Kamis, Januari 31, 2008

Model Pengelolaan Sekolah Islam Efektif dan Bermutu

Landasan Filosofis
Pendidikan merupakan sebuah proses pemberdayaan manusia untuk membangun suatu peradaban yang bermuara pada wujudnya suatu tatanan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin. Allah SWT sebagai Pencipta memberdayakan adam as (manusia pertama) dengan proses pendidikan. Islam sendiri memulai proses membangun kembali peradaban manusia yang telah porak poranda (kala itu) dengan mengibarkan panji-panji wahyu pertamanya yang sarat akan nilai-nilai pendidikan. Sistem dan metode yang amat menentukan kualitas hidup manusia secara utuh (ruhiyah, jasadiyah dan aqliyah) dalam segala bidang adalah pendidikan. Akibatnya dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, amat sulit ditemukan kelompok manusia yang tidak menggunaka pendidikan sebagai sarana pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Bahkan pendidikan juga dijadikan sarana penerapan suatu pandangan hidup. Pepatah Arab bahkan menegaskan: adabulmar’I khoirun min dzahabihi (pendidikan lebih berharga bagi manusia ketimbang emasnya).

Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba, yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya yakni “khilafah fil ardl”. Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai: makhluq yang: beriman, berfikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan proses pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan fitrahnya.

Memberdayakan potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian dengan nilai-nilai yang mendasari fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani yang bersumber kepada Rob yang menciptakan manusia itu sendiri, sebagai zat yang maha mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan memperhatikan azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat sebagai sunnatulkaun pada pertumbuhan dan perkmbangan manusia, juga memperhatikan situasi dan kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan kehidupannya kelak.

Membangun suatu institusi pendidikan berarti mengambil peran dan tanggung jawab yang besar terhadap proses pembentukan kepribadian anak, karena di lembaga pendidikan itulah anak akan mendapatkan sebagian besar faktor-faktor penentu bentukan kepribadiannya, terutama dalam domain kognitif, afektif dan konatif, yang sering pula diterjemahkan menjadi pengetahuan, sikap dan perilaku. Kepribadian yang baik akan tumbuh pada anak manakala seluruh faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembentukannya dapat berinteraksi dengan sistem fisiopsikologis peserta didik secara sehat, proporsional dan memunculkan pengalaman belajar yang menyenangkan serta membangkitkan motivasi.

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS AsSyams:8, Adz Dzariyat: 56), yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi (QS 2:30/ 33: 72 ) Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertaqwa, berfikir, dan berkarya, sehat, kuat dan berketerampilan tinggi untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya.

Allah telah membekali manusia dengan kemampuan untuk belajar dan mengetahui, sebagaimana firman Allah;

“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang paling pemurah. Yang mengajakan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya".(QS Al ‘Alaq 1-5)

Allah juga telah menganugrahi manusia berbagai sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati, sebagaimana firman Allah … “ dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (An-Nahl : 78)

Al Maududi, mengatakan; “Pendengaran merupakan pemeliharaan pengetahuan yang diperoleh dari orang lain. Penglihatan merupakan pengembangan pengetahuan dengan hasil observasi dan penelitian yang berkaitan dengannya. Hati merupakan sarana membersihkan ilmu pengetahuan dari kotoran dan noda sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang murni. Jika ketiga pengetahuan itu dipadukan, maka terciptalah ilmu pengetahuan yang sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada manusia yang hanya dengan pengetahuan itulah manusia mampu mengatasi dan menundukkan makhluk lain agar tunduk pada kehendaknya”.

Sarana lain yang dimiliki manusia adalah bahasa, kemampuan untuk mengeluarkan gagasandan kemampuan untuk menulis. Keberadaan sarana pendidikan tersebut, Allah tegaskan dalam firmannya:

Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan bibir?” (Al-Balad 8-9)

“Allah yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-rahman : 1-4)

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”. (Al-Qalam)

Melalui berfikir dan belajar, diharapkan, manusia mampu mempelajari dan memahami ayat-ayat Allah, baik ayat qauliyah maupun ayat kauniyah. Mempelajari ayat qauliyah berarti memahami syariat-syariat Allah, sebagaimana dalam firmannya;

“Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Alquran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Seungguhnya, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana. (Al-Baqarah : 129)

Demikian pula mempelajari ayat-ayat kauniyah, berarti memahami ciptaan Allah yang terhampar di alam semesta. Sebagaimana firman Allah;

“Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan”. (Adz-Dzariyat : 21)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Rabb kami, tiadalah, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”( Surat Ali Imon: 190 –191)

Allah telah menciptkan pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai sarana untuk merenung, tafakur, berfikir jernih, serta meneliti alam semesta. Kemudian dengan akal dan hati, manusia mengolah alam ini untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat begi kehidupan.

Kita dididik secara ilmiyah melalui berfikir, observasi, diskusi, hingga penyimpulan. Sampai akhirnya kita dapat meraih ilmu pegetahuan dan menghasilkan sesuatu. Atas pendengaran, penglihatan, hati dan seluruh anggota tubuh yang diberikan Allah, manusia bertanggung jawab untuk memanfaatkan semuanya dalam jalan kebaikan. Allah berfirman;

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban. (Al-Isra : 36)

Rasa tanggung jawab itu akan terpelihara di dalam diri manusia yang sadar, selalu ingat, adil, jauh dari penyelewengan, tidak tunduk pada hawa nafsu, jauh dari kedzaliman dan kesesatan serta istiqomah dalam segala prilaku. Rasulullah saw mengatakan bahwa manusia itu bertanggung jawab atas harta, umur dan kemudaannya lewat sabdanya;

“Tidaklah beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum diminta pertanggungjawaban empat hal ini: tentang usia untuk apa dihabiskan usia itu; tentang ilmu pengetahuan, diamalkan untuk apa ilmunya itu; tentang harta, diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa hartanya itu; dan tentang tubuhnya, dilusuhkan untuk apa tubuhnya.” (HR. Tirmidzi)

Seluruh tugas manusia dalam hidup ini, berakumulasi pada tanggung jawabnya untuk beribadah dan mengesakan Allah, sebagaimana Allah berfirman;
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. “ ( Adzariat ayat 56)

Melalui penciptaan alam semesta, Al-Quran telah memberikan arahan pendidikan bagi manusia dengan dua prinsip ilmiyah yang melengkapi aspek pasivisme, finalitas dan logika. Dua prinsip itu adalah :

Pertama, berulangnya berbagai kejadian semesta melalui sunnah yang ditetapkan Allah. Dia yang Maha Agung dan Maha tinggi berkuasa mengubah itu jika Dia menghendaki. Prinsip itu merupakan landasan dalam berfikir ilmiyah, dimana dengan landasan itu pula menusia bereksploitasi dan berkreasi dalam segala penomena peradaban. Allah berfirman ;

“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Rabbmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah terangkan dengan jelas.”(Al Isra: 12)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Rabb kami, tiadalah, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”( Surat Ali Imon: 190 –191

Kedua, sesungguhnya sunnah-sunnah semesta dengan segala kejadian, fenomena, dan wujudnya, mulai dari yang berupa atom hingga yang terbesar, merupakan ciptaan Allah yang diturunkan sesuai dengan kadanya, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip inilah yang menunjukkan logika yang ilmiyah, yaitu melakukan observasi ilmiyah berdasarkan analogi kuantitatif, bukan berdasarkan deskripsi kualitatif. Hal ini seperti dalam firman Allah;

Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan kami telah menciptakan pula mahkluq-makhluq yang kamu sekali-sekali bukan pemberi rizki kepadanya. Dan tidak ada sesuatupun melalinkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Dan Kami tidak menurukannya melaikan dengan ukuran tertentu. (Al Hijr : 19 – 21)

Pemaparan Alquran tentang manusia dan alam semesta di atas, semakin mengokohkan akan urgensi pendidikan yang integral bagi manusia. Pendidikan yang mampu mengoptimalkan semua potensi manusia sehingga mampu menjalankan misinya untuk meraih sukses dunia dan akhirat. Selanjutnya Alquran mengarahkan manusia untuk menata kehidupannya dengan pendidikan yang baik. Allah membimbing menausia untuk senantiasa berdo’a memohon ditambahkan ilmu pengetahuan. Hal agar manusi selalu ingat bahwa yang memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan hanyalah llah swt. “Dan katakanlah: Ya Rabbku tambahkan bagiku ilmu pengetahuan. “(Surat Toha : 114) Allah juga mendorong menusia untuk terus meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dengan perintah belajar dan mengajar, seperti dalam firmaNya, “Tidaklah sepantasnya orang-orang mukmin itu berangkat semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan supaya mereka memberikan peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka dapat menjaga diri. “(Surat At-taubah : 122)

Pendidikan sangat berperan dalam estafeta generasi menuju genarasi yang lebih baik. Hal ini Allah pesankan kepada umat manusia untuk memperhatikan generasi dengan mendidik mereka mel;alui pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Allah berfirman; “ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan anak-anak yang lemah-lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahtraan) mereka, maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. “(Surat An-Nisa : 9)

Islam sangat menekankan pentingnya menuntut ilmu. Hanya dengan ilmu, kita akan dapat meraih kejayaan dan derajat: ”Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS AlMujadilah: 11). RasuluLlah SAW telah memberi khabar kepada kita bagaimana penting dan mulianya orang-orang yang menimba ilmu pengetahuan:

  • Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya ia pandai mengenai agama dan ia ilhami petunjuk-Nya. (HR. Muttafaq alaih)Sesungguhnya hikmah (ilmu) itu menambah orang yang mulia akan kemuliaan dan mengangkat hamba sahaya sehingga ia mencapai capaian raja-raja. (HR. Abu Nuaim)
  • Seutama-utama manusia adalah orang mu’min yang ‘alim yang jika ia dibutuhkan maka ia berguna, dan jika ia tidak dibutuhkan maka ia mencukupkan dirinya
  • Barangsiapa yang berjalan disuatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HRMuslim)
  • Barangsiapa yang berjalan disuatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Dan para Malaikat selalu meletakkan sayapnya menaungi para pelajar karena senang dengan perbuatan mereka. Dan seorang alim dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi dan ikan-ikan di dalam air. Kelebihan seorang alim atas orang ahli ibadat bagaikan kelebihan sinar bulan atas lain-lain bintang. Dan sesungguhnya ulama (guru-guru) sebagai pewaris dari nabi-nabi. Sesungguhnya Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham hanya mereka mewariskan llmu agama, maka siapa yang telah mendapatkannya berarti telah mengambil bagiannya yang besar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
  • Demi Allah, kalau Allah memberi hidayat kepada seseorang karena ajaranmu, maka yang demikian itu bagimu lebih baik dari kekayaan binatang ternak yang merah-merah.” (HR. Bukhari Muslim)
  • Sesungguhnya Allah tidak mengutus diriku sebagai orang yang menyusahkan, tidak pula sebagai orang yang keras kepala, tetapi Dia mengutus diriku sebagai pendidik yang memudahkan. (HR. Ahmad dan Nasai)
  • “Sesungguhnya Allah, para Malaikat, para penghuni langit dan bumi sampai semut yang ada di dalam lubangnya dan ikan-ikan yang ada dalam air selalu menyampaikan shalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan terhadap manusia (HR. Tirmidzi)
Pengertian Pendidikan Islam
Secara etimologi, kata pendidikan dalam bahsa arab berasal dari kata “tarbiyah”. Tarbiyah berasal dari asal suku kata roba – yarbu yang berarti penambahan, pertumbuhan, pemeliharaan dan penjagaan. Az-Zamakhsyari menambahkan makna kata tersebut dengan “pengajaran” dan “kedudukan tinggi”. Sedangkan Majduddin menambahkan makna lain, yakni memberi makan dan kemuliaan. Dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang mengunakan kata tarbiyah seperti dalam ayat:

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkan:”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil" (QS:17:24)

Alquran sering menggunakan kata lain untuk tarbiyah seperti tilawah (membaca), tazkiyah (pensucian jiwa), ta’lim (pengajaran), dan tathhir (pensucian). Seperti yang terdapat dalam surat 26: 18, surat 2:151

Sedangkan menurut istilah ‘Pendidikan’ diartikan sebagaimana pendapat bebarapa ulama di bawah ini:

Al-Qadhi Al-Baidhowi, mengartikan pendidikan (tarbiyah) sebagai “membawa sesuatu ke arah kesempurnaan secara bertahap.”. Definisi ini amat umum karena mencakup pendidikan manusia, pemeliharaan binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Definisi ini tadak diwarnai dengan corak Islam.

