbagai studi yang sudah dibuat oleh Cohen (1973), Alschuler (1968).

Kemudian, Elliot dan rekannya (1999) telah memberikan catatan bagaimana mempergunakan faktor penguat (reinforcement) sebagai faktor eksternal secara efektif:

Yang pertama, memberikan respons secepat-cepatnya. Seorang guru sebaiknya segera memberikan respons, memberikan penghargaan atas para siswanya. Yang kedua, mengontrol penguatan (reinforcement) akan mengontrol perilaku. Guru harus mengidentifikasi penguatan tersebut sehingga para siswa khususnya menyukainya. Apabila siswa suka melakukan aktifitas luar sekolah, maka dia dapat melakukan aktifitas ini untuk mengontrol perilaku para siswa. Ketiga, menyadari penentuan waktu penguatan (timing of the reinforcement). Guru sebaiknya mempertimbangkan seberapa sering dia memberikan para siswanya penguatan tersebut. Keempat, pertimbangkan membuat kontrak (contracting). Membuat kontrak berkaitan dengan menempatkan penguatan itu (reinforcement contingencies) secara tertulis. Para ahli teori perilaku menyatakan bahwa sebuah kontrak kelas (classroom contract) seharusnya merupakan hasil input baik dari guru maupun para siswa. Kontrak kelas ini berbentuk pernyataan “apabila …. maka” dan ditandatangani oleh guru dan para siswa, kemudian ditetapkan. Kelima, mempergunakan penghargaan ekstrinsik tangible sekecil mungkin. Apabila penghargaan ekstrinsik tangible diberikan secara berlebihan, maka hal ini dapat menjadi fokus perhatian utama atau tidak menjadi efektif sebagai suatu penguat (reinforcer).

Strategi yang Bertumpu pada Motivasi Intrinsik

Untuk meningkatkan motivasi intrinsik, Elliot et al (1999, h. 346-347) menyarankan kepada para guru dan para instruktur untuk meningkatnya keingintahuan para siswa dengan berbagai cara, yaitu: memungkinkan para siswa Anda melihat semangat Anda dalam mengajar satu mata pelajaran, menstimulasi konflik kognitif, memungkinkan para siswa untuk menyeleksi topik-topik, memberikan model keingintahuan dan mendapatkan perilaku (inquiring behavior). Sementara itu, Wlodwoski (1986, h. 286) mengusulkan untuk memberi umpan balik positif dan tugas-tugas yang menantang secara optimal. Bruner pada tahun 1962; Neil tahun 1960 dan Holt tahun 1964 (Deci dan Ryan, 1985) berpendapat bahwa para siswa harus bebas dari segala bentuk penghargaan (rewards) atau penghukuman (punishment). Apabila mereka mau belajar secara intrinsik, maka mereka cenderung menginterpretasikan keberhasilan dan kegagalan mereka sebagai informasi daripada sebagai penghargaan dan penghukuman. Proses belajar dapat efektif apabila penghargaan primer itu adalah kepuasan intrinsik siswa atas penyelesaian tugas yang diembankan kepadanya.

Stipek (1999, h. 161-170) menyorot tentang bagaimana para guru dapat mengeksplorasi tugas-tugas bagi seorang siswa sehingga mereka menginternalisasi nilai-nilai akademik dan mendorong tujuan penguasaan dan proses pembelajaran. Stipek mengusulkan tugas guru untuk memaksimalisasi motivasi intrinsik bagi para siswa mereka dengan cara berikut ini:

a. Menjelaskan tujuan tugas-tugas dan signifikansi sebenarnya dari skill yang dirancang untuk diajarkan

b. Memberikan tugas-tugas yang menantang

c. Menciptakan tugas-tugas yang memungkinkan para siswa utuk melakukan tugas intelektual yang substantif

d. Memberikan tugas-tugas multidimensi

e. Memberikan tugas-tugas yang menghendaki eksplorasi, eksperimentasi dan partisipasi siswa secara aktif

f. Memberikan tugas-tugas tertentu yang kompleks, baru dan mempunyai unsur yang mengejutkan atau fantasi

g. Memberikan tugas-tugas yang terkait dengan kepentingan para siswa

h. Memberikan para siswa peluang untuk berkolaborasi

i. Memberikan tugas dan format yang berbeda-beda dari hari ke hari

Kesimpulan

Dapat disimpulkan, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik memainkan peran yang sangat besar dalam meningkatkan proses belajar para siswa. Seorang guru sebaiknya memahami dengan baik aspek negatif dan positif dari kedua jenis motivasi. Dia juga harus bersikap bijak untuk menyeleksi dan memutuskan strategi mana yang tepat atas kelas yang berbeda. Dia harus ingat bahwa pemilihan dan keputusan bergantung pada kondisi, karakteristik kerja dan target perilaku (behavioral target). Dengan mempertimbangkan aspek negatif dan positif dari setiap motivasi, seorang guru harus menekankan motivasi intrinsik untuk target jangka panjang karena hal ini mempunyai sisi positif daripada motivasi ekstrinsik. Tetapi selain untuk kasus-kasus spesifik yang berkaitan dengan target perilaku, hal ini akan sulit untuk memobilisasi motivasi intrinsik.

Rujukan

  1. Beck, Robert C. (1983). Motivation. Theories and Practices (2nd ed). New Jersey: Prentice Hall.
  2. Deci, Edward L., and Richard M. Ryan. (1985). Intrinsic Motivation and Self Determination in Human Behavior. New York: Plenum Press.
  3. Elliot, Stephen N., Thomas R. Kratochwill, Joan Liitlefield and John F. Travers. (1999). Educational Psychology, Effective Teaching Effective Learning. Chicago: Brown & Benchmark Publishers.
  4. Fleming, Malcolm and W. Howard Levie (editors) (1993) Instructional Message Design.
  5. Engelwood, New Yersey: Educational Technology Publications.
  6. Newman, Barbara M and Philip R. Newman (1995). Development Through Life. A
  7. Psychosocial Approach. (6 th ed.). Singapore: Brooks/Cole Publishing Company
  8. Ryan, Richard M. and Edward L. Deci (2000) Intrinsic and Extrinsic Motivations:
  9. Classic Definition and New Directions. Contemporary Educational Psychology, 25, 54-67.
  10. Stipek, Deborah (1998). Motivation to Learn. From Theory To Practice. Boston: Allyn and Bacon.
  11. Santrock, John W. (2001). Educational Psychology. Boston: Mc Graw Hill, Int’l Ed.
  12. Wlodkowski, Raymond J. (1986). Enhancing Adult Motivation to Learn. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

[1] Ketua Pembina Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia, Ketua YPNF. Alumnus Psikologi UI, Magister Manajemen Unpad, Bdg, dan Master of Education UNSW, Sydney,
[2] Lihat dalam Wlodkowski, 1986, h. 57

Read More/baca selengkapnya..

Mengajarkan Teknik Problem Solving Kepada Anak

Oleh: Drs. Fahmy Alaydroes, psi., MM, MEd.
Pendahuluan

Sangatlah penting bagi para siswa untuk memiliki teknik problem solving karena sebagian besar pelajaran yang mereka hadapi mengarah ke pemecahan masalah. Kemampuan problem solving bagi seorang siswa tidak hanya berguna untuk menyelesaikan soal-soal akademik, tetapi juga dapat diterapkan untuk hal-hal di luar sekolah dalam memecahkan masalah-masalah sehari-hari. Kemudian, ketika para siswa sudah mempelajari problem solving, maka mereka akan mempunyai cara yang efektif dalam proses belajar (learning process). Orang-orang yang pandai dalam problem solving dimotivasi untuk meningkatkan performa mereka sebelumnya dan membuat kontribusi original. Oleh karena itu, siswa yang menyelesaikan sience fair projectPara siswa tersebut dapat mempergunakan umpan balik dari penilaian atau informasi dari orang lain yang berbicara dengan para siswa tersebut tentang penggarapan proyek itu dengan baik.[1] dapat melihat kembali pada proyek itu dan berpikir mengenai cara-cara proyek itu dapat garap dengan baik.

