Kamis, Januari 31, 2008

Ujian Nasional SD/MI

Salah satu tujuan dari diproklamasikannya negeri ini ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, jelas tersurat dari Undang-undang Dasar 1945. Penjabaran nyata dari tujuan ini ialah dibuatnya rancangan pembangunan pendidikan. Melalui pembangunan pendidikan diharapkan seluruh komponen bangsa dimanapun berada merasakan dan menikmati kemerdekaan dengan disertai terbukanya kesempatan untuk dapat mengakses pendidikan yang kemudian berujung pada peningkatan kesejahteraan hidupnya.

Namun setelah lebih dari 62 tahun Republik ini merdeka tujuan kemerdekaan belum dapat terlihat dan dirasakan oleh semua rakyat. Pendidikan Nasional masih bergayut bermacam persoalan utama dan mendasar yang menyebabkan tertinggalnya bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa lain yang pesat berkembang. Permasalahan pendidikan yang nampak kasat mata adalah:

  1. Persoalan wajib belajar yang belum tuntas
  2. Penyediaan sarana dan prasarana yang belum memadai
  3. Ketersediaan, kompetensi dan kesejahteraan guru yang belum cukup
  4. Standarisasi proses yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia
  5. Penyediaan anggaran pendidikan yang belum sesuai dengan amanah konstitusi

Sebagai bahan evaluasi, hendaknya pemerintah menyusun program-program yang relavan dan nyata untuk meningkatkan akses pendidikan dalam rangka pencapaian wajib belajar sembilan tahun. Dengan disertai peningkatan mutu proses dan penyelanggaraan pendidikan. Kemudian itu semua diikuti oleh tatakelola yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Alih-alih merancang program yang nyata dapat meningkatkan mutu dan akses pendidikan, pemerintah malahan membuat blunder dengan rencana pemberlakukan Ujian Nasional untuk Sekolah Dasar yang diawali oleh penyelenggaraan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Ada 5 (lima) hal yang menjadi alasan pemerintah untuk pelaksanaan USBN, yaitu hasil USBN dapat dimanfaatkan: 1) Untuk pemetaan mutu lulusan satuan pendidikan tingkat kabupaten/kota, 2) pertimbangan dan perbaikan pencapaian kompetensi, 3) pertimbangan pemberian bantuan edukasi dan finansial bagi sekolah yang masih rendah capaian kompetensinya, 4) alat penyeleksi ditingkat sekolah yang lebih tinggi, dan ini yang menjadi begitu penting diperhatikan: 5) menjadi salah satu pertimbangan kelulusan dari satuan pendidikan (SD).

Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UAN dapat menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan? Apakah UAN dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Apakah UAN dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik? Apakah UAN dapat menjawab sikap demokratis anak? Dapatkah UAN memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut?

Dalam Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 terdapat ketidaksinambungan antara tujuan, fungsi, dan bentuk ujian. Pertama, bahwa pelaksanaan UAN bertujuan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes. Dari pernyataan tersebut muncul beberapa pertanyaan antara lain:

(1) Dapatkah tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik? (2) Dapatkah tes tersebut memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian? (3) Dapatkah tes tertulis melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak? (4) Dapatkah tes di ujung tahun ajaran menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya? (5) Bagaimana kalau terjadi anak sakit pada saat mengikuti tes? (6) Apakah hasil tes dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran?