Ibnu Sina mengartikan tarbiyah sebagai pembiasaan. Yang dimaksud dengan pembiasaan adalah melakukan sesuatu berulang-ulang dalam masa yang lama dan dalam waktu yang berdekatan. Definisi ini telah menyempitkan bidang tarbiyah pada satu sisi saja yaitu “pemiasaan”.

Dr. Miqdad Yaljan, mengklasifikasikan pengertian pendidikan (tarbiyah) islamiyah sebagai berikut;
  1. Kurikulum materi-materi keislaman di sekolah atau madrasah
  2. Sejarah pendidikan, sejarah lembaga pendidikan atau sejarah tokoh-tokoh pendidikan di negara Islam
  3. Pengajaran ilmu-ilmu keislaman
  4. Sistem pendidikan integral yang diambil dari arahan dan ajaran Islam yang murni, serta berbeda dengan pendidikan lain baik Barat ataupun Timur.
Rif’ah Rafi’ Ath-Thathwi mendefinisikan pendidikan sebagai usaha mengembangkan jasmani dan jiwa anak didik semenjak lahir sampai tua dengan pengetahuan dan agama dan dunia. Sementara itu Prof. DR. Abdul Gani Abud berpendapat bahwa Pendidikan Islam yang kita inginkan adalah sebagaimana pendidikan yag ideal dan sebagaimana seharusnya, yakni pendidikan Islam yang tujuan dan dasar-dasarnya berdasarkan kepada ruh Islam yang dituangkan Allah dalam Alquran dan dicontohkan Rasul dalam hadits. Jadi yang kita inginkan itu adalah pendidikan yang berada dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan suasana yang islami seperti yang digariskan dalam Alquran dan hadits Rasulullah saw. Pertumbuhan anak-anak muslim berada dala suasana khusus ini.

Abdullah Nasih ‘Ulwan membagi dalam delapan Bidang Garapan Pendidikan Islam yaitu;
1. Pendidikan Jasadi, dengan rambu-rambu sebagai berikut;
  • Mengembangkan semua potensi jasmani secara sehat dalam rangka membentuk kepribadian yang integral, seimbang dan berkualitas ‘abidlillah
  • Menyiapkan mukmin yang kuat dan siap berjuang mempertahankan agama Allah
  • Memperhatikan aspek kesehatan jasmani, seperti menjaga kebersihan, menjaga diri dari berbagai penyakit
2. Pendidikan akal, Dengan rambu-rambu;
  • Menumbuhkan pikiran peserta didik agar menjadi insan abid yang shaleh
  • Menggunakan perasaan dalam mengembangkan aspek fikiran
  • Mengembangkan akan manusia dan berbagai potensinya lewat eksperimen ilmiyah
  • Memberi kesempatan akal untuk berlatih menganalisa dari peristiwa-peristiwa yang menimpa ummat terdahulu dan sekarang untuk dijadikan pelajaran bagi kehidupan masa depan
  • Memperhatikan pendidikan bashiroh lewat ketaqwaan.
  • Semua sasaran tersebut harus komitmen dengan etika penelitian ilmiyah dan akhlaq Islam
3. Pendidikan aqidah, dengan rambu-rambu;
  • Membentuk kecintaan kepada aqidah
  • Menyampaikan berbagai macam bukti kebenaran aqidah yang bisa melehirkan keimanan kepada Allah swt.
  • Membentuk prilaku anak didik untuk menerapkan aqidah Islamiyah dalam kehidupan.
4. Pendidikan akhlaq dengan rambu-rambu;
  • Mengembangangkan aspek fitrah yang ada pada menusia ke arah kebaikan dengan cara menimani akhlaq-akhlaq Alquran.
  • Memberi bekal pengetahuan dan menumbuhkan kehendak manusia untuk senantiasa memilih yang hak dan yang baik.
  • Memaparkan semua akhlaq Alquran secara integral dan menyeluruh disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
  • Akhlaq ditanamkan dengan cara praktek lewat lembaga-lembaga sosial, ibadat, qudwah dan latihan..
  • Akhlaq ditanamkan lewat semua aspek aspek yang ada pada manusia baik psikis, intelektual dan lainnya.

5. Pendidikan Kejiwaan dengan rambu-rambu;
  • Mengembangkan watak manusia secara utuh
  • Mmengendalikan kehendak manusia dengan memberikan segala kebutuhan
  • Menanamkan rasa cinta, harapan dan sikap optimis sehingga manusia terlepas dari setres dan penyakit kejiwaan
  • Mendorong agar beramal dan belajar dengan tekun.

6. Pendidikan keindahan (estetika) dengan rambu-rambu;
  • Melalui Alquran menumbuhkan rasa keindahan dengan cara mempelajarinya, mengajarkannya dan menghafalnya
  • Melalui alam dan beberapa peristiwanya baik yang dipaparkan Alquran maupun kehidupan nyata
  • Memahami hubungan antara makhluk
  • Membedakan bebrbagai macam bentuk ukuran, warna, rasa dan bau dan apa yang didengar
  • Menggunkan semua potensi agar menjadi seorang seniman
7. Pendidikan Kemasyarakatan dengan cara;
  • Memperhatikan keluaraga dan ibu
  • Memperhatikan masa kanak-kanak dan masa remaja
  • Membentuk kesadaran ekonomi sehingga menjadi manusia produktif
  • Menanamkan kesadaran politik
  • Membentuk wawasan internasional
  • Pendidikan Peran Jinsiyah (Menyadarkan peran, status dan adab jinsiyah)
8. Pendidikan ‘Amaliyah (melatih keterampilan dan kecakapan)
  • Keterampilan manajemen bisnis & wirausaha
  • keterampilan riset ilmiyah
  • keterampilan mekanik, elektronik & komputer
  • keterampilan kepanduan
  • keterampilan pertukangan, pertanian & perkebunan

Dengan demikian dapatlah kita tarik satu ‘benang hijau’, bahwa pendidikan yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang bertujuan mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar ia dapat berperan dan memfungsikan dirinya menjadi ‘hamba Allah’ yang sejati, yaitu hamba yang selalu menunjukkan perilaku positif dan kontributif buat diri dan lingkungannya.

Sekolah sebagai institusi seharusnya mampu memfasilitasi proses pendidikan yang diinginkan oleh Islam. Oleh karena itu sekolah seharusnya juga menjalin kerjasama yang efektif denga fihak lain, terutama: orangtua dan masyarakat dalam upaya mengembangkan proses pendidikan yang benar dan berkualitas.

Sejarah Lembaga Pendidikan Islam
Tanggung jawab utama pendidikan anak ada di tangan kedua orangtuanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw; bahwa “Setiap bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.”(HR. ). Ali Ra berkata, “Hati anak yang baru dilahirkan itu seperti tanah kosong. Apapun yang dilemparkan di atasnya akan dia terima.” Abu Bakar bin Arabi juga mengatakan, “Anak-anak adalah fithri, dia menerima ukiran baik dan buruk, namun kedua orang tuanyalah yang akan menggerakkan kepada salah satu ukiran itu. Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menghimbau campur tangan orang tua dalam memberikan pengarahan terhadap perkembangan anak. Karena siapa yang tidak memperhatikan anaknya untuk hal yang bermanfaat berarti ia telah benar-benar menyakiti anaknya.

Salah satu bentuk tanggung jawab orangtua dalam pendidikan putera-puteri mereka adalah dengan memilihkan guru atau lembaga pendidikan (sekolah) yang baik dan terjamin kebaikannya. Dalam sejarahnya, umat Islam sangat memberikan perhatian yang tinggi akan keberadaan lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk awalannya berupa majlis-majlis ilmu di mesjid-mesjid, perpustakaan (al Kutab), madrasah-madrasah dan perguruan tinggi dengan fasilitas yang lengkap dan mewah. Pendidikan di Kuttab. Kuttab adalah lembaga pendidikan Islam yang menyempurnakan kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Yang pertama diajarkan di kuttab ini adalah Al-quran. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw , “Siapa yang membaca Alquran sebelum ia mimpi, sesungguhnya ia telah diberi ilmu pengetahuan selagi anak-anak.” Setelah pelajaran Alquran baru diajarkan membaca, menulis, berhitung dan ilmu pengetahuan lainnya secara bertahap sesuai dengan tingkat kesiapan anak.. Namun pelajaran-pelajaran itu diberikan pada umur yang masih dini. Sebagaiman yang dikatakan Al-Ghazali bahwa, “Belajar diwaktu anak-anak seperti memahat di atas batu.”

Pada masa keemasan Islam: yaitu dimasa pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, Fatimiyah di Mesir sampai kepada masa Usmaniyah di Turki kawasan Islam sudah meliputi lautan Atlantik disebelah Barat, perbatasan Cina disebelah Timur dan Asia Tengah disebelah Utara, dan pantai Afrika Tengah di Asia Selatan. Di Eripa Barat Islam berkembang sampai ke pegunungan France dan Galilea d Selatan Perancis yang semuanya tunduk di bawah kekuasaan Islam dan memberi sumbangan pada suatu peradaban yang paling cemerlang yang pernah dikenal didunia ini.