Ada berbagai cara untuk memecahkan masalah, tetapi acapkali apa yang kita pilih tidak mengantar kita untuk mencapai satu solusi atau membutuhkan terlalu banyak energi, pemikiran dan sumber-sumber lainnya daripada yang seharusnya. Berarti hal ini menghendaki kemampuan dan keterampilan untuk mempergunakan teknik-teknik yang baik sehingga kita dapat menemukan cara yang paling efisien untuk memecahkan masalah. Pada berbagai penelitian dan studi, berbagai teknik dan model yang baik tentang problem solving telah diajukan. Esai ini akan menjelaskan model problem solving strategis dengan beberapa kemungkinan kegagalan dan kemudian bagaimana mengajarkan keterampilan ini kepada para siswa.

Apakah Problem Solving


Problem solving adalah sebuah proses kognitif untuk mencari solusi untuk mengatasi hambatan yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dari suatu pandangan pemrosesan informasi, problem solving adalah sebuah pencarian serangkaian jalur yang terbaik dimana dapat mengatasi hambatan dan mengarah ke tujuan.[2] Problem solving sebagai suatu keterampilan khas (specialized keterampilan) di dalam domain pengetahuan daripada keterampilan tergeneralisasi (generalized keterampilan) dapat diterapkan lintas berbagai content areas. Smith dan rekan-rekannya (1993) menyatakan bahwa problem solving adalah kemampuan untuk mengkombinasi aturan-aturan yang sudah dipelajari sebelumnya (baik secara relasional maupun prosedural), pengetahuan deklaratif dan strategi kognitif di dalam domain content untuk memecahkan hal-hal yang belum dihadapi sebelumnya.[3] Sementara itu, Medin et al (1997) menyatakan bahwa problem solving terjadi apabila seseorang mencoba untuk mencapai suatu tujuan dengan memulai dari serangkaian kondisi dengan cara menstranformasi kondisi ini, tetapi tanpa pengetahuan yang tersedia dengan segera atas suatu solusi.[4] Dengan kata lain, problem solving berkenaan dengan menemukan cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.[5]

Dari pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang problem solving, dapat dinyatakan ada empat aspek di dalam sebuah masalah:[6] Pertama adalah tujuan. Hal ini berupa pengetahuan (state of knowledge) ke arah mana masalah itu diarahkan dan sekurang-kurangnya kriteria apa yang dapat diterapkan untuk menilai apakah masalah ini telah diselesaikan atau tidak. Kedua adalah givens mencakup objek, kondisi dan constraints, berkenaan dengan masalah ini baik secara eksplisit maupun implisit. Ketiga adalah masalahhambatan. Masalah-masalah memiliki hambatan tertentu. Sebuah tujuan yang dapat dicapai hanya dalam satu langkah tunggal yang sudah diketahui biasanya tidak dianggap merupakan suatu masalah. dimana harus memiliki cara untuk mentransformasi kondisi, merubah kondisi awal. Dan keempat adalah

Masalah-masalah dapat dibagi menjadi dua jenis: masalah yang sudah terdefinisikan dengan baik (well defined problems) dan masalah yang belum terdefinisikan secara gamblang (ill-defined problems). Masalah yang sudah terdefinisikan dengan baik adalah masalah-masalah dimana solusinya sudah jelas dan tujuannya (goal state) sudah tersedia, sedangkan masalah yang belum terdefinisikan dengan gamblang adalah masalah-masalah dimana kita tidak dapat memecahkan tanpa mengambil tindakan tertentu untuk mendefinisikan lebih lanjut atas masalah-masalah tersebut.[7] Masalah-masalah yang sudah terdefinisikan dengan baik sepenuhnya telah menspesifikasi kondisi awal, tujuan dan cara-cara transformasi kondisi. Games dan teka-teki adalah bentuk masalah yang terdefinisikan dengan baik. Masalah-masalah yang belum terdefinisikan secara gamblang mempunyai aspek tertentu yang tidak sepenuhnya terspesifikasi. Masalah berkenaan suatu keputusan yang terbaik atas karir yang menarik adalah suatu yang belum terdefinisikan secara gamblang.

Problem Solving dan Teori Kognitif


Problem solving adalah suatu proses kognitif. Sweller (1999, h. 37-39) melihat bahwa proses memecahkan masalah melibatkan skema-skema, struktur pengetahuan yang telah dipelajari dan tersimpan dalam memori jangka panjang. Menurutnya, seorang siswa yang sedang memecahkan suatu masalah harus memberikan pertimbangan tertentu atas berbagai unsur skema tersebut. “Skema-skema ini tersimpan dalam memori jangka panjang dan dapat ditransfer menjadi memori kerja bila dibutuhkan”, kata Sweller. Sementara itu, Newell dan Simon, seperti dikutip oleh Medin dan Ross (1987, h. 444) melihat problem solvers sebagai sistem yang sedang memproses informasi. Keduanya berpendapat bahwa sejumlah karakteristik utama tentang sistem pemprosesan informasi manusia mempengaruhi bagaimana sistem ini dapat memecahkan masalah-masalah.

Smith dan Ragan (1993, h. 250) menjelaskan bahwa agar dapat memecahkan masalah pada sebuah domain, para pelajar (learners) harus memiliki kemampuan berikut:

- Kemampuan untuk mengingat dan menerapkan aturan-aturan atau rumus-rumus yang relevan; kemampuan untuk mengidentifikasi situasi dimana aturan-aturan itu dapat secara tepat diterapkan atas satu masalah tersebut.

- Kemampuan untuk mengingat kembali pengetahuan deklaratif; Pengetahuan deklaratif membantu pelajar untuk memahami masalah dan membatasi ruang masalah (yaitu, pernyataan tujuan, dari mana memulai, kemungkinan arah solusi) dari masalah tersebut.

- Kemampuan untuk mengingat dan menerapkan strategi kognitif; Strategi kognitif dapat memudahkan pelajar (learner) untuk (1) memahami dan merepresentasikan satu masalah tersebut (2) menguraikan satu masalah tersebut menjadi sub-sub tujuan; (3) mencari, menyeleksi dan mengkombinasikan pengetahuan relevan; (4) merangkaikan aplikasi pengetahuan; dan (5) memonitor keberhasilan relatif atas solusi-solusi.
Pemula dan Pakar dalam Problem Solving

Dalam hal ini, yang cukup membantu adalah membahas pertumbuhan dalam pengertian umum: pada tingkat global, bagaimana seorang problem-solver tingkat ahli berbeda dari seorang problem-solver tingkat pemula? Atau, dalam konteks schooling, apakah perbedaan antara problem solver pemula dan problem solverproblem solver dewasa dapat menangani lebih banyak masalah. Hal ini sebagian karena besar kapasitas pemrosesan informasi meningkat dengan faktor usia. Problem solver tingkat ahli lebih cakap dalam mengorganisir informasi dalam clusters bermakna. Hal ini bukan karena mereka lebih banyak tahu, tetapi mereka telah mengorganisir pengetahuan yang dimiliknya ke dalam struktur yang terjalin dengan sangat rapih. Apa yang mereka telah pelajari tersimpan dalam hirarki yang punya tingkat manfaat yang maksimum untuk tugas-tugas pemecahan masalah. Mengingat kembali satu elemen dapat menimbulkan pengingatan kembali atas unsur-unsur terkait sehingga dapat mengembangkan informasi hingga tingkat informasi yang signifikan dimana dapat diproses melalui suatu sistem yang sangat terbatas. pakar? Ross dan Mayness (1987) menyatakan bahwa

Elliot et al (1999, h. 301) menyatakan bahwa Problem Solver yang baik memiliki karakteristik berikut ini: sikap positif, mempunyai perhatian atas faktor akurasi, kebiasaan untuk memecahkan masalah-masalah menjadi beberapa bagian, menghindari sikap duga-duga (guessing) dan pemecahan masalah secara aktif (active problem solving). Sementara itu, menurut Larkin et al., 1980; Schonfeld, 1985; Hayes & Flower, 1986 (Glover et al., h. 166) dikatakan bahwa para pakar memulai dengan mempergunakan berbagai upaya untuk mencoba memahami suatu masalah dan mereka bekerja dari data atau informasi yang sudah ada (givens) dari suatu masalah ke arah suatu solusi. Sebaliknya, pemula terlihat mempunyai cita rasa yang rendah (sense) dalam cara mengorganisir informasi yang terbatas yang mereka punya.