Bila diteropong lebih jauh, maka sesungguhnya pelaksanaan UN atau USBN atau apaun namanya akan berhadapan dengan persoalan sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan USBN adalah bentuk ketergesaan pemerintah yang terburu nafsu hendak memotret mutu pendidikan nasional, padahal kelengkapan dan ketersediaan sarana dan prasarana, standar proses dan ketersediaan tenaga guru yang layak masih jauh dari memadai.
  2. Penyelenggaraan USBN di tingkat SD akan mendorong seluruh pihak untuk “menggiring” proses belajar anak hanya mencapai nilai tes USBN (teaching for testing) dan lebih memfokuskan diri pada mata pelajaran yang diujikan di USBN. Hal ini nampak nyata pada pengalaman UAN di tingkat SMP dan SMA. Efek lanjutan dari wabah teaching for testing ialah akan munculnya kebiasaan anak yang hanya mampu menjawab soal namun tidak mampu menjawab problematika hidup yang sesungguhnya. Kebiasaan menjawab soal-soal pilihan ganda akan membuat siswa terkungkung dan mispersepsi tentang masalah: masalah adalah soal. Dan kemudian akan berdampak pada ketidak mampuan untuk menyelesaikan permasalahan, tidak terbiasa dengan problem solving
  3. Penyelenggaraan USBN mengabaikan kondisi psikologis anak usia sekolah dasar yang masih perlu terus berkembang sesuai bakat dan potensinya masing-masing. Stempel tidak lulus bagi siswa sekolah dasar boleh jadi akan membuat luka psikologi bagi siswa ybs: minder, tidak percaya diri, patah semangat dan berujung pada kegagalan pembentukan manusia cerdas dan merdeka.
  4. Penyelenggaraan USBN mengabaikan mekanisme penilaian hasil belajar yang semestinya mengingat aspek yang dinilai tidak General dan mencakup semua kompetensi yang diajarkan. Namun ketidak generalan penilaian ini malah menjadi penentu kelulusan dari sebuah proses pendidikan.
  5. Penyelenggaraan USBN menunjukan adanya ketidak konsistenan pemerintah: satu sisi dalam kurikulum berbasis kompetensi setiap siswa dikembangkan kompetensinya dari berbagai dimensi: kognitif, afektif dan psikomotorik namun di sisi lain kelulusannya ditentukan pada satu aspek saja: aspek kognitif bahkan lebih sempit lagi aspek hafalan.

Adapun tujuan-tujuan yang diharapkan oleh pemerintah dapat dilakukan hanya dengan cara yang mudah dan berbiaya tidaklah besar:
  1. Untuk pemetaan mutu lulusan, perbaikan pencapaian kompetensi dapat dilakukan dengan metode survey. Banyak lembaga survey yang mapan dan dapat melihat kondisi yang semestinya.
  2. Untuk pemberian bantuan pada sekolah yang tidak mendapatkan hasil yang baik pemerintah dapat melalui peningkatan mutu sistem akreditasi sekolah. Sekolah-sekolah yang belum terakreditasi tentu membutuhkan bantuan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi: bantuan mutu guru, sarana atau yang lainnya.
  3. Untuk alat seleksi pada jenjang pendidikan yang lebih tingggi diserahkan saja pada sekolah masing-masing karena pada dasarnya sekolah yang bersangkutan mampu melaksanakannya. Hal ini dapat dilihat pada seleksi sekolah-sekolah swasta yang sudah mapan dan dapat diperyanggungjawabkan.
  4. Untuk pertimbangan kelulusan diserahkan saja pada sekolah yang bersangkutan yang telah memiliki catatan panjang tentang performa siswa yang akan diluluskan.
  5. Pembiayaan USBN yang cukup besar (500 Milyar rupiah) sebaiknya dialokasikan untuk perbaikan gedung-gedung sekolah yang roboh, peningkatan kompetensi guru dan penyediaan sumber dan media belajar yang lebih baik.

Pemerintah perlu untuk lebih arif memandang persoalan ini, menimbang manfaat dan mudharat. Apabila USBN SD/Madrasah Ibtidaiyah ini tidak dilaksanakan, toh tidak akan menimbulkan kerugian yang dahsyat, dan sebaliknya apabila tetap dipaksakan boleh jadi akan menimbulkan implikasi dan dampak yang merugikan. Marilah kita jauhi hal-hal yang meragukan, dan kita laksanakan hal-hal yang jelas mendatangkan manfaat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ujian Nasional merupakan sebuah proses untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran di sekolah. Tentunya ia akan valis jika potret yang diambil tidak hanya satu frame tetapi multi frame. artinya perlu ada argumentasi yang kuat ketika pemerintah hanya menjadikan beberapa mata pelajaran saja