Dalam pada masa-masa itu, ternyata kelembagaan pendidikan mendapat perhatian yang luar biasa dari para pejabat pemerintahan. Bermula dari mesjid sebagai lembaga pendidikan tertua, tersebutlah beberapa mesjid yang terkenal seperti Jami’ Ahmad bin Thoulon yang selesai dibangun pada tahun 256 H, mesjid Al Azhar di Mesir, Masjid Al Manshur di Bagdad pada zaman Harun Al Rasyid, Masjid Al Umayyah di Damaskus yang didirikan oleh Walid Abdul Malik sampai lembaga pendidikan sekolah (madrasah). Madrasah-madrasah tumbuh dan berkembang dengan dukungan dan kebijakan penuh para penguasa saat itu, seperti Madrasah An Nizhomiyah yang didirikan oleh Nizamul Mulk di Baghdad pada tahun 459H, memiliki perpustakaan besar dengan system catalog, Madrasah An Nuriyah di Damaskus yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki yang dilengkapi dengan aneka fasilitas seperti perpustakaan, asrama, rumah para guru. Madrasah Al Muntashiriyah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Al Muntashir pada abad XII M, dianggap sebagai madrasah terbesar di zamannya. Madrasah ini dilengkapi dengan perpustakaan lengkap dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Seluruh siswa dan guru tinggal di dalam asrama yang di penuhi segala kebutuhan makan, minum dan alat-alat belajarnya secara gratis, bahkan murid mendapat uang saku sebesar satu dinar emas setiap bulannya. Madrasah An-Nashiriyah di Mesir didirikan oleh Sultan Al Adil Zainuddin Katbaga Al Manshuri sekitar tahun 703 H, sebuah madrasah yang bangunannya sangat indah dengan aneka fasilitas dan ruangan untuk mempelajari empat mazhab fiqih dalam Islam.

Perhatian Islam akan pendidikan juga tercermin melalui banyaknya perpustakaan yang dibangun (dawarul kutub). Di Andalusia, misalnya terdapat sekitar 20 perpustakaan umum. Pada sekitar abad X Masehi, perpustakaan itu mempenyai lebih dari 400.000 jilid buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Mesir yang didirikan oleh Hakim bi Amrillah pada tahun 395 H memiliki 2 juta jilid buku. Perpustakaan Tripoli di Syiria yang dibumihanguskan oleh tentara Salib mempunyai buku sekitar tiga juta jilid. Perpustakaan Al Hakim di Andalusia menyimpan buku-bukunya di dalam 40 kamar, dan setiap kamar berisi 18.000 jilid. Demikian pula perpustakaan yang didirikan oleh Abud Daulah di sebuah kota besar di sebelaha Selatan Persia memenuhi 360 kamar yang dikelilingi taman-taman yang indah.

Sekolah efektif
Kriteria sekolah efektif menurut hasil analisis yang dilakukan oleh the Connecticut School Effectiveness Project, sebagai berikut:
  1. Lingkungan yang asri, nyaman dan aman yang memunculkan suasana kondusif bagi kegiatan belajar mengajar
  2. Misi sekolah yang jelas dengan komitmen kepada tujuan instruksional, prioritas, prosedur assessment dan akuntabilitas.
  3. Kepemimpinan instruksional di bawah arahan kepala sekolah yang memahami dan menerapkan berdasarkan karakteristik efektifitas instruksional.
  4. Adanya Iklim dimana seluruh staf guru mengharapkan dengan sangat (“high expectation”) akan tuntasnya pencapaian basic skill oleh para murid.
  5. Motivasi mengajar yang tinggi yang dibarengi dengan adanya harapan yang tinggi dari seluruh staf pengajar akan terbentuknya basic skill di kalangan seluruh murid.
  6. Tenaga kependidikan yang “high time on task”: selalu berorientasi kepada penyelesaian tugas, terampil dalam mengelola waktu secara efektif
  7. Supervisi yang efektif kepada seluruh pengajar: upaya memberikan bimbingan, feedback (umpan balik) serta dukungan kepada staf pengajar
  8. Pemantauan yang berkelanjutan terhadap kemajuan prestasi murid, menggunakan hasil belajar murid untuk program pengembangan individual maupun perbaikan program instruksional, serta melakukan proses penilaian yang sistematis.
  9. Hubungan sekolah dan rumah yang positif dimana orangtua memberikan dukungan yang bermakna dan memainkan peranan penting dalam upaya pencapaian misi utama sekolah.
Dengan menegakkan sejumlah criteria di atas, upaya mencapai efektifnya suatu sekolah telah menemukan jalan yang benar (the right track). Tinggal lagi dukungan manajemen yang solid, efektif dan memiliki komitmen yang tinggi. Manajemen yang mampu merencanakan tujuan, program dan langkah-langkahnya secara strategis.

Untuk mengetahui, apakah sebuah sekolah sudah dapat dikatakan efektif, sejumlah studi telah mengembangkan beberapa indicator yang menunjukkan tingkat efektifitas suatu sekolah sebagaimana tersebut di bawah ini:

  1. Kurikulum yang terencana . Kurikulum sudah jelas konstruk, sistematika dan tahapannya, sesuai dengan tingkatan perkembangan anak. Dengan kurikulum yang jelas dan sistematis, guru dapat dengan mudah membuat suatu perencanaan pengajaran yang berorientasi pada suatu pencapaian kompetensi tertentu. Kurikulum terencana juga memudahkan proses evaluasi untuk mengukur sejauhmana keberhasilan proses pengajaran.
  2. Dewan penimbang kurikulum: Adanya penilaian dan pengesahan dari suatu dewan yang beranggotakan para pakar pendidikan, khusunya pakar kurikulum dan psikologi pendidikan. Penilian dan pengesahan kurikulum ini untuk menjaga konsistensi program dan pencapaian prestasi murid. Dengan adanya dewan, tercipta suatu mekanisme kontrol dan pengawasan bersama demi menjaga dan memastikan mutu proses pengajaran. Dewan Penimbang Kurikulum sebaiknya beranggotakan orang-orang yang kompeten dan berasal dari dalam dan luar sekolah, termasuk di dalamnya unsur kepala sekolah/guru, orangtua murid, tokoh masyarakat, ataupun dari kalangan pemerintah.
  3. Persyaratan kelulusan yang ketat. Dengan persyaratan kelulusan yang ketat, akan mendorong murid untuk berupaya mencapainya sehingga berada di atas target minimal. Persyaratan kelulusan yang ketat sekaligus merupakan upaya sekolah untuk mendorong terbentuknya suatu budaya belajar yang kondusif serta system mengajar dan evaluasi yang efektif. Tentu saja persyaratan kelulusan yang ketat bukan hanya melulu dalam domain kognitif, seharusnya aspek sikap dan perilaku juga menjadi target evaluasi.
  4. Kesempatan untuk melampaui target kurikulum. Sekolah yang baik mestinya memberikan fasilitas belajar yang menantang bagi para murid yang hendak melebihi kemampuan dasar. Sekolah hendaknya memfasilitasi kegiatan ekstra kurikulum, baik dalam dimensi vertical maupun horizontal. Dimensi vertical artinya memberi kesempatan kepada murid untuk mempelajari dan menyerap pokok bahasan ataupun kompetensi yang telah ditetapkan oleh sekolah, sedangkan dimensi horizontal memberi banyak pilihan bagi murid untuk mengembangkan minat, bakat dan kecenderungannya dalam bidang: seni, humanities, olahraga, jurnalistik, bahasa asing, pariwisata, craft, dan sebagainya.
  5. Tingkat kehadiran yang tinggi dan angka drop-out yang rendah: Kehadiran yang tinggi mencerminkan tingkat kegairahan dan kedisplinan belajar yang tinggi. Adanya kerinduan bagi murid untuk datang ke sekolah menandakan bahwa sekolah tersebut mampu memberikan kenyamanan dan daya tarik bagi murid. Daya tarik ini dapat muncul dari sisi para guru yang bersahabat dan mampu mengajar dengan baik, fasilitas belajar yang nyaman dan kondusif, atau karena suasana pergaulan antar murid yang solid. Tingkat kehadiran yang tinggi juga memberi gambaran tegaknya aturan dan sangsi yang diterapkan.
  6. Biaya pengeluaran per murid yang tinggi: menandakan besarnya belanja untuk kepentingan belajar murid. Terlepas dari mana sumber dana diperoleh, besarnya alokasi dana yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan kegiatan belajar murid sudah barang tentu akan meningkatkan modus dan kualitas aktivitas. Murid akan mendapatkan fasilitas dan program belajar yang kaya. Guru akan mendapatkan banyak kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya, dan murid akan menikmati suasana belajar yang fasilitatif, stimulatif dan atraktif.
  7. Rasio murid:guru yang rendah: kelas dengan jumlah yang kecil umumnya meningkatkan efektifitas disiplin dan mendorong lebih kuat interaksi guru-murid. Kontrol guru terhadap murid menjadi lebih efektif karena rentang kendalinya tidak terlalu lebar. Rasio guru berbanding murid yang ideal berkisar antara 1:20, satu guru untuk 20 orang murid. Di sisi lain, jumlah kecil murid dalam kelas akan meningkatkan soliditas dan kualitas pola hubungan di antara mereka, yang akan membantu dalam menciptakan suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab.
  8. Perpustakaan dan program media yang fasilitatif: Buku dan sumber (media) belajar yang tersedia memperluas wawasan serta memudahkan murid dalam memahami, menyukai dan melakukan suatu persoalan. Perpusatakaan merupakan “otak” nya sekolah yang menyimpan jutaan informasi dan pengetahuan. Tentu saja ketersediaan perpustakaan pada sekolah juga dibarengi dengan bagaimana sekolah tersebut mampu memfasilitasi murid dan kegiatan belajarnya dengan program-program yang efektif. Murid menjadi interaktif dengan buku, jurnal, CD-ROM, situs-situs ilmu pengetahuan di internet, klipping, kaset-kaset vide dan audio, dan sebagainya untuk menunjang aktivitas akademik mereka.
  9. Fasilitas dan lingkungan sekolah yang baik: Kebersihan, ketertiban, kerapihan, kenyamanan dan keamanan lingkungan akan meningkatkan gairah aktivitas belajar dan mengajar. Baik guru, murid maupun seluruh karyawan sekolah akan merasa senang, nyaman dan tenteram ketika berada di lingkungan sekolah yang ditumbuhi oleh pepohonan yang ditata asri dalam taman-taman yang indah, security system dan staff yang selalu siap menjaga dan melindungi sekolah, ketersediaan fasilitas umum yang memadai: telpon umum, WC, toilet, tempat sampah, kantin/koperasi, klinik, atau sekedar tempat untuk berteduh bagi orangtua murid maupun tamau-tamu lainnya.
  10. Kompetensi guru yang tinggi: yaitu para guru yang menguasai bidang studi yang diajarkan, sekaligus kemampuan profesionalnya dalam mengajar. Pencapaian target kurikulum yang menjadi salah satu patokan keberhasilan sekolah sangat ditentukan oleh seberapa baik tingkat kemampuan guru mentransfer pokok-pokok bahasan kepada murid. Indikator kemampuan guru dapat terlihat dari survey yang mampu memetakan tingkat kompetensi mereka, antara lain melalui assessment test for teacher.
  11. Kepala sekolah yang peduli: memiliki kepekaan terhadap segala persoalan yang bermuara pada murid (student driven). Fungsi kepala sekolah sebagai manajer, supervisor, pendidik dan administratur berjalan dengan baik, yang akan nampak dari bangunan system, perencanaan dan pelaksanaan program yang rapih dan menyeluruh. Kepekaan dan kepedulian kepala sekolah terwujud dalam bentuk pengawasan dan pengendalian program yang ketat, dan turun aktif memberi contoh dan mengarahkan para guru dan staffnya bila mereka menghadapi kendala atau masalah dalam implementasi kebijakan-kebijakan manajemen sekolahnya.
  12. Rekaman prestasi murid: wali kelas atau guru menyimpan rapih semua hasil/karya murid sebagai bahan untuk meningkatkan prestasi mereka. Belajar adalah sebuah proses yang berkesinambungan, dan memerlukan waktu yang panjang untuk melahirkan suatu kesuksesan. Arsip karya murid akan membantu guru, murid maupun orangtua untuk melihat progress kemajuan belajar murid, kemudian mendapatkan umpan balik untuk keperluan perbaikan masa berikutnya.
  13. Pengelolaan Pembelajaran. Pembelajaran haruslah dikelola secara efektif dari segi waktu maupun efisien dari segi pembiayaan. Lamanya waktu belajar harus diimbangi oleh tingkat pencapaian hasil belajar yang tinggi. Susana pembelajaran hendaknya kondusif dan memberikan pengalaman belajar pada murid.
  14. Pengembangan Potensi Murid Yang Optimal. Murid sebagai individu unik dengan segala macam potensi yang beragam hendaknya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang dan mencapai tingkat yang optimal. Potensi yang diharapkan berkembang ialah ruhiyah, akademik, jasadiyah, life skill dan leadership.
  15. Ketersediaan Pusat Sumber Belajar. Salah satu indikasi bahwa sebuah sekolah mampu mengelola pembelajaran dengan baik dan memberikan pengalaman belajar pada murid ialah adanya sumber belajar yang cukup.
  16. Pengaturan Ruang Pembelajaran Yang Nyaman. Kenyamanan lingkungan berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Sebuah ruang tidak perlu terlalu besar, namun memenuhi standar kenyamanan dalam pembelajaran. Suatu kelas yang digunakan dalam pembelajaran hendaknya memiliki sirkulasi udara yang baik, tidak lembab serta syarat-syarat higienes maupun psikologi yang baik.
Format Sekolah yang Ideal
Format Sekolah Islam yang kita inginkan haruslah memperhatikan konsekwensi logis dari perkembangan era global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan dan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat serta harapan tentang masyarakat dunia masa depan. “Komisi Internasional Untuk Pendidikan Abad Dua Puluh Satu” dalam laporannya ke UNESCO, mengajukan rumusan tentang empat pilar pendidikan yaitu:
  1. Learning to live together: belajar untuk memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya.
  2. Learning to know: penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya learning to how
  3. Learning to do: belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerjasama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi.
  4. Learning to be: belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama.
Keempat pilar pendidikan masa depan itu kemudian diterjemahkan ke dalam format sekolah yang diharapkan mampu membantu siswa-siswi mereka untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi kehidupan di masa depan, yaitu: kompetensi keagamaan, kompetensi akademik, kompetensi ekonomi, dan kompetensi social pribadi.