Hambatan dalam Memecahkan Masalah


Dalam memecahkan satu masalah tertentu, acapkali kita menemukan berbagai hambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan untuk mencapai satu solusi tertentu. Santrock (2001, h. 299-300) menyatakan bahwa sejumlah hambatan umum yang acapkali terjadi di antaranya adalah: fiksasi, konfirmasi, kurangnya motivasi dan ketekunan.
Fiksasi berkenaan dengan penggunaan suatu strategi sebelumnya dan gagal melihat suatu masalah dari satu perspektif yang baru. Functional fixedness adalah suatu tipe fiksasi dimana seorang individu gagal untuk memecahkan suatu masalah karena dia melihat unsur-unsur yang terkait hanya dalam kaitan dengan fungsi-fungsi lazimnya saja. Seorang siswa yang menggunakan sepatunya untuk memalu paku telah mengatasi faktor functional fixedness untuk memecahkan suatu masalah. Dia telah mampu keluar dari pola pemecahan masalah yang tradisional dan cenderung kaku.

Sementara itu, confirmation bias adalah suatu kecenderungan untuk mencari dan mempergunakan informasi yang mendukung ide-ide kita daripada menolaknya. Oleh karena itu, dalam memecahkan suatu masalah, seorang siswa dapat punya hipotesis awal bahwa suatu pendekatan tertentu akan berfungsi dengan baik. Dia menguji hipotesis itu dan mendapatkan bahwa hipotesis itu benar pada waktu tertentu. Kemudian, siswa tersebut menyimpulkan bahwa hipotesisnya adalah benar daripada mengeksplorasi lebih lanjut bahwa hipotesisnya ini tidak berfungsi dalam waktu tertentu.

Dengan kata lain, para siswa sudah memiliki berbagai kemampuan problem solving, tetapi mereka akan gagal mencapai satu solusi apabila mereka tidak dimotivasi untuk mempergunakannya. Yang penting bagi siswa adalah dimotivasi secara internal untuk memecahkan satu masalah dan teguh dalam mencari suatu solusi atas masalah tersebut. Dengan motivasi yang buruk, para siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan mereka secara optimal dan mereka akan mengalami kegagalan untuk mendapatkan cara-cara yang efektif dalam memecahkan masalah, seperti kegagalan untuk mengobservasi dan mempergunakan seluruh fakta-fakta dan masalah yang relevan, kegagalan untuk mengadopsi prosedur yang sistematis, setahap-demi-setahap, kegagalan untuk melihat hubungan yang vital pada satu masalah tersebut, dan kegagalan penggunaan teknik sloppy dalam mendapatkan informasi dan mempergunakan reasoning processes dari seseorang.

Beberapa Strategi Problem Solving


Berbagai model dan cara telah diusulkan untuk membantu individu memecahkan berbagai ragam masalah. Elliot et all (1999, h. 301) membagi strategi problem solving menjadi dua kategori: general (juga disebut weak) dan strong (juga disebut specific atau detailed). Strategi General, menurut de Bono (1984), adalah serangkaian prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman yang dapat diterapkan pada situasi tertentu. De Bono mengambil contoh seorang pewawancara yang selalu menyeleksi individu-individu yang mendapat rating nomor dua: prestasi mereka (achievement) hampir sebaik mereka yang mendapatkan rating pertama, tetapi secara temperamental lebih kecil kemungkinan mengalami kesulitan di dalam pekerjaan. Struktur operasional agaknya merupakan basis general problem solving, dan mengarah ke serangkaian metode yang cukup general yang merupakan inti perilaku problem-solving. Suatu strategi yang kuat (strong strategy) adalah satu strategi yang didesain untuk suatu tujuan spesifik, yaitu suatu strategi yang agak unik untuk suatu subjek khusus. Setiap orang yang mengenali konsep inti (core concept) dari suatu subjek adalah lebih baik untuk dapat memulai langkah-langkah memecahkan satu masalah dengan mempergunakan pengetahuan tersebut.

Hill Climbing


Hill climbing adalah suatu teknik sederhana untuk memecahkan masalah yang berjalan dengan asumsi bahwa problem solving adalah setiap “gerakan” yang memungkinkan seorang problem solver satu langkah lebih dekat ke tujuan adalah worth taking. Strategi ini berfungsi dengan pertama-tama membedakan kondisi sekarang dari seorang problem solver (kondisi awal) terhadap kondisi tujuan dan kemudian mengambil langkah tertentu yang bergerak lebih dekat ke tujuan. Misalnya, lihat masalah ini:

D O N A L D

+ G E R A L D

R O B E R T D = 5

Gunakan informasi yang tersedia bahwa D = 5, maka dapat difahami bahwa T harus sama dengan 0 dan langkah ini membawa ke kolom berikutnya (L+L), dimana R harus angka ganjil 1, 3, 7 atau 9. Kemudian, karena D + G harus > 5 (D=5), maka R harus 7 atau 9. dan seterusnya. Dengan demikian, hill climbing terdiri dari meneruskan mencari satu langkah berikutnya yang membuat seorang problem solver bergerak lebih dekat ke tujuan.

Fractionation


Newell dan Simon mengidentifikasi suatu strategi general unggulan dalam problem solving bahwa dengan memilah suatu masalah menjadi sub-sub masalah atau fractionation. Teknik ini adalah suatu pendekatan yang berguna untuk memecahkan tugas tertentu dimana masalah ini dapat dibagi secara baik ke dalam sub-sub masalah yang koheren. Misalnya, Anda diberikan tugas untuk membentuk 10 panitia POMG (parent-teacher committies) di sekolah Anda. Anda diinformasikan bhawa setiap komite yang terdiri dari empat orang harus ada di dalamnya sekurang-kurangnya satu orang guru, satu orang tua dan dua pria dan dua wanita. Anda segera memecah tugas ini kt dalam bagian-bagian untuk menyederhanakannya. Oleh karena itu, Anda memecahkan sub-masalah pertama dengan memilih 10 guru, menugaskan satu untuk setiap kelompok – juga dengan mudah tercapai. Kemudian, Anda menugaskan seorang ibu dan seorang bapak untuk setiap kelompok-juga dengan mudah diselesaikan. Pada akhirnya, setelah meneliti komposisi panitia tiga orang, Anda menambah baik seorang guru atau seorang tua dengan jenis kelamin yang sesuai untuk memastikan bahwa setiap kelompok terdiri dari dua pria dan dua wanita. Catatan, tidak seluruh kelompok akan memiliki komposisi orang tua dan guru yang sama, tetapi seluruh akan memenuhi kriteria ini. Fractionation ke dalam sub-sub masalah menjadikan tugas ini lebih sederhana.

Means-ends analysis


Means-ends analysis adalah salah satu kejadian yang paling sering untuk pemecahan masalah manusia dan hal ini penting pada sistem inteligensi artifisial sekarang ini (AI) (Newell & Simon). Ide dasar means-ends analysis itu sangat sederhana. Langkah pertama adalah membandingkan kondisi sekarang dengan tujuan (goal state) dan mengkarakteristikkan perbedaan. Penggunaan perbedaan ini adalah membantu untuk memutuskan apa yang seharusnya dipilih oleh seorang operator. Apabila dapat digunakan lebih dari satu operator, maka pertama-tama pilihlah salah satu yang menggusur sebagian paling besar perbedaan tersebut. Kemudian, teknik ini diaplikasikan untuk perbedaan baru (yaitu, antara kondisi baru dan tujuan) dan seterusnya hingga seluruh perbedaan direduksi dan tujuan tercapai (dalam Medin & Ross, 1997, h. 450). Sementara itu, Sweller (1999, h. 39) mengatakan bahwa apabila menggunakan means-ends analysis, seorang problem solver harus mencoba menemukan suatu hubungan antara problem goal dan problem givens dengan mencari operator yang dapat memperlihatkan hubungan itu. Dia juga menyatakan bahwa acapkali seorang problem solver mulai dengan tujuan dan upaya bergerak ke belakang dari tujuan atas givens dengan mencari serangkaian operator yang berhubungan. Santrock (2001) menjelaskan suatu means-ends analysis itu bersifat heuristic dimana individu mengidentifikasikan tujuan (end) dari suatu masalah, menilai situasi sekarang dan mengevaluasi apa yang harus dilakukan (means) untuk mengurangi perbedaan antara dua kondisi tersebut. Nama lain untuk means-ends analysis adalah difference reduction. Pada contoh aljabar berikut ini, suatu yang mudah untuk melihat langkah-langkah memecahkan X dimana mengaplikasikan means-ends strategy yang bergerak dari pernyataan masalah (1) hingga pernyataan tujuan (5).

(1) 6X + 7 = 4X – 21

(2) 6X = 4X – 21 – 7

(3) 6X – 4 = –21 – 7

(4) 2X = – 28

(5) X = – 14

Schema based-strategy

Strategy means-end sering disebut sebagai strategi yang paling efisien dalam memecahkan masalah. Menurut Sweller (1999) pendapat tersebut benar sepanjang seorang problem solver dihadapkan pada masalah yang sama sekali baru, dimana belum ada skema dalam struktur kognitifnya. Means-ends strategy sepenuhnya memusatkan perhatian pada goal state, dimana langkah-langkahnya selalu mengarah pada upaya meniadakan perbedaan antara problem state dengan goal-state. Dalam hal ini, menurut Sweller: “means-ends analysis tidak dimaksudkan sebagai suatu strategi pembelajaran, tetapi sebagai suatu strategi pencapaian tujuan”. Strategi tidak didesain untuk menggunakan skema. Sementara seringkali siswa dihadapkan pada masalah yang tidak relevan dan tidak ada hubungan sama sekali dengan strategi yang telah dipelajari.

Sweller bahkan berpendapat bahwa dengan strategy means-ends, seorang problem solver secara simultan harus berupaya menemukan langkah-langkah (operator) yang membawanya pada sub-sub tujuan, menjaganya dalam fikiran (mind) sampai mencapai goal state. Tidak satupun aktivitas yang dilakukan berdiri sendiri, masing-masing elemen saling terkait. Bila elemen interaktifitasnya tinggi, maka beban memori kerja akan tinggi. Oleh karena itu, dalam konteks mendapatkan hasil belajar yang lebih efektif, penggunaan skema (akuisisi skema) dalam memecahkan masalah menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan.

Dengan menggunakan skema, seorang problem solver mendapat bantuan dari skema bagaimana cara jalan memecahkan masalah. Skema menuntun seorang problem solver dalam sekali langkah (one mental step) dan mengajak problem solver melihat seluruh solusi sebagai suatu entitas tunggal. Tentu saja untuk mendapatkan petunjuk dari skema, seorang siswa harus menyimpan banyak skema yang terkait dan relevan dengan problem yang dihadapi melalui serangkaian latihan. Seorang yang sering berlatih tentang triangle geometry, niscaya akan dengan mudah memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan triangle geometry tersebut.

Mengajarkan Problem Solving kepada Para Siswa

Mengajarkan berbagai strategi problem solving kepada para siswa menghendaki dukungan teknis dan media secara tepat agar dapat mendapatkan hasil yang optimal. Tujuannya adalah bagaimana para siswa dapat memperoleh manfaat yang tinggi dari proses pembelajaran problem solving dengan menerapkan keterampilan ini apabila mereka menghadapi masalah riil baik di dalam maupun di luar sekolah.

Berbagai usulan telah diajukan ke guru-guru tentang bagaimana mengajarkan teknik-teknik problem solving kepada para siswa dari berbagai sudut pandang. Dalam penjelasan berikut ini, kita akan melihat sejumlah pedoman dan cara agar dapat memecahkan teknik-teknik problem solving kepada para siswa secara efektif.

Mendukung siswa-siswa Anda untuk memecahkan masalah

Elliot et al. (1999, h. 322-323) memberikan saran bagaimana menggunakan strategi problem solving di ruang kelas. Mereka mengusulkan bahwa guru sebaiknya memberikan perhatian yang cukup kepada para siswa dalam langkah-langkah berikut ini:

(1) Menganalisis berbagai kesulitan dalam perilaku problem solving siswa: Biasanya kesulitan seorang siswa muncul karena satu atau beberapa sebab-sebab berikut:

(a) Inteligensi; Meskipun tingkat inteligensi siswa tidak terlalu tinggi, seorang guru tetap dapat meningkatkan kemampuan siswa tersebut dalam teknik memecahkan masalah dengan mengajukan soal-soal yang tidak terlalu abstrak.

(b) Motivasi; Motivasi dapat ditingkatkan dengan cara memberikan masalah-masalah yang relatif mudah di awal latihan. Dengan demikian, siswa mendapatkan pengalaman yang menumbuhkan rasa percaya diri untuk menghadapi masalah-masalah berikutnya.

(c) Informasi: Kadang suatu masalah tidak memberikan data yang memadai kepada siswa, atau siswanya sendiri tidak mampu menghubungkan informasi yang mereka telah miliki dengan soal yang sedang dihadapinya sekarang ini. Dalam hal ini, guru sepatutnya mendapat kepastian bahwa siswa mendapatkan data dan informasi yang cukup tentang soal yang harus dipecahkan.

(d) Pengalaman: Pada umumnya, saat pertama kali menghadapi suatu masalah, siswa masih dalam keadaan bingung (bewildered). Guru harus secara aktif memperagakan teknik-teknik memecahkan masalah, dan biarkan mereka mencoba pada soal-soal yang sederhana. Sampai akhirnya mereka mereka mendapatkan pengalaman bagaimana menghadapi masalah dalam situasi yang berbeda.

(e) Mind-set: Ajarkan para siswa mencoba menggunakan berbagai pendekatan, jangan hanya terpaku pada satu model atau cara.

(2) Mengkoreksi berbagai kesulitan siswa: Ajarkan siswa bagaimana cara mendekati masalah, menggunakan informasi dan pengetahuan yang sudah dimiliki serta yang ada di masalah itu sendiri untuk mencari solusi. Dengan menuntun siswa tentang bagaimana melihat bagian-bagian masalah menjadi sesuatu yang berarti, seorang guru bukan hanya menolong siswa bagaimana menyederhanakan masalah namun juga mendorong mereka untuk selalu bersikap positif terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan masalah.

(3) Mengajarkan – mengajarkan secara langsung – teknik-teknik problem-solving: Bimbinglah siswa bagaimana memanfaatkan kesalahan yang telah dilakukan. Mengapa langkah yang telah dilakukan salah?, Dimana letak kesalahannya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, siswa menjadi terlatih bagaimana memanfaatkan kesalahan yang telah dilakukan.

(4) Memberikan para siswa kesempatan untuk memecahkan masalah: Kesuksesan dalam hidup banyak ditentukan oleh kemampuan melihat, menganalisis dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, berikanlah kesempatan sebanyak-banyaknya kepada para siswa untuk mengamati, mempelajari dan berlatih memecahkan berbagai masalah dalam berbagai situasi.

Selain itu, Elliot juga menyatakan bahwa dengan mempergunakan berbagai strategi problem solving, para guru sebaiknya memulai dengan pernyataan bahwa para siswa sangat nyaman, secara sadar memilih instruksi langsung atau tidak langsung dan menginstitusikan suatu program instruksional yang baik. Sementara itu, Smith dan Margan (1993, h. 259) mengatakan bahwa dengan memberikan suatu masalah yang dapat dipecahkan secara berhasil akan mempromosikan kepentingan dan motivasi untuk memecahkan masalah-masalah berikutnya. Kedua penulis menyatakan bahwa instruksi sebaiknya dikonstruksikan untuk memberikan praktek yang berhasil secepat-cepatnya.