Format pendidikan yang berkualitas semestinya juga harus memperhatikan azas-azas psikologi, psikometri dan pedagogi. Semua aktivitas belajar selayaknya berlandaskan kepada pencapaian tugas-tugas perkembangan dan prinsip-prinsip belajar yang meliputi hal-hal yang terkait dengan kerja kognitif, individual differences, motivasi, bakat dan kecenderungan, serta tata hubungan antar individu. Semua itu kemudian akan mempengaruhi pola dan model instruksional, class management, class assessment, media belajar dan sebagainya.
Format sekolah yang menjanjikan perbaikan masa depan adalah sekolah yang memiliki paradigma pendidikan yang maju dan visioner. Pendidikan haruslah mampu menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah peserta didik yang memiliki sederet keunggulan kompetitif guna menghadapi segala tantangan ke depan. Pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki karakter dan kemampuan sebagai berikut:
  1. Memiliki pemahaman yang benar terhadap ajaran agamanya dan landasan keimanan dan ketaqwaan yang kokoh sebagai wujud dari kefahaman tersebut
  2. Kemampuan riset dan teknologi yang tinggi
  3. Penguasaan bahasa international yang cakap
  4. Motivasi berprestasi dan Keterampilan belajar yang tinggi
  5. Kepemimpinan yang kuat
  6. Kesehatan yang prima
  7. Keterampilan hidup (life skill)
  8. Memiliki etos kerja dan disiplin yang tinggi
  9. Kepedulian terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”
  10. Rasa percaya diri yang kuat, dan kebanggaan terhadap sejarah kepemimpinan Islam.
Format sekolah Islam seharusnya adalah sekolah yang mampu memadukan secara harmonis dan seimbang antara apa yang disebut sebagai “ayatul qauliyah” berupa ajaran Al Qur’an dan Hadis Nabi yang suci sebagai petunjuk dan pedoman hidup (minhajul hayah) dan “ayatul kauniyah” berupa segala fenomena alam yang perupakan sunnatul kaun yang menjadi sarana dan fasilitas kehidupan (wasailul hayah). Dengan perpaduan yang harmonis dan seimbang maka sekolah Islam telah membebaskan dirinya dari keterjebakan arus “sekulerisasi kurkulum”, ataupun kejumudan dalam arus “sakralisasi kurikulum”.
Sekolah Islam yang ideal adalah sekolah yang melibatkan peran serta guru, orangtua dan masyarakat sesuai dengan proporsinya. Artinya, sekolah yang merupakan lembaga melairkan generasi yang berkualitas menjadi tanggung jawab bersama antara negara, sekolah, orangtua dan masyarakat. Pengelolaan sekolah yang efektif mestinya melibatkan peran serta keempat pihak tersebut, sesuai dengan peran dan fungsinya. Negara, dalam hal ini pemerintah, memberi dukungan, kemudahan dan perlindungan bagi terselenggaranya sekolah, Orangtua dapat memberi masukan, membantu memperkaya proses belajar, menjadi nara-sumber dan fasilitator dalam berbagai kegiatan sekolah. Masyarakat dapat membantu menyediakan sumber dan fasilitas belajar tambahan yang ada di luar sekolah.

Lingkungan yang baik (biah solihah) juga merupakan salah satu criteria penting bagi sekolah Islam. Lingkungan yang bersih, rapih, sehat dan nyaman merupakan syarat mutlak bagi sekolah Islam. Sekolah Islam seharusnya juga mampu menciptakan suasana pergaulan dan interaksi yang Islami: santun, saling menyayangi dan menghormati, saling melindungi dan saling berbagi. Cerminan sekolah Islam yang baik juga ditunjukkan oleh warganya yang tertib, disiplin dan rapih.

Sekolah Islam Terpadu
Sekolah Islam Terpadu menawarkan satu model sekolah alternatif. Sekolah yang mencoba menerapkan pendekatan penyelenggaraan yang memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan pendekatan ini, semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah tidak lepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai Islam. SIT juga berupaya mengoptimalkan peran serta orangtua dan masyarakat dalam proses pengelolaan sekolah dan pembelajaran. Orangtua dilibatkan secara aktif untuk memperkaya dan memberi perhatian yang memadai dalam proses pendidikan putra-puteri mereka. Sementara itu, kegiatan kunjungan ataupun interaksi ke luar sekolah merupakan upaya untuk mendekatkan peserta didik terhadap dunia nyata yang ada di tengah masyarakat. SIT juga menekankan keterpaduan dalam metode pembelajaran sehingga dapat mengoptimalkan ranah kognitif, afektif dan konatif. Implikasi dari keterpaduan ini menuntut pengembangan pendekatan proses pembelajaran yang kaya, variatif dan menggunakan media serta sumber belajar yang luas dan luwes.

Sekolah Islam Terpadu diselenggarakan berdasarkan konsep “one for all”. Artinya, dalam satu atap sekolah, siswa akan mendapatkan pendidikan umum, pendidikan agama, dan pendidikan keterampilan. Pendidikan umum mengacu kepada kurikulum nasional yang dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, pendidikan agama menekankan pendidikan aqidah, akhlaq dan ibadah yang dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari, menumbuhkan biah solihah di dalam lingkungan sekolah dan qudwah hasanah oleh seluruh guru dan karyawan sekolah. Sedangkan pendidikan keterampilan dikemas dalam kegiatan ekstra-kurikuler yang menyediakan beragam pilihan kegiatan yang seluruhnya mengacu kepada prinsip-prinsip keterampilan hidup (life skill).

Read More/baca selengkapnya..

Badan Hukum Pendidikan

1. Harus dipastikan, bahwa UU BHP merupakan amanat UU No 20 2003 (pasal 53 ayat 1) tentang Sisdiknas, yang berfungsi untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. Oleh karena itu, keberadaan BHP secara jelas harus mencantumkan tujuan pokoknya yaitu dalam rangka meningkatkan mutu dan layanan pendidikan kepada peserta didik. Lebih tegas lagi, keberadaan BHP harus memperhatikan 4 aspek yaitu: Pertama, aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan Pemerintah dalam bidang pendidikan, serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan. Kedua, aspek filosofis, yakni cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Ketiga, aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara. Keempat, aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian dalam pembentukan undang-undang BHP agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dunia pendidikan.

Catatan: Pasal 3 ayat 1, 2 dan 3 cukup memadai memuat hal ini.


2. UU BHP tidak boleh membuka peluang terjadinya “privatisasi liar”, sehingga lembaga pendidikan mudah di intervensi dan ‘dikuasai” oleh pihak-pihak yang tidak memiliki filosofi dan pijakan budaya nasional. Padahal pendidikan adalah upaya membangun idiologi, moral dan budaya bangsa. Independensi dan otonomi yang merupakan implikasi dari BHP dapat memberikan kebebasan dan keleluasaan pihak lembaga pendidikan untuk ‘melepaskan’ diri dari warisan budaya bangsa yang relijius dan beradab.

Catatan: Perlu ada tambahan yang menjamin bahwa pengurus dan anggota Majlis Wali Amanat suatu BHP haruslah mereka yang memiliki kompetensi, minat dan tanggung jawab di dunia pendidikan

3. Keberadaan UU BHP harus mampu menjamin pasti adanya tanggung jawab moral dan social dari seluruh stake holders BHP, utamanya para pengurus. Keberadaan BHP harus mampu menjamin pasti bahwa pendidikan memiliki tujuan luhur, bersih dari motif komersil dan motif mencari keuntungan pribadi. Konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) ini berpeluang terjadinya komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan bisa merubah nuansa akademik yang ada pada institusi bersangkutan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pendidikan yang secara sistemik dan kontinyu selain bertujuan untuk mencetak pribadi-pribadi yang mempunyai ”competence” dan ”skill” yang tangguh terhadap suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertaqwa, berkepribadian handal, dan memeiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia bisnis yang identik dengan dunia kepentingan. Hal lain lagi yang ditakutkan adalah jika ”bisnis” ini berkembang dengan pesat, bisa jadi perguruan tinggi atau institusi pendidikan akan menjadi ”pesaing baru” , dan bukan tidak mungkin terjadi “perang” kepentingan.