Memberikan para siswa Anda Kesempatan Melakukan Berbagai Praktek

Praktek adalah perlu untuk mengembangkan keahlian. Simon (1980) memperkirakan seorang atlet catur punya pengetahuan yang baik mengenai lebih dari 50.000 pola dan hal ini membutuhkan sekurang-kurangnya 10 tahun untuk menjadi seorang ahli dalam domain tertentu yang kompleks. Sebagian hal, praktek dapat memungkinkan seorang problem solver mempelajari berbagai kondisi dan tindakan penting dari domain terkait dan melakukan berbagai aksi secara “otomatis.” (Medin, Douglas L. dan Brian H. Ross, 1996: Cognitive Psychology 2nd ed, h. 479-480. Fort Worth: Harcourt Brace Publishers). Sementara itu, Chase dan Chi (1980) seperti yang dikutip dalam Smith dan Ragan (Instructional Design, h. 261) menyatakan bahwa ribuan jam praktek dapat merubah seorang problem solver pemula menjadi seorang problem solver tingkat ahli. Setelah para pelajar telah mengalami solusi berbagai soal contoh, maka mereka seharusnya mempunyai peluang untuk memecahkan soal-soal atau masalah-masalah dengan kesulitan serupa.. Pedoman instruksional, seperti petunjuk, pertanyaan pengarah, presentasi database tentang aturan-aturan dan saran-saran tentang berbagai strategi sebaiknya dicoret secara bertahap.

Lebih jauh, menurut Sweller (1999), sesungguhnya kemampuan memecahkan masalah sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak pengetahuan yang terkait dengan masalah yang sedang dihadapi di dalam skema. Semakin banyak berlatih matematika, maka semakin banyak jaringan skema dalam diri siswa dan semakin mudah ia menemukan pemecahan masalah. Dengan kata lain, melatih siswa agar terampil dalam memecahkan masalah bertumpu pada jenis masalah yang dihadapi. Kemampuan memecahkan masalah matematika tidak dapat ditransfer untuk memecahkan masalah geografi, karena masing-masing memiliki sifat dan karakter masalah yang berbeda. Oleh karena itu, untuk menjadi trampil dalam memecahkan masalah matematika, seorang siswa harus dilatih sebanyak-banyaknya mengenai persoalan matematika dan untuk menjadi pakar geografi seorang siswa juga harus dilatih dan diberi sebanyak-banyaknya pengetahuan tentang geografi. Dengan memperbanyak latihan, maka dengan sendirinya informasi dan pengetahuan yang diperoleh akan membentuk skema, kemudian disimpan di dalam memori jangka panjang. Suatu saat, manakala diperlukan, skema tersebut secara otomatis akan muncul saat menghadapi masalah yang relevan. Dari sini dapat difahami bahwa dengan berlatih, kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah menjadi semakin baik.

Salah satu cara untuk mempraktekkan pemecahan masalah kepada para siswa adalah melalui studi kasus. Studi kasus dapat serupa dengan simulasi dimana mempresentasikan suatu situasi realistik dan memerintahkan para siswa merespons seolah-olah mereka adalah orang-orang yang harus memecahkan satu masalah tersebut. Studi kasus juga menghendaki para siswa untuk menyeleksi dan memanipulasi berbagai aturan dan prinsip agar dapat memecahkan masalah. “Case materials” adalah deskripsi orientasi masalah dari suatu peristiwa yang dapat diyakini dimana memberikan keterangan yang cukup memadai untuk memungkinkan pembaca menganalisis proses masalah/solusi. Sebuah kasus yang tuntas menjelaskan seluruh situasi dan mencakup informasi latar belakang, aksi dan reaksi orang-orang terlibat, solusi dan kemungkinan konsekuensi tindakan yang diambil. Case materials sebaiknya mempunyai informasi dan keterangan latar belakang yang cukup memadai sehingga mereka dapat dibaca dan diyakini.”

Merepresentasikan masalah dalam bentuk Grafik

Langkah pertama dan paling mendasar dalam problem solving adalah merepresentasikan informasi dalam bentuk simbolik atau diagram. Bentuk simbol memberikan informasi masalah itu dalam bentuk kata-kata, huruf-huruf atau angka-angka, sedangkan bentuk diagram memberikan informasi dalam bentuk kumpulan garis-garis, titik-titik atau sudut-sudut.

Representasi grafik adalah ilustrasi visual dari pernyataan-pernyataan verbal dan dapat membantu dalam memahami masalah dam memetakan solusi-slusi atas masalah-masalah. Sejumlah peneliti telah membahas penggunaan dan efek representasi grafik dalam problem solving (Bransford, Sherwood, Vye, & Rieser, 1986; Silver, 1987). John dan rekan-rekannya merekomendasikan prosedur lima langkah untuk mengajarkan para siswa mempergunakan representasi grafik dalam kerja mereka. Lima langkah ini adalah sebagai berikut:

1. Mempresentasikan sekurang-kurangnya satu contoh outline grafik yang baik sesuai dengan jenis outline yang Anda akan ajarkan.
2. Membuat model tentang bagaimana mekonstruksi baik outline grafik yang sama atau outline grafik yang akan diperkenalkan.
3. Memberikan pengetahuan prosedural tentang kapan dan mengapa para siswa seharusnya mempergunakan jenis struktur grafik tertentu.
4. Melatih para siswa dalam mempergunakan struktur grafik dengan memerintahkan mereka untuk menjelaskan struktur yang mereka pilih dan kemudian memberikan para siswa umpan balik mengenai berbagai pilihan mereka.
5. Memberikan para siswa peluang untuk mempraktekkan membuat outline mengenai struktur grafik dan memberikan kepada mereka umpan balik.

Membantu para siswa mentransfer proses belajar mereka

Ketika kita mengajarkan para siswa teknik-teknik problem solving, kita menghendaki mereka mempergunakan teknik-teknik ini untuk beragam situasi dan tidak menganggap teknik-teknik ini hanya digunakan di ruang kelas saja. Transfer of learning mengacu kepada berbagai upaya untuk memahami bagaimana mempelajari satu topik mempengaruhi proses belajar berikutnya. Kondisi-kondisi tertentu tentang apa dan seberapa besar yang akan ditransfer, di antaranya adalah sebagai berikut:

- Kesamaan tugas melatih pengaruh yang kuat atas pengalihan

- Tingkat proses belajar awal adalah unsur penting dalam pengalihan

- Inteligensi, motivasi dan pengalaman masalah lalu adalah variabel-variabel personal yang penting tetapi sulit untuk mengontrol, mempengaruhi proses pengalihan

Santrock (2001, h. 308) menyatakan cara-cara membantu para siswa mengalihkan informasi:

- Berpikir tentang apakah para siswa Anda harus mengetahui keberhasilan hidup

- Memberikan para siswa berbagai peluang untuk proses belajar di dunia nyata

- Mengajarkan berbagai strategi yag akan membuat generalisasi
Solving goal-free problem

Para siswa akan diberi pelajar secara efektif apabila mereka harus memecahkan masalah dimana tujuannya belum dispesifikasi dengan baik. Dalam hal ini, para siswa harus menemukan cara dengan mencari probabilitas tertentu yang mereka dapat lakukan. Goal free problem mengarah para siswa melakukan greakan secara random atau ditentukan dengan gerakan sebelumnya. Dengan tindakan ini, kemudian para siswa mempunyai berbagai pengalaman untuk melakukan perilaku berikutnya di masa depan dengan jauh lebih efektif. Keadaan ini berlawanan dengan masalah yang biasanya dihadapi. Pada masalah konvensional, siswa dihadapkan pada tujuan (goal state) yang diminta. Dengan demikian, seluruh perhatian siswa terpusat pada upaya mencari jalan untuk mencapai goal state tersebut. Kondisi ini menyebabkan siswa berorientasi pada langkah-langkah ke depan, yaitu langkah-langkah yang mengantarkan kepada kondisi yang semakin dekat dengan goal state. Akibatnya, siswa tidak pernah mengambil pelajaran pada langkah-langkah yang telah dia tempuh, karena seluruh perhatian ia tumpahkan pada langkah berikutnya. Dalam perspektif belajar tentu saja dia tidak mendapatkan pengalaman belajar yang berarti. Lagipula, menurutnya, goal-free problem dapat mengurangi cognitive load.

Sweller kemudian memberi contoh dalam kasus seorang siswa yang berhadapan dengan persoalan yang dikonstruk dalam bentuk konvensional seperti berikut ini:

Dalam 18 detik sebuah mobil balap dapat melakukan start dari kondisi diam dan menempuh jarak 305.1 meter. Berapakah kecepatan yag akan dicapai oleh mobil balap itu?

Sebagaimana yang dapat dilihat dalam contoh di atas, specific goal state dalam soal di atas yang nampak dalam kalimat terakhir, dapat diganti dengan indeterminate goal seperti:

Hitunglah nilai variabel sebanyak-banyaknya yang Anda dapat lakukan.

Dengan goal yang tidak spesifik, mencegah siswa menggunakan cara backward-working, means-ends strategy, yang kemudian dapat mengurangi cognitive load.
Melakukan Praktek dengan Mempergunakan Worked Examples

Sweller (1999) mengajukan hipotesis bahwa worked examples akan memfasilitasi proses belajar seperti yang terjadi pada goal-free problem. Worked examples seharusnya secara tepat memfokuskan perhatian, mengurangi cognitive load bila dibandingkan dengan masalah-masalah konvensional dan, akibatnya, memudahkan akuisisi skema dan otomasi aturan (rule automation). Dengan worked examples, seorang siswa tidak perlu lagi memberi perhatian pada hal lain yang tidak berhubungan dengan problem state. Dengan sendirinya, siswa akan memahami langkah-langkah yang akurat dan efektif bagaimana memecahkan masalah. Dengan demikian, siswa mendapatkan pengalaman belajar yang nyata dan relevan dengan soal yang sedang dihadapinya.

Efektifitas worked examples dalam proses belajar didukung oleh sejumlah temuan yang diperoleh dari berbagai studi. Misalnya apa yang dilakukan oleh Chi, Bassok, Lewis, Reiman and Glaser (1989) yang telah menemukan bahwa lebih banyak siswa yang pintar lebih terlatih daripada siswa yang kurang pintar dalam menganalisis worked examples. Lebih banyak siswa yang pintar dapat membuat penjelasan yang lebih terinci dan lebih sadar tentang kegagalan pemahaman atas bacaan (comprehension failures) daripada siswa yang kurang pintar. Zhu dan Simon (1987) dalam studinya mengenai efek pemberian worked examples pada pelajaran matematika menemukan bahwa siswa yang diberikan worked examples lebih baik performanya ketimbang siswa yang belajar dengan teknik tradisional. Demikian juga apa yang ditemui oleh Pass (1992) dalam studinya dengan menggunakan konsep statistik, mendapat kesimpulan bahwa prestasi kelompok yang mendapat worked examples mengungguli kelompok yang bekerja dengan teknik konvensional. (lihat Sweller, 1999 h. 71). Dengan hasil studi yang dilakukan banyak peneliti menunjukkan bahwa belajar dengan worked examples telah menunjukkan hasil yang signifikan.

Penutup

Secara umum, keterampilan memecahkan masalah dapat ditingkatkan melalui pedoman dan pelatihan sistematis dan terarah. Mengajarkan teknik-teknik keterampilan problem solving bagi para siswa seharusnya dilakukan melalui pendekatan holistik dan terintegrasi dengan mempertimbangkan faktor motivasi, teknik atau strategi serta teori kognitif. Tiga faktor ini saling terkait dan saling mempengaruhi dimana salah satu faktor itu diabaikan, maka kita tidak dapat memperoleh hasil yang optimal untuk meningkatkan keterampilan problem solving para siswa.

Meningkatkan motivasi siswa dalam problem solving dilakukan melalui berbagai cara dan hal ini akan memberikan dukungan menyeluruh atas para siswa untuk terlibat secara aktif dan memungkinkan mereka suka dalam proses problem solving. Di sini, seorang pelatih atau guru sebaiknya memperhatikan prinsip-prinsip motivasi dasar dalam proses belajar, proses menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan para siswa semangat dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah atau soal-soal.

Apabila motivasi telah tercipta, maka apa yang kita butuhkan adalah kapabilitas untuk menemukan cara-cara yang efektif dalam proses problem solving. Pedoman mengenai berbagai pendekatan dan model problem solving untuk melatih kapabilitas general dalam keterampilan ini begitu berarti dan efektif. Sekurang-kurangnya, seorang siswa mengetahui dan mendapatkan berbagai pengalaman dalam mengaplikasikan berbagai cara utuk menemukan problems solving melalui model-model dan teknik-teknik yang telah penulis jabarkan.

Keterampilan problem solving tidak dapat dipisahkan dari bagaimana sistem kognitif seharusnya berfungsi. Oleh karena itu, deskripsi tentang karakteristik arsitektur kognitif harus dipertimbangkan dalam mengajarkan teknik-teknik problem solving. Di sini, cognitive load theory memberikan kontribusinya. Salah satu cara yang berperan penting dalam meningkatkan keterampilan problem solving adalah memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyimpan berbagai skema mengenai soal-soal yang relevan dengan apa yang mereka hadapi. Apabila kita akan melatih seorang siswa menjadi seorang problem solver tingkat pakar, maka kita harus mensuplai system kognitif siswa tersebut dengan serangkaian pelatihan atau pendidikan. Dalam pelatihan atau pendidikan ini, pertimbangan efisiensi dan efektifitas kerja dari sistem kognitif dalam problem solving harus mendapatkan perhatian.

Refferences

Elliot, Stephen N., Thomas R. Kratchowill, Joan Liitlefield, and John F. Travers.(1999). Educational Psychology. Effective Teaching, Effective Learning. 2nd ed. Madison: Brown & Benchmark Publishers.

Glover, John A., Royce R. Ronning and Roger H. Bruning. (1990). Cognitive Psychology for Teachers. NY: MacMillan Publishing Company.

Medin, Douglas L. and Brian H. Ross. (1997). Cognitive Psychology.2nd ed. Forworth:Harcourt Brace & Company.

Smith, Patricia L. and Tilman J. Ragan. (1993). Instructional Design. NY: MacMillan Publishing Co.

Santrock, John, W. (2001). Educational Psychology. Int’l ed. Boston: MacGraw Hill Company.

Sweller, John. (1999). Instructional Design. Camberwell: Acer Press.

[1] Santrock, John W., 2001. “Educational Psychology”. Int’l edition. Boston: Mc Graw Hill. P. 299.

[2] Glover, John A., Royce R. Ronning and Roger H. Bruning. 1990. Cognitive Psychology for Teachers. NY:MacMillan Publishing Company, p. 150

[3] Smith, Patricia L. and Tilman J. Ragan. 1993. Instructional Design. NY:MacMillan Publishing Co. p. 249

[4] Medin, Douglas L. and Brian H. Ross. 1997. Cognitive Psychology. (2nd ed.). Forworth:Harcourt Brace & Company, p. 439)

[5] Santrock, John, W. 2001. Educational Psychology. (Int’l ed ). Boston: MacGraw Hill Company, p.298

[6] Medin and Ross, op.cit p. 438

[7] Glover et al., op cit, p. 151

Read More/baca selengkapnya..

Home Schooling: Apa, Mengapa dan Bagaimana ..?

Fahmy Alaydroes, Psi., MM, MEd[2]


Best Thing about Homeschooling
by Marty Layne[3]

Time to sit and read to your children out loud
Time to stay in your pajamas all day and play
Time to watch your children as they put on plays
Time to listen to your children
Time to look at spiders
Time to go for a walk when the sun is shining,
or the rain has just started to fall, or the wind is blowing hard
Time to understand your children, to discover what makes them happy,
sad, mad, or glad, and help them understand themselves
Time to build relationships
Time for a child to follow an interest
Time for a child to be bored
Time to sing
Time for a child to learn how to live in a family with other people
all sharing the same space
Time for a child to just sit outside and daydream
Time for a child to read
Time for a child to discover things
Time to paint in the kitchen and make a mess
Time to learn patience
Time to laugh together
Time to play games together
Time to just sit with a child and be quiet together
Time to call your own.

Apa itu ‘Homeschooling’?