Catatan: RUU BHP cukup tegas dan jelas mengatur hal ini di prinsip nirlaba dan pada pasal-pasal di Bab PENGAWASAN DAN AKUNTABILITAS serta SANKSI ADMINISTRATIF

4. Keberadaan UU BHP (khususnya bagi BHP yang dibuat oleh pemerintah) harus mampu memberikan kemudahan akses bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemandirian lembaga pendidikan dalam mengelola keuangan, dapat menimbulkan implikasi mahalnya biaya operasional sekolah/perguruan tinggi yang sudah barang tentu (berdasarkan pengalaman BHMN) akan dibebankan kepada mahasiswa. Pengalaman telah menunjukkan, dengan model BHMN, banyak perguruan tinggi kemudian menetapkan biaya yang cukup tinggi bagi penyelenggaraan pendidikannya

Catatan: Perlu ada pasal atau ayat khusus (bias dimasukkan ke dalam Pasal 3) yang menegaskan: “BHP yang didirikan pemerintah wajib memberikan bantuan dan kemudahan akses kepada calon peserta didik yang mengalami kesulitan, sesuai dengan kemampuan”.

5. Keberadaan UU BHP tidak boleh menimbulkan diskriminasi perlakuan administrasi, advokasi, pembinaan dan bantuan dari pemerintah kepada BHP yang didirikan masyarakat. Pemerintah tetap memiliki tugas dan tanggung jawab memberikan kemudahan (fasilitas) dan pembinaan kepada lembaga pendidikan yang didirikan masyarakat yang jelas-jelas dirasakan manfaat dan maslahat bagi masyarakat.

Catatan: Perlu ada pasal/ayat yang menegaskan “Pemerintah berkewajiban memberikan kemudahan dan bimbingan kepada masyarakat yang hendak mendirikan suatu BHP. Penegasan ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan dipersulitnya proses pendirian BHP.

Read More/baca selengkapnya..

Ujian Nasional SD/MI

Salah satu tujuan dari diproklamasikannya negeri ini ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, jelas tersurat dari Undang-undang Dasar 1945. Penjabaran nyata dari tujuan ini ialah dibuatnya rancangan pembangunan pendidikan. Melalui pembangunan pendidikan diharapkan seluruh komponen bangsa dimanapun berada merasakan dan menikmati kemerdekaan dengan disertai terbukanya kesempatan untuk dapat mengakses pendidikan yang kemudian berujung pada peningkatan kesejahteraan hidupnya.

Namun setelah lebih dari 62 tahun Republik ini merdeka tujuan kemerdekaan belum dapat terlihat dan dirasakan oleh semua rakyat. Pendidikan Nasional masih bergayut bermacam persoalan utama dan mendasar yang menyebabkan tertinggalnya bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa lain yang pesat berkembang. Permasalahan pendidikan yang nampak kasat mata adalah:

  1. Persoalan wajib belajar yang belum tuntas
  2. Penyediaan sarana dan prasarana yang belum memadai
  3. Ketersediaan, kompetensi dan kesejahteraan guru yang belum cukup
  4. Standarisasi proses yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia
  5. Penyediaan anggaran pendidikan yang belum sesuai dengan amanah konstitusi

Sebagai bahan evaluasi, hendaknya pemerintah menyusun program-program yang relavan dan nyata untuk meningkatkan akses pendidikan dalam rangka pencapaian wajib belajar sembilan tahun. Dengan disertai peningkatan mutu proses dan penyelanggaraan pendidikan. Kemudian itu semua diikuti oleh tatakelola yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Alih-alih merancang program yang nyata dapat meningkatkan mutu dan akses pendidikan, pemerintah malahan membuat blunder dengan rencana pemberlakukan Ujian Nasional untuk Sekolah Dasar yang diawali oleh penyelenggaraan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Ada 5 (lima) hal yang menjadi alasan pemerintah untuk pelaksanaan USBN, yaitu hasil USBN dapat dimanfaatkan: 1) Untuk pemetaan mutu lulusan satuan pendidikan tingkat kabupaten/kota, 2) pertimbangan dan perbaikan pencapaian kompetensi, 3) pertimbangan pemberian bantuan edukasi dan finansial bagi sekolah yang masih rendah capaian kompetensinya, 4) alat penyeleksi ditingkat sekolah yang lebih tinggi, dan ini yang menjadi begitu penting diperhatikan: 5) menjadi salah satu pertimbangan kelulusan dari satuan pendidikan (SD).

Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UAN dapat menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan? Apakah UAN dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Apakah UAN dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik? Apakah UAN dapat menjawab sikap demokratis anak? Dapatkah UAN memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut?

Dalam Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 terdapat ketidaksinambungan antara tujuan, fungsi, dan bentuk ujian. Pertama, bahwa pelaksanaan UAN bertujuan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes. Dari pernyataan tersebut muncul beberapa pertanyaan antara lain:

(1) Dapatkah tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik? (2) Dapatkah tes tersebut memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian? (3) Dapatkah tes tertulis melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak? (4) Dapatkah tes di ujung tahun ajaran menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya? (5) Bagaimana kalau terjadi anak sakit pada saat mengikuti tes? (6) Apakah hasil tes dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran?

Bila diteropong lebih jauh, maka sesungguhnya pelaksanaan UN atau USBN atau apaun namanya akan berhadapan dengan persoalan sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan USBN adalah bentuk ketergesaan pemerintah yang terburu nafsu hendak memotret mutu pendidikan nasional, padahal kelengkapan dan ketersediaan sarana dan prasarana, standar proses dan ketersediaan tenaga guru yang layak masih jauh dari memadai.
  2. Penyelenggaraan USBN di tingkat SD akan mendorong seluruh pihak untuk “menggiring” proses belajar anak hanya mencapai nilai tes USBN (teaching for testing) dan lebih memfokuskan diri pada mata pelajaran yang diujikan di USBN. Hal ini nampak nyata pada pengalaman UAN di tingkat SMP dan SMA. Efek lanjutan dari wabah teaching for testing ialah akan munculnya kebiasaan anak yang hanya mampu menjawab soal namun tidak mampu menjawab problematika hidup yang sesungguhnya. Kebiasaan menjawab soal-soal pilihan ganda akan membuat siswa terkungkung dan mispersepsi tentang masalah: masalah adalah soal. Dan kemudian akan berdampak pada ketidak mampuan untuk menyelesaikan permasalahan, tidak terbiasa dengan problem solving
  3. Penyelenggaraan USBN mengabaikan kondisi psikologis anak usia sekolah dasar yang masih perlu terus berkembang sesuai bakat dan potensinya masing-masing. Stempel tidak lulus bagi siswa sekolah dasar boleh jadi akan membuat luka psikologi bagi siswa ybs: minder, tidak percaya diri, patah semangat dan berujung pada kegagalan pembentukan manusia cerdas dan merdeka.
  4. Penyelenggaraan USBN mengabaikan mekanisme penilaian hasil belajar yang semestinya mengingat aspek yang dinilai tidak General dan mencakup semua kompetensi yang diajarkan. Namun ketidak generalan penilaian ini malah menjadi penentu kelulusan dari sebuah proses pendidikan.
  5. Penyelenggaraan USBN menunjukan adanya ketidak konsistenan pemerintah: satu sisi dalam kurikulum berbasis kompetensi setiap siswa dikembangkan kompetensinya dari berbagai dimensi: kognitif, afektif dan psikomotorik namun di sisi lain kelulusannya ditentukan pada satu aspek saja: aspek kognitif bahkan lebih sempit lagi aspek hafalan.

Adapun tujuan-tujuan yang diharapkan oleh pemerintah dapat dilakukan hanya dengan cara yang mudah dan berbiaya tidaklah besar:
  1. Untuk pemetaan mutu lulusan, perbaikan pencapaian kompetensi dapat dilakukan dengan metode survey. Banyak lembaga survey yang mapan dan dapat melihat kondisi yang semestinya.
  2. Untuk pemberian bantuan pada sekolah yang tidak mendapatkan hasil yang baik pemerintah dapat melalui peningkatan mutu sistem akreditasi sekolah. Sekolah-sekolah yang belum terakreditasi tentu membutuhkan bantuan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi: bantuan mutu guru, sarana atau yang lainnya.
  3. Untuk alat seleksi pada jenjang pendidikan yang lebih tingggi diserahkan saja pada sekolah masing-masing karena pada dasarnya sekolah yang bersangkutan mampu melaksanakannya. Hal ini dapat dilihat pada seleksi sekolah-sekolah swasta yang sudah mapan dan dapat diperyanggungjawabkan.
  4. Untuk pertimbangan kelulusan diserahkan saja pada sekolah yang bersangkutan yang telah memiliki catatan panjang tentang performa siswa yang akan diluluskan.
  5. Pembiayaan USBN yang cukup besar (500 Milyar rupiah) sebaiknya dialokasikan untuk perbaikan gedung-gedung sekolah yang roboh, peningkatan kompetensi guru dan penyediaan sumber dan media belajar yang lebih baik.

Pemerintah perlu untuk lebih arif memandang persoalan ini, menimbang manfaat dan mudharat. Apabila USBN SD/Madrasah Ibtidaiyah ini tidak dilaksanakan, toh tidak akan menimbulkan kerugian yang dahsyat, dan sebaliknya apabila tetap dipaksakan boleh jadi akan menimbulkan implikasi dan dampak yang merugikan. Marilah kita jauhi hal-hal yang meragukan, dan kita laksanakan hal-hal yang jelas mendatangkan manfaat.

Read More/baca selengkapnya..

Rabu, Januari 30, 2008

Strategi Pendidikan Islam dalam Menghadapi Globalisasi

Oleh: Fahmy Alaydroes[2]

PENDAHULUAN

Kehidupan globalisasi telah dengan nyata melanda kehidupan kita. Suka ataupun tidak suka, ummat Islam harus menghadapinya dengan segala implikasinya. Ciri-ciri kehidupan global[3] antara lain: Pertama, terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest). Kedua, hubungan antar negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling ketergantungan (interdependency), hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar-menawar (bargaining position). Ketiga, batas-batas geografis hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keempat, persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efisien.

Pergaulan global dengan cirinya seperti diuraikan diatas, disamping mendatangkan sejumlah kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan sejumlah efek negatif yang dapat merugikan dan mengancam kehidupan. Dampak negatif tersebut antara lain: Pertama, pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan tidak rasional. Kedua, kejatuhan manusia dari mahluk spiritual menjadi mahluk material, yang menyebabkan nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupan manusia. Ketiga, peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi urusan sains (sekularistik). Keempat, Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilakudan tindakan. Kelima, gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Keenam, Individualistik. Keluarga pada umumnya kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil keputusan. Seseorang bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, tidak lagi bertanggung-jawab pada keluarga. Ikatan moral pada keluarga semakin lemah, dan keluarga dianggap sebagai lembaga teramat tradisional. Ketujuh, terjadinya frustasi eksistensial, dengan ciri-cirinya : a). hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang untuk berkuasa, bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure), yang biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan mengejar kenikmatan seksual (the will to sex); b). kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, hidupnya tidak bermakna, dan lain-lain; c). neuroses nogenik, perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tak mempunyai tujuan, dan sebagainya. Keadaan semacam ini semakin banyak melanda manusia, hari demi hari. Kedelapan, terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan miskin, konsumeris, kekurangan dan sebagainya[4].

Pendidikan Islam[5] memainkan peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan generasi menghadapi era yang penuh dengan tantangan. Pendidikan Islam harus mampu menyelenggarakan proses pembekalan pengetahuan, penanaman nilai, pembentukan sikap dan karakter, pengembangan bakat, kemampuan dan keterampilan, menumbuh-kembangkan potensi aqal, jasmani dan ruhani yang optimal, seimbang dan sesuai dengan tuntutan zaman[6].

Kenyataannya, pendidikan islam (khususnya di Indonesia) telah berjalan dalam lorong krisis yang panjang. Pendidikan Islam telah kehilangan pijakan filosofisnya yang hakiki, yang kemudian berdampak kepada tidak jelasnya arah dan tujuan yang hendak dicapai. Pendidikan Islam juga tertatih-tatih dan gagap dalam menghadapi laju perkembangan zaman dan arus globalisasi. Akibatnya, output pendidikan Islam, yang semestinya melahirkan generasi “imamul muttaqien” malah melahirkan generasi yang gagap: gagap teknologi, gagap pergaulan global, gagap zaman dan bahkan gagap moral!. Perlu strategi yang tepat dalam membangun pendidikan islam yang sebenarnya.

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan merupakan sebuah proses pemberdayaan manusia untuk membangun suatu peradaban yang bermuara pada wujudnya suatu tatanan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin. Allah SWT sebagai Pencipta memberdayakan adam as (manusia pertama) dengan proses pendidikan Islam sendiri memulai proses membangun kembali peradaban manusia yang telah porak poranda (kala itu) dengan mengibarkan panji-panji wahyu pertamanya yang sarat akan nilai-nilai pendidikan. Sistem dan metode yang amat menentukan kualitas hidup manusia secara utuh (ruhiyah, jasadiyah dan aqliyah) dalam segala bidang adalah pendidikan. Akibatnya dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, amat sulit ditemukan kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai sarana pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Bahkan pendidikan juga dijadikan sarana penerapan suatu pandangan hidup. Pepatah Arab bahkan menegaskan: adabulmar’I khoirun min dzahabihi (pendidikan lebih berharga bagi manusia ketimbang emasnya)[7].

Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba[i], yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya yakni “khilafah fil ardl”. Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai: makhluq yang: beriman, berfikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan proses pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan fitrahnya.

Memberdayakan potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian dengan nilai-nilai yang mendasari fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani yang bersumber kepada Rob yang menciptakan manusia itu sendiri, sebagai zat yang maha mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan memperhatikan azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat sebagai sunnatulkaun pada pertumbuhan dan perkmbangan manusia, juga memperhatikan situasi dan kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan kehidupannya kelak.

Pendidikan aqal adalah salah satu aspek yang sangat diperhatikan oleh Islam, selain aspek pendidikan jasmani dan ruhani. Islam sangat memperhatikan penggunaan aqal dan pemikiran. Kemuliaan Adam as, manusia pertama di muka bumi, terkait dengan kemampuannya dalam proses pemberdayaan aqal.[8] Wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada RasuluLlah SAW memerintahkan pemberdayaan aqal lewat kegiatan membaca (QS: Al Alaq 1-5), kemudian dilanajutkan dengan surah yang Allah SWT bersumpah atas nama “pena”, symbol pemberdayaan aqal melalui kegiatan menulis (QS Al Qolam:1). Lebih jauh, materi ‘aqal dalam Al Qur’an terulang sebanyak 49 kali, yang sebagiannya (sebanyak 13 kali) dalam bentuk istifham inkari (pertanyaan negative) yang menunjukkan dorongan atau memberi penakanan membangkitkan semangat, disebutkan untuk mencerca bagi mereka yang tidak menggunakan aqal. Sedangkan term ulul albab terulang sebanyak 16 kali, yang mengandung makna mereka yang menggunakan aqal untuk berfikir substanstif (lubbu = inti, substansi)[9]

Membangun suatu institusi pendidikan berarti mengambil peran dan tanggung jawab yang besar terhadap proses pembentukan kepribadian anak, karena di lembaga pendidikan itulah anak akan mendapatkan sebagian besar faktor-faktor penentu bentukan kepribadiannya, terutama dalam domain kognitif, afektif dan konatif, yang sering pula diterjemahkan menjadi pengetahuan, sikap dan perilaku. Kepribadian yang baik akan tumbuh pada anak manakala seluruh faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembentukannya dapat berinteraksi dengan sistem fisiopsikologis peserta didik secara sehat, proporsional dan memunculkan pengalaman belajar yang menyenangkan serta membangkitkan motivasi.

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS AsSyams:8, Adz Dzariyat: 56), yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi (QS 2:30/ 33: 72 ) Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertaqwa, berfikir, dan berkarya, sehat, kuat dan berketerampilan tinggi untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya.

Hakikat Pendidikan Islam seharusnya mengajarkan, mengasuh, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan mereka merealisasikan fungsi dan risalah kemanusiaannya di hadapan Allah SWT: yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT dan menjalankan misi kekhilafahnnya di muka bumi sebagai makhluk yang berupaya memakmurkan kehidupan dalam tatanan hidup bersama dengan aman, damai dan sejahtera. Oleh karena itu pendidikan seharusnya diarahkan kepada upaya ma’rifah terhadap Allah SWT dalam upaya mengokohkan tali hubungan denganNya sebagai Rob, Pencipta, Pemelihara dan Penguasa alam raya (misi ubudiyah), dan kemampuannya meningkatkan kualitas hubungan dengan sesama makhluk di alam fana ini guna bersama merealisasikan dan menigimplementasikan nilai-nilai ilahiyah sehingga tercipta kedamaian dan kesejahteraan bagi sesama dan semua (misi khilafah).

Hakikat Pendidikan Islam seharusnya melahirkan generasi yang mengusai kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat diperlukan bagi peningkatan kemaslahatan dan kesejahteraan ummat manusia, Tujuan Pendidikan Islam juga harus mampu membentuk watak atau karakter yang akan membekali putera-puteri generasi menjalankan misi dan fungsinya sebagai anak manusia, anak bangsa dan hambaNya yang bertaqwa

Seharusnya, Pendidikan Islam melahirkan generasi yang mampu menghadapi era global. Setidaknya, lima kemampuan yang mereka harus miliki, yaitu: 1) Kemampuan belajar Mendidik dan melatih anak didik agar selalu terus menerus terbiasa dan terampil belajar. Dengan kemampuan ini, arus informasi dan perubahan yang selalu dan kerap terjadi di era global ini akan selalu dapat diantisipasi. Patutlah dalam hal ini, Pendidikan Islam memperhatikan pernyataan UNESCO bahwa dalam abad 21, belajar hendaknya berpijak pada 4 pilar, yaitu: a) learning to think, b) learning to know, c) learning to do, d) learning to live together. 2) Kemampuan melakukan penelitian: eksploratif, kritis, inovatif, dan kreatif, 3) Kemampuan membangun jaringan kerjasama (networking), 4) Kemampuan beradaptasi dengan keaneka-ragaman budaya, 5) Berpegang teguh pada nilai dan prinsip.

KRISIS PENDIDIKAN ISLAM

Krisis Paradigmatik

Memudarnya kecemerlangan pendidikan Islam (the decline of Islamic learning) sesungguhnya sudah terjadi sejak ratusan tahun yang silam. Salah satu sebab utama layunya intelektualisme Islam adalah saat dunia pendidikan Islam terjadi dikotomi keilmuan; terbelahnya ilmu agama (‘ilmu diniyah) dengan ilmu dunia (‘ilmu dunya), dikotomi antara wahyu dan alam, serta dikotomi antara wahyu dan aqal. Dikotomi yang pertama telah melanggengkan supremasi ilmu-ilmu gama yang berjalan secara monotonik, dikotomi kedua telah menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pendidikan Islam, serta dikotomi yang terakhir telah menjauhkan filsafat dari pendidikan Islam[10].

Dunia pendidikan Islam terjebak pada simtom dikotomik yang sangat parah: ’sekularisasi’ dan ’sakralisasi’ pendidikan. Sekularisasi bermakna bahwa pendidikan telah melepaskan dirinya dari agama. Agama diartikan sebagai sesuatu yang ’hanya’ berhubungan dengan maslalah ibadah ritual, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan mu’amalah terbatas seperti nikah, talak, rujuk, warisan, dan pengurusan jenazah (mayyit). Agama tidak ada hubungannya dengan sains, teknologi, terlebih lagi kepada ilmu sosial, hukum, politik, budaya. Sedangkan pada sekolah-sekolah agama (madrasah ataupun pesantren), pendidikan terlalu asyik dengan kajian-kajian ’kitab kuning’ (ajaran Islam klasik yang membahas fiqh, hadis ataupun tafsir) tanpa peduli dengan perkembangan zaman, kemajuan sains dan teknologi yang sesungguhnya relevan untuk diketahui, difahami bahkan dikuasai. Alhasil, “Islam” hanya diartikan sebatas “agama”, yang maknanya terbatas pada lingkup ritual (tanasuk) ibadah, jenazah, nikah-talak-rujuk, warisan dan hal-hal yang berkait dengan urusan ghaib/kehidupan akhirat. Islam hanyalah sebuah “agama”, bukan “adDin” yang makna hakikinya melingkupi seluruh aturan hidup dan kehidupan (minhajul hayah). Dengan cara pandang seperti itu, wajarlah kalau kemudian pendidikan Islam pun terjebak ke dalam lingkup yang sempit dan “lepas” dalam segala urusan memakmurkan dunia.

Krisis Visi dan Arah

Pendidikan Islam mengalami krisis visi dalam pengertian bahwa kebanyakan lembaga pendidikan islam tidak mampu merumuskan/menetapkan visi dan arah pendidikannya dengan apa yang secara hakiki menjadi tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Islam itu sendiri. Lembaga Pendidikan Islam lebih banyak menjadikan “Islam” sebagai obyek bahasan, bukan menjadikan Islam sebagai “way of life” (Minhajul hayah). Padahal, sudah pasti, lulusan mereka akan menghadapi segala problematika kehidupan yang sarat dengan tantangan-tantangan zaman, yang membutuhkan penyikapan yang jelas, terarah dan efektif. Ketertinggalan ummat Islam dalam sains dan teknologi, kurang peduli terhadap pemeliharaan lingkungan, ketidak-berdayaan dalam menghadapi aneka virus, bakteri dan hama yang mendatangkan penyakit (baik kepada manusia, hewan ataupun tanaman) yang kemudian menyebabkan terpinggirkannya eksistensi ummat di panggung dunia merupakan contoh nyata dan jelas dalam hal ini.

Krisis Pengembangan

Pendidikan Islam (di Indonesia) jalan di tempat. Setelah lewat masa puluhan tahun, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak menunjukkan kemajuan kinerjanya yang berarti. Sebagai contoh, gerakan pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan organisasi Muhammadiyah lebih banyak menekankan pada aspek kuantitatif, belum menajam pada aspek pembangunan mutu (kualitatif)[11]. Dari berbagai tolok ukur (fasilitas, manajemen, sdm, kurikulum), rata-rata pendidikan Islam belum duduk dalam barisan “papan atas”. Pendidikan Islam mengalami kekurangan sumberdaya manusia, sumberdaya pemikiran, sumber daya dana, sumber-sumber belajar. Pendidikan Islam kurang didukung oleh riset dan pengembangan yang berkelanjutan, baik yang dilakukan oleh individu masyarakat ataupun oleh pemerintah. Hasilnya, model pengelolaan institusi dan pendekatan pembelajaran tidak mengalami perkembangan yang berarti.

Boleh jadi, krisis pengembangan ini diakibatkan pula oleh lemahnya komitmen dan alokasi pendanaan bagi kemajuan pendidikan Islam[12]. Sedikit pihak penyandang dana (baik dari APBN, dari masyarakat, ataupun dari) anggaran belanja Negara

Krisis Proses dan pendekatan pembelajaran

Pada sisi lain, pendidikan Islam telah kehilangan substansinya sebagai sebuah lembaga yang mengajarkan bagaimana memberdayakan aqal dan fikiran. Meminjam istilah Syed Husein Al Attas, pendidikan Islam telah kehilangan ”Spirit of inquiry” yaitu hilangya semangat membaca dan meneliti yang dulu menjadi supremasi utama dunia pendidikan Islam pada zaman klasik pertengahan.[13] Dengan hilangnya semangat ’inquiry’, kegiatan mengajar dan belajar di sekolah-sekolah/madrasah Islam/pesantren menjadi monoton, satu arah dan kurang mampu mengembangkan metode yang melatih dan memberdayakan kemampuan belajar murid. Mereka hanya terpaku pada metode ’menghafal” (rote learning), menyimak dengan seksama (talaqqi), dan sangat kurang mengembangkan budaya diskusi, seminar, bedah kasus, problem solving, eksperimen, observasi, dan sebagainya. Murid menjadi kurang terampil dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.

Krisis pengelolaan (manajemen)

Sudah menjadi pengetahuan publik, lembaga pendidikan Islam seringkali di kelola tanpa dukungan manajemen yang handal. Kebanyakan lembaga pendidikan malah berada dalam “kerajaan” para kiyai ataupun yayasan keluarga yang dalam penyelenggaraanna seringkali mengabaikan prinsip-prinsip dasar manajemen. Alih-alih menerapkan standar proses berbasis ISO, ataupun pendekatan TQM yang berorientasi pada mutu, ataupun mencanangkan manajemen strategis yang mengarahkan pada perencanaan jangka panjang (visioner), membuat rencana jangka pendek pun seringkali diabaikan.

Krisis Komunikasi

Lembaga pendidikan Islam masing-masing berjalan sendiri. Mereka hanya berkomunikasi dengan sesamanya, tetapi kurang mengembangkan jalinan kerjasama kepada lembaga-lembaga pendidikan lainnya, apalagi ke lembaga pendidikan di mancanegara. Kalaupun ada, komunikasi berjalan tidak dalam kerangka membangun kerjasama peningkatan mutu. Dengan kondisi yang demikian, lembaga-lembaga pendidikan Islam agak lamban dalam merespons perkembangan kemajuan di dunia pendidikan.

SOLUSI STRATEGIS

Kenyataan yang tak dapat dipungkiri, pendidikan Islam di negeri ini belum mampu menunjukkan jati dirinya. Masyarakat masih melihat dan menilai pendidikan Islam dengan “sebelah mata”. Perlu dilakukan gerakan pembaharuan pendidikan Islam melalui langkah-langkah strategis berikut:

1. Membangun Paradigma Pendidikan Islam yang sebenarnya[14]

Melakukan kajian yang mendalam untuk membangun kembali paradigma pendidikan Islam sesuai dengan semangat ’ruhul Islam’ yang sebenarnya. Pendidikan Islam yang berpijak kepada Al Qur’an dan AsSunnah. Pikiran-pikiran yang perlu ditegaskan antara lain:

a. Paradigma ‘lmullah sebagai obyek bahasan

Pendidikan Islam harus berpijak kepada pandangan bahwa Allah SWT menurunkan ‘ayat dan ‘ilmu Nya melalui dua jalur: jalur formal melalui prosedur Allah – malaikat – Rasul; yang disebut sebagai ‘ayatul qauliyah (Wahyu, AlQur’an), dan ayatul kauniyah (alam semesta). Ayat qauliyah menjadi petunjuk dan pedoman (minhajul ayah), sedangkan ayatul kauniyah menjadi fasilitas, sarana kehidupan (wasailul hayah). Lihat bagan berikut:


















Dengan paradigma sebagaimana tergambar di atas, dalam pendidikan Islam tidak akan mengalami disintegrasi ataupun dikotomik. Semua obyek bahasan (dalam kurikulum) dipandang sebagai ‘ilmu Allah yang harus dipelajari untuk mendapatkan bekalan Petunjuk Hidup (mempelajari ‘ayatul qauliyah) dan mendapatkan bekalan untuk memperoleh fasilitas hidup (mempelajari ilmu kauniyah). Bila paradigma tadi dilihat dalam konteks kurikulum, Ali Maksum & Luluk Yunan Ruhendi (2005) menggambarkannya sebagai berikut[15]:

A = Integrasi Sains Islami

B = Spesialisasi Ilmu

Implikasi praksis dari paradigma ‘IlmuLlah adalah, bahwa ummat Islam akan menyadari dengan sepenuhnya bahwa mereka harus mempelajari dan menekuni seluruh ‘ilmu Allah dalam upaya meraih kejayaan dunia dan akhirat. ‘Ilmu-ilmu umum’ yang selama ini dianggap sebagai ‘pendidikan umum”, niscaya akan berubah menjadi pendidikan (yang diperintahkan oleh) Islam juga.

b. Paradigma holistik-integralistik

Proses pendidikan Islam harus berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, materi pendidikan Islam mengandung kesatuan pendidikan jasmani-ruhani, mengasah kecerdasan inetelektual, emosional dan spiritual, kesatuan pendidikan teoritis dan praktis, kesatuan pendidikan individu-sosial, dan kesatuan materi pendidikan keagamaan (diniyah), filsafat, etika dan estetika (akhlak) . Evaluasi pendidikan islam juga dilakukan dalam kerangka kesatuan pengetahuan, sikap dan perilaku.

2. Membangun Model Lembaga Pendidikan Islam yang ideal

Perlu ada model sekolah/lembaga pendidikan Islam yang dibangun dengan format yang ideal. Boleh jadi ada satu sekolah yang memiliki satu atau dua keunggulan, sementara sekolah lain memiliki keunggulan pada aspek lainnya. Sekolah-sekolah model inilah yang kemudian dapat dijadikan contoh yang dapat ditiru oleh sekolah-sekolah Islam lainnya. Setidaknya kita berharap akan menemukan lembaga pendidikan Islam yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Mengusung nilai dan pesan Islam sebagai ruh dalam setiap kegiatan sekolah. Seluruh dimensi kegiatan sekolah senantiasa bernafaskan semangat nilai dan pesan-pesan Islam. Adab dan etika pergaulan seluruh waga sekolah dan lingkungannya, tata tertib dan aturan, penataan lingkungan, pemfungsian mesjid, aktivitas belajar mengajar, berbagai kegiatan sekolah baik reguler ataupun non reguler semuanya mencerminkan realisasi dari ajaran Islam.

b. Mengintegrasikan nilai kauniyah dan qauliyah dalam bangunan kurikulum. Seluruh bidang ajar dalam bangunan kurikulum dikembangkan melalui perpaduan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan asSunnah dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan umum yang diajarkan. Artinya, ketika guru hendak mengajarkan ilmu pengetahuan umum semestinya ilmu pengetahuan tersebut sudah dikemas dengan perspektif bagaimana AlQur’an/AsSunnah membahasnya. Dengan demikian tidak ada lagi ambivalensi ataupun dikotomi ilmu.

c. Menerapkan dan mengembangkan metode pembelajaran untuk mencapai optimalisasi proses belajar mengajar. Pendekatan pembelajaran mengacu kepada prinsip-prinsip belajar, azas-azas psikologi pendidikan serta perkembangan kemajuan teknologi instruksional. Menggunakan kemampuan dan keterampilan berfikir yang kaya seperti: berfikir kritis, kreatif, analitis, induktif, deduktif, problem solving melalui berbagai macam pendekatan pembelajaran. Penggunaan sumber, media dan peraga dalam kegiatan belajar merupakan bagian dari upaya memunculkan suasana belajar yang stimulatif, motivatif dan fasilitatif. Pembelajaran harus lebih diarahkan pada pada proses learning yang produktif, ketimbang proses teaching. Peserta didik diarahkan dan difasililitasi untuk mampu mendaya-gunakan kemampuannya sebagai pembelajar yang terampil dan produktif.

d. Mengedepankan qudwah hasanah dalam membentuk karakter peserta didik. Seluruh tenaga kependidikan (baik guru maupun karyawan sekolah) mesti menjadi figure contoh bagi peserta didik. Keteladan akan sangat berpangaruh terhadap hasil belajar. Dan kualitas hasil belajar sangat dipengaruhi kualitas keteladanan yang ditunjukkan oleh tenaga kependidikan.

e. Menumbuhkan biah solihah dalam iklim dan lingkungan sekolah: Lingkungan sekolah harus marak dan ramai dengan segala kegiatan dan perilaku yang terpuji seperti: terbiasa dengan menghidupkan ibadah dan sunnah, menebar salam, saling hormat-menghormati dan menyayangi dan melindungi, bersih dan rapih. Di sisi lain lingkungan sekolah juga harus terbebas dari segala perilaku yang tercela seperti umpatan, makina, kata-kata yang kotor dan kasar, iri, hasad dan dengki, konflik berkepanjangan, kotor dan berantakan, egois, ghibah.

f. Melibatkan peranserta orangtua dan masyarakat dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Ada kerjasama yang sistematis dan efektif antara guru dan orangtua dalam mengembangkan dan memperkaya kegiatan pendidikan dalam berbagai aneka program. Guru dan orangtua saling bahu-membahu dalam memajukan kualitas sekolah. Orangtua harus ikut secara aktif memberikan dorongan dan bantuan baik secara individual kepada putera-puterinya maupun kesertaan mereka terlibat di dalam sekolah dalam serangkaian program yang sistematis. Keterlibatan orangtua memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan performance sekolah.

g. Menjamin seluruh proses kegiatan sekolah untuk selalu berorientasi pada mutu. Ada system manajemen mutu terpadu yang mampu menjamin kepastian kualitas penyelenggaraan sekolah. Sistem dibangun berdasarkan standar mutu yang dikenal, diterima dan diakui oleh masyarakat.

3. Memperkaya Kurikulum PAI yang berwawasan: perjuangan, kebangsaan, global, iptek, demokratis, pluralis,.

Pelajaran Agama Islam bukan semata mempelajari materi-materi Islam dalam konteksnya sebagai ’ulum syar’iyah (Fiqh, Ibadah, Akhlaq, Aqidah) , melainkan diposisikan sebagai pelajaran agama yang memberikan kerangka pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat relevan dan dibutuhkan dalam konteks kehidupan masa kini. PAI berwawasan perjuangan berarti menegaskan pentingnya semangat juang yang tinggi untuk membela kebenaran, keadilan, kezhaliman, kemunkaran sebagaimana yang banyak dipesankan oleh AlQur’anul Karim[16]. PAI berwawasan kebangsaan berarti, di dalamnya juga terkandung muatan nilai-nilai cinta dan bela tanah air, selalu peduli akan kejayaan dan kemakmuran bangsa dan negara. PAI berwawasan global berarti menjadikan Islam agama yang mampu memberikan perspektif, arahan dan bekalan dalam kehidupan global yang sangat syarat dengan kemajuan sains dan teknologi yang berimplikasi luas bagi kehidupan antar manusia (mu’amalah). PAI berwawasan iptek berarti memberi kerangka yang tepat bagi pengembangan dan penggunaan iptek untuk kemaslahatan kehidupan (wasailul hayah), yang implikasinya adalah PAI yang seimbang antara aspek fikr dan dzikr; memicu dan memacu peserta didik, untuk berfikir keras dan mendalam tentang alam[17]. PAI berwawasan demokratis menekankan kepada inti dari demokrasi itu sendiri yaitu: penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang sungguh sangat dijamin dalam ajaran Islam. PAI berwawasan pluralis berarti menjelaskan bahwa Islam menerima (toleran) terhadap berbagai keragaman etnis, budaya, bangsa dan agama sebagai suatu realita kehidupan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip aqidah yang sudah jelas, tegas dan final (qoth’i)[18].

4. Membangun Jaringan Lokal dan Global dgn sesama lembaga pendidikan Islam

Percepatan kemajuan lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh kemampuan mereka dalam membangun kerjasama. Diperlukan networking

yang efektif yang dapat memainkan peranan dalam:

* Meningkatkan mutu dan intensitas komunikasi virtual sehingga terjadi sharing (berbagi): masalah, penglaman, infromasi, sumber (resources), kerjasama melalui media milis, website, sms.
* Menggalakkan kerjasama peningkatan mutu penyelenggaraan antar jaringan sekolah pada regional/wilayah terjangkau sehingga terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan mutu sekolah. Contoh: - kelompok kerja profesional (kepala sekolah, guru bidang studi, walikelas, kepala tata usaha)
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran,
* Menggalakkan kompetisi yang sehat (fastabiqul khoyrot) untuk memacu dan memicu motivasi berkarya, mengembangkan inovasi dan prestasi melalui serangkaian lomba: olimpiade mata pelajaran, karya kreasi guru, sekolah asri, dsb.
* Menyelenggarakan kegiatan siswa bersama: jambore, ekshibisi, study tour, pertukaran siswa

5. Menjalin kemitraan dengan industri, institusi dan pusat-pusat iptek, budaya dan ekonomi

Mendekatkan dunia pendidikan Islam dengan dunia nyata dan kongkrit merupakan salah satu upaya yang sangat berarti. Dengan jalinan kerjasama dan kemitraan yang efektif kepada industri, institusi atau lembaga-lembaga iptek, budaya ataupun lembaga ekonomi, bahkan instansi militer akan memperkaya dan memperluas sumber belajar. Jalinan kemitraan ini akan menutupi banyak kelemahan dan kekurangan sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan Islam. Pendidikan sains akan sangat efektif ketika peserta didik mendapatkan pengalaman nyata dan langsung di pusat-pusat penelitian dan pengembangan seperti LIPI, BPPT, Puspiptek Serpong. Wawasan HAM, Demokrasi ataupun Politik dapat dipelajari langsung di lembaga-lembaga Negara, partai politik, LSM dan sebagainya. Demikian pula pada upaya peningkatan mutu pembelajaran social, ekonomi, budaya, hukum bahkan agama dapat diperkaya dengan pendekatan “experience learning” ke sentra-sentra kegiatan nyata di tengah-tengah masyarakat.

6. Membuat pusat pengembangan guru

Guru adalah tulang punggung pendidikan. Oleh karenanya, mutu guru harus mendapatkan kepastian dan jaminan akan kompetensi profesionalnya. Membangun pusat-pusat pelatihan dan pengembangan mutu guru sangat membantu menyediakan tenaga-tenaga kependidikan yang handal. Selain itu, dengan adanya pusat-pusat pengembangan mutu guru akan memfasilitasi terjadinya tukar pengalaman dan salimng share berbagai ide dan gagasan.

7. Benchmarking dengan world class school

Menjadikan sekolah kelas dunia (world class school) sebagai patokan adalah upaya untuk mengangkat lembaga pendidikan Islam agar selalu “gaul” dan mengikuti perkembangan mutu sekolah berskala international. Dengan tetap menajga jati diri agama dan bangsa, pada beberapa karakteristik yang sifatnya universal, lembaga pendidikan Islam patut merujuk kepada criteria/karaktersitik sekolah-sekolah unggul di berbagai belahan dunia. Kriteria sekolah efektif menurut hasil analisis yang dilakukan oleh the Connecticut School Effectiveness Project, sebagai berikut:[19]

1. Lingkungan yang asri, nyaman dan aman yang memunculkan suasana kondusif bagi kegiatan belajar mengajar

2. Misi sekolah yang jelas dengan komitmen kepada tujuan instruksional, prioritas, prosedur assessment dan akuntabilitas.

3. Kepemimpinan instruksional di bawah arahan kepala sekolah yang memahami dan menerapkan berdasarkan karakteristik efektifitas instruksional.

4. Adanya Iklim dimana seluruh staf guru mengharapkan dengan sangat (“high expectation”) akan tuntasnya pencapaian basic skill oleh para murid.

5. Motivasi mengajar yang tinggi yang dibarengi dengan adanya harapan yang tinggi dari seluruh staf pengajar akan terbentuknya basic skill di kalangan seluruh murid.

6. Tenaga kependidikan yang “high time on task”: selalu berorientasi kepada penyelesaian tugas, terampil dalam mengelola waktu secara efektif

7. Supervisi yang efektif kepada seluruh pengajar: upaya memberikan bimbingan, feedback (umpan balik) serta dukungan kepada staf pengajar

8. Pemantauan yang berkelanjutan terhadap kemajuan prestasi murid, menggunakan hasil belajar murid untuk program pengembangan individual maupun perbaikan program instruksional, serta melakukan proses penilaian yang sistematis.

9. Hubungan sekolah dan rumah yang positif dimana orangtua memberikan dukungan yang bermakna dan memainkan peranan penting dalam upaya pencapaian misi utama sekolah.

Sementara itu, dalam suatu penelitian lain, diperoleh gambaran bahwa sekolah-sekolah yang ada di berbagai Negara maju: Taiwan, Jepang, Jerman, Korea, New Zealand, Israel dan lain-lain yang kemudian disebut sebagai sekolah kelas dunia (world class school), memiliki standard hal-hal berikut[20]:

1. Memiliki kurikulum dan standard penilaian (test) nasional. Mereka memiliki kurikulum dan tes standar nasional, selain untuk kepentingan mobilitas siswa juga untuk menjadi ukuran kemajuan nasional.

2. Jumlah hari efektif sekolah 201 hari. Jumlah hari efektif mereka belajar dan bekerja di sekolah selama setahun yang dimanfaatkan secara optimal.

3. Jumlah jam belajar di rumah/mengerjakan PR = 2.4 jam/hari

4. Pemerintah memfasilitasi rencana strategis dan kerangka manajemen

5. Guru mendapatkan respek dan penghargaan yang tinggi. Di Jepang, tinggal dan bertetangga dengan seorang guru merupakan kebanggaan dan menaikkan status symbol mereka, di Taiwan guru tidak membayar pajak penghasilan dan Hari Konfusius di rayakan sebagai ”Hari Guru”.

6. Kuatnya dorongan dan etka belajar keras meraih prestasi kepada seluruh murid; Masyarakat dan orangtua memberikan respek yang tinggi kepada guru dan siswa yang menunjukkan kinerja baik dalam proses mengajar dan belajar. Mereka sangat menghargai prestasi, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang terpuji dan luhur.

PENUTUP

Kebangkitan dan kejayaan suatu kaum tidak akan pernah sukses kalau sendi dan pilar pendidikannya rapuh. Menjayakan sekolah merupakan suatu keniscayaan (compulsary) yang tidak terbantahkan baik ditinjau dari aspek logis, idealis, filosofis ataupun historis. Sekolah Islam seharusnya memainkan peranan yang penting dalam memajukan mutu pendidikan, baik untuk dirinya maupun dalam konteks pendidikan nasional. Kebangkitan sekolah Islam bersendikan kepada pengembangan model sekolah yang mengacu kepada azas-azas pendidikan sebagaimana diisyaratkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan diinspirasi oleh temuan-temuan riset pendidikan dan pengalaman sekolah-sekolah modern kelas dunia.

Setidaknya, di kalangan masyarakat, upaya peningkatan mutu sekolah Islam mulai bergerak[21]. Beberapa pihak mulai menyadari pentingnya membangun sekolah/lembaga Islam yang berwawasan visioner dan global. Demikian pula komunikasi jaringan antar sekolah-sekolah Islam mulai marak di 5 tahun terakhir. Upaya-upaya yang ada, meskipun belum membuahkan hasil yang optimal, paling tidak ada kesadaran kolektif akan pentingnya membangun pendidikan Islam yang bermutu, guna menyiapkan generasi yang beriman, bertaqwa, cerdas dan terampil. Perlu mendapat dukungan semua fihak, WaLlahu a’lam.

----------------------

[2] Ketua Departemen Pendidikan PKS, Ketua Jaringan Lembaga Pendidikan Islam Indonesia, Ketua Yayasan Pesantren Nurul Fikri.

[3] Lihat Ali Maksum dan Yunan Ruhendi dalam “Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern” Yogya: Ircisod. Halaman 281

[4] Ibid, halaman 282-283

[5] Yang dimaksud Pendidikan Islam dalam tulisan ini dibatasi dalam pengertian tempat atau lembaga yang melaksanakan proses pendidikan Islam dengan mendasarkan pada programnya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Assegaf yang menyebutkan bahwa istilah “pendidikan islam” setidaknya mengandung 3 dimensi: dimensi kegiatan, dimensi kelembagaan dan dimensi pemikiran. Lebih jauh lihat , Abdurrahchman Assegaf , ” Politik Pendidikan Nasional”, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005. hal 105.

[6] Imam Sayyidina Ali RA mengisyaratkan betapa pentingnya menyelenggarakan pendidikan yang diarahkan bagi upaya mempersiapkan anak didik menghadapi tantangan dalam zaman mereka: “didiklah anak-anakmu dengan didikan yang berbeda dengan didikan kalian, karena mereka akan hidup di generasi yang berbeda dengan generasi kalian”

[7] Abraha, Kamsul. “Urgensi Jaringan Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Dalam rangka Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Lembaga Pendidikan Islam”, makalah: hal. 1

[8] Al Qur’an surah Al Baqoroh: 31-34

[9] DR Yusuf Qardhawi, “Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan”, hal. 30.

[10] Lihat lebih jelas di buku: “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik”, Abdurrahman Mas’ud. 2003. Yogyakarta: Gama