Homeschooling dapat dipandang sebagai suatu pendidikan alternative yang merupakan substitusi dari aktivitas sekolah, dimana anak belajar di bawah supervisi dan kontrol penuh orangtua. Perlu dibedakan dengan kegiatan belajar di rumah (seringkali disebut ‘homestudy’) yang berada di bawah supervise personil dari sekolah, atau adanya program visiting teacher. Biasanya program ini sengaja disediakan oleh sekolah tertentu untuk melayani anak-anak yang mengalami kesulitan untuk pergi ke sekolah dengan alasan sakit berkepanjangan. Jadi, Homeschooling adalah kegiatan belajar anak yang sepenuhnya berada dalam program dan kendali ‘orangtua’, dan tidak ada ketergantungan dengan yang namanya sekolah (formal).

Mengapa harus ‘Homeschooling’?

Sesungguhnya tanggung jawab utama pendidikan anak, ya di tangan orang tua. Lagipula, orangtua lah yang paling memiliki kepedulian, perhatian dan kedekatan yang tak tergantikan oleh pihak lain (baca: guru di sekolah!). Kalaupun terpaksa anak harus sekolah dan di didik oleh orang lain, maka kewajiban orangtua untuk mencarikan sekolah atau lembaga pendidikan yang baik, bertanggung jawab, dan bermutu. Allah SWT telah menggariskan masalah ini dalam firmannya:

- Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan kelurgamu dari api neraka (QS:

-Ya Robb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri isteri kami dan anak-anak kami

‘penyejuk mata” dan jadikanlah kami penghulu bagi orang-orang yang bertaqwa (QS 25:

-Dan hendaklah khawatir akan meninggalkan anak keturunan yang ’lemah’...(QS 4:9)

Umumnya keputusan menyelenggarakan Homeschooling biasanya dilatarbelakangi oleh kekecewaan, ketidak puasan dan kekhawatiran dan ketidak-percayaan akan proses dan mutu pendidikan di sekolah formal. “School is dead !”, demikian jargon sinis yang kerap kita dengar dari para kalangan homeschoolers. Jargon ini akan semakin relevan bila kita letakkan dalam peta kondisi pendidikan di tanah air. Sekolah-sekolah di Indonesia, baik negeri dan kebanyakan swasta sangat sarat masalah: mulai dari pijakan filosofis, kurikulum, pembiayaan, sdm, manajemen, sumber belajar, dan sebagainya. Sekolah-sekolah di tanah air, ternyata sebagian besar tidak mampu menjalankan perannya sebagai institusi yang seharusnya menjadi agen penumbuhan dan pengembangan seluruh potensi anak. Yang terjadi malah sebaliknya.

Lihatlah beberapa indicator, betapa sekolah-sekolah mengalami permasalahan yang serius:

n Skor rata-rata untuk membaca siswa SD: 75.5 (Hongkong), 74.0 (Singapura), 65.1 (Thailand), 52.6 (Filipina), dan 51.7 (Indonesia). Anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan: sukar membaca soal uraian. Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Greanery, 1992),

n Skor IPA & Matematika anak Indonesia (2SMP) berada pada urutan 34 dan 32 diantara 38 negara, Hasil studi The Third International Mathematics and Science Study 1999.

n Lebih dari sejuta pemuda terkena narkoba (Prof. Dadang H, 1998); 1997 >> 9 daerah rawan 1998 >> 18 daerah rawan (Kongres Nasional Epidemiologi IX) 2003 >> semakin banyak anak SD terkena NARKOBA !! (Republika, 17 Mei 2003)

n Proporsi guru layak (SD), rata-rata 33,81%, Guru layak SLTP

Bahasa Indonesia: 46,99%, Bahasa Inggris :45,45%, Matematika : 50,93%

I P A : 54,62%, I P S : 48,29%

n Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala; diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan:

Ø ke 102 pada tahun 1996,

Ø ke 99 pada tahun 1997,

Ø ke 107 pada tahun 1998,

Ø Ke …….tahun 2000

Ø Ke 112 tahun 2003

n Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu menduduki urutan ke 37 dari 57 negara yang disurvai di dunia.

n Anggaran Pdd thn 2002 hanya 10 triliun, sementara untuk penghapusan hutang sebesar 30 triliun !!, Tidak pernah lebih dari 5%, belum lagi tingkat kebocoran sampai 30% !

Padahal, potensi anak itu dapat berkembang optimal sangat bergantung bagaimana model, pola, intensitas interaksi, kekayaan sumber belajar, variasi dan metode pendekatan. Dan, masa-masa pertumbuhan itu sangat ditentukan di saat usia sekolah! Bahkan, kemudian manakala sekolah tidak mampu menciptakan suasana pendidikan yang kondusif, yang terjadi adalah sebaliknya; anak-anak akan tumbuh ke arah perkembangan negatif, seperti: rendah diri, kriminal, tidak disiplin, etos belajar yng rendah, dan sebagainya.

Di sisi lain, Kebanyakan mereka memandang homeschooling punya banyak keuntungan, antara lain:

* Kesempatan yang sangat luang dan intens dalam membina hubungan interaktif dan penuh emosi antara orangtua-anak, sebagai kelanjutan hubungan yang sudh terbina sejak kelahiran. Tidak ada alasan untuk menghentikan hubungan ini hanya karena anak-anak ‘harus’ pergi ke sekolah!
* Supervisi yang lebih baik, intens dan focus terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kemajuan anak.
* Lebih dapat menerapkan cara dan gaya pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan keadaan dan kondisi anak.
* Meniadakan factor resiko keamanan dan kelelahan fisik anak: factor kondisi dan jarak rumah-sekolah
* Fleksibilitas dalam pendekatan, metode, media: bisa sambil jalan-jalan, shopping, bercanda, diskusi serius, dan sebagainya…

Homeschooling di Indonesia

Di Indonesia, homeschooling belum begitu populer. Ini terjadi karena beberapa sebab, antara lain: daya dukung resources, aspek hukum, budaya dan peluang kelanjutan belajar/sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Bila kita rujuk ke UU Sisdiknas, homeschooling dapat dikategorkan dalam jalur Pendidikan Informal, yang diatur pada Pasal 27, yang berbunyi:

1. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

2. Hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

3. Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dengan demikian, praktek homeschooling di negeri kita mendapatkan pijakan hukum yang kuat, meskipun aturan teknis keabsahan dan pengakuan masih harus menunggu PP.

Prasyarat Homeschooling

Keputusan penyelenggaraan homeschooling harus mempertimbangkan banyak sisi, karena menyangkut perjalanan karir akademis anak. Paling tidak, sejumlah pra syarat berikut hendaknya menjadi pertimbangan bagi penyelenggaraan homeschooling:

1. Mau

Baik orangtua dan anak telah memiliki motivasi, tekad dan dorongan yang kuat untuk menyelenggarakan homeschooling. Ini menjadi penting sebagai modal awal yang handal, terutama dalam rangka menghadapi tuntutan dan konsekwensi dari penyelenggaraan homeschooling seperti: penyediaan resources, disipilin, efek psikologis, dan sebagainya

2. Mampu

Tentu saja kemampuan dan kompetensi orangtua sebagai pendamping dan sekaligus pembimbing anak harus melebihi kemampuan dan kompetensi para guru di sekolah formal. Orangtua harus memiliki keluasan pengetahuan tentang seluk beluk mengajar, melatih mengasuh dan membimbing. Orangtua mesti terampil dalam membuat perencanaan, mengembangkan berbagai metode dan pendekatan, memiliki kemampuan dalam mengakses berbagai sumber belajar (resources), dan melakukan evaluasi yang sistematis. Lebih jauh, orangtua juga harus punya konsep yang ajeg dan benar, yag kemudian dituangkan ke dalam visi yang jelas. Termasuk di dalamnya, kemampuan bagaimana mencapai tugas-tugas perkembangan anak sesuai dengan perkembangan usianya, baik fisik, kognitif, agama dan moral, social, dan emosi.

3. Waktu

Meskipun homeschooling menjanjikan kebebasan, keleluasaan dan keluwesan dalam pelaksanaannya, namun tetap saja mesti ada ketersediaan dan komitmen waktu yang cukup dan memadai dari orangtua untuk membuat jadwal, dan berupaya untuk melaksanakan jadwal yang disusun sebaik-baiknya, agar juga terbina kebiasaan disiplin yang baik.

4. Jaminan hukum/pengakuan, demi kelanjutan

Pengakuan resmi kompetensi anak menjadi hal penting bagi kelanjutan karir akademik ataupun karir kehidupannya. Selayaknya, ada jaminan hukum (formal), berupa pengakuan keabsahan kompetensi sehingga dapat melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya (kalau sekiranya proses homeschooling berhenti). Pengakuan kompetensi juga relevan buat bekerja, ataupun ketika yang bersangkutan berminat untuk terlibat dalam karir politik (yg mensyaratkan ijazah, sebagai bukti pendidikan)

5. Jaminan psikologis anak

Praktek homeschooling di tengah budaya sekolah perlu mempertimbangkan dampak psikologis anak. Boleh jadi anak homeschooler akan merasa ’aneh’, ’beda’ ataupun ’outgroup’ bila dibandingkan dengan lingkungan sosialnya yang sebagian besar adalah anak-anak sekolahan. Kekhawatiran yang kerap timbul dalam penyelenggaraan home schooling dipicu oleh anggapan-anggapan umum seperti: ”Homeschoolers terkungkung di rumah sepanjang hari”, ”Homeschoolers tidak punya teman”, ”Anak-anak tidak dapat bersosialisasi bila mereka tidak pergi ke sekolah biasa”, ”Kebanyakn orangtua tidak (akan) mampu mengajar anak-anak mereka sendiri”, ”homeschoolers remaja kehilangan kesempatan mendapatkan ”the high-school experience." Perlu jaminan, bahwa dengan homeschooling, perkembangan self-esteem, self perception, tidak bermasalah[4].

Berbagai Pendekatan
Pola penyelenggaraan homeschooling bisa menggunakan aneka pendekatan. Tentu saja pilihan mana yang akan diambil sangat bergantung kepada motivasi, filosofi, konsep, tujuan dan gaya orangtua. Berbagai pendekatan dalam pelaksanaan homeschooling, antara lain[5]:

* Structured: seringkali disebut dengan istilah ‘sekolah di rumah’. Programnya sangat jel;as, terorganisir, goal-oriented.
* Interest-initiated: Anak belajar dari kehidupan dan pengalaman nyata. Orangtua mendorong dan menyediakan berbagai resources yang menarik minat anak-anak. Orangtua dan anak-anak merencanakan beberapa kegiatan yang disusun dalam kalender bulanan, dengan catatan-catatan kecil pada setiap kegiatan itu.
* Learning-style: material belajar dan aktivitas dipilih berdasarkan gaya belajar anak guna mendapatkan hasil belajar optimal.
* Philosophical: Struktur kegiatan belajar berpijak dan bersandar kepada konsep filosofis yang difahami dan diyakini orangtua.
* Accelerated: Orangtua menilai anaknya memiliki kemampuan khusus (talenta) yang memungkinkan untuk belajar dengan determinasi dan akselerasi tinggi. Aktivitas belajarnya focus, dengan sasaran target tertentu.
* Accommodating: Kegiatan belajar didasarkan kepada adanya kebutuhan tertentu dari anggota keluarga mereka.
* Unit-based: Belajar memusatkan kepada satuan pelajaran/bahasan tertentu untuk satu periode tertentu. Anak belajar sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
* Community : Sebagian waktu belajar anak dilakukan melalui pelibatan mereka ke dalam kelompok-kelompok yang ada di sekitar tempat tinggal anak. Biasanya dalam kelompok remaja, kelompok keagamaan.
* Eclectic: berbagai komninasi dari pendekatan-pendekatan di atas. Orangtua tinggal memilih sesuai dengan porsi yang diinginkan

10 Tips Menjadi Orangtua Homeschooling[6]

1. Tahu benar apa alasan dan latar belakang keputusan mendidikan anak dengan program homeschooling. Apakah karena alasan keamanan, keselamatan, atau sakit. Atau karena alasan agama, filosofis yang diyakini. Alasan ini akan sangat mempengaruhi disain program homeschooling yang akan digulirkan.
2. Memastikan aspek legal dan hukum yang berlaku di daerah tempat tinggal. Seringkali, kebijakan dan peraturan tiap daerah berbeda satu dengan yang lain.
3. Program dibuat dengan jelas, berstruktur. Apapun pendekatan yang dianut, tentu saja perencanaan, sumber belajar, metode dan media, penjadwalan serta langkah evalausi mesti disiapkan.
4. Sabar dan Luwes. Posisi sebagai orangtua dan sekaligus guru dalam program homeschooling menuntut kesabaran yang luar biasa. Bolehjadi kedua posisi menuntut peran yang berbeda, dan kemungkinan memunculkan konflik peran.
5. Kembangkan hubungan yang positif dan akrab antara orangtua dan anak. Layaknya sebuah tim yang solid dalam rangka mengejar target bersama.
6. Berkomunikasi dan menjlin hubungan dengan orangtua homeschool lain. Dengan komunikasi, kita akan banyak mendapatkan ide, gagasan, solusi, sumber belajar. Komunitas homeschooling banyak didapatkan melalui jaringan internet.
7. Siapkan area atau tempat belajar yang memadai, nyaman dan kondusif; terutama saat-saat mempelajari hal-hal yang memerlukan konsentrasi. Seringkali suasana rumah sangat dekat dengan berbagai hal yang kurang relevan dengan suasana belajar.
8. Selalu mempersiapkan diri untuk pindah ke sekolah biasa. Boleh jadi, orangtua, anak ataupun kondisi menjadi sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan program homeschooling. Guna menghindari keterputusan pendidikan, orangtua harus menyiapkan segala kemungkinan untuk memindahkan anak ke sekolah biasa. .
9. Metode dan Model Evaluasi yang efektif. Sebaiknya, orangtua memiliki pengetahuan tentang model, pola dan content evaluasi yang dilakukan oleh sekolah-sekolah biasa yang ada di sekitar tempat tinggal. Boleh jadi, orangtua akan menggunakan pendekatan evaluasi yang sama dengan sekolah, sehingga bisa sekaligus mengukur dan membandingkan kemajuan belajar anak.
10. Jangan lupakan program sosialisasi. Seringkali masalah sosialisasi menjadi pertanyaan kritis dalam program homeschooling.

PENUTUP

Homeschooling harus lebih baik dari sekolah biasa. Bila penyelenggaraan homeschooling ternyata tidak mampu melebihi mutu sekolah, atau dengan kata lain perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dan bermasalah: maka sungguh akan berlaku jargon: homeschooling is dead..!! Jadi, sesungguhnya yang paling esensial adalah bagaimana anak mendapatkan proses pendidikan yang baik, benar dan bermutu; siapapun dan dimanapun mereka mendapatkannya.

[2] Peminat masalah pendidikan, Ketua JSIT Indonesia.

[3] Marty Layne is the mother of 4 young adults (23-15) who have been learning at home since they were born. She likes to sing, write, work in the garden, drive her daughter to and from dance classes, and talk with her family. Diambil dari situs www.homeschooling.gomilpitas

[4] Persoalan yang kerap dipertanyakan orang dalam konteks homeschooling adalah masalah ’sosialisasi’, yang erat kaitannya dengan pembentukan ‘self –esteem’ anak. Tentu saja orangtua ’homeshoolers’ mesti memiliki kepekaan dan kemampuan dalam masalah ini Dalam riset yang dilakukan Larry Edward Shyers, PhD ditemukan, tidak ada beda yang berarti antara anak-anak sekolah formal dengan anak-anak ‘homeschoolers’ dalam pembentukan self esteem. Dia mengukur self esteem 70 anak usia 8-10 tahun dari homeschooling dan 70 lainnya dari sekolah biasa dgn menggunakan “the Piers-Harris Children's Self-Concept Scale”. Lihat lebih detail dalam situs: learninfreedom.org/socialization.html

[5] Lebih detail lihat di situs: www.homeschooling.gomilpitas

[6] Dijabarkan oleh Molly Hewitt dalam situs: www.homeschooling.gomilpitas

Read More/baca selengkapnya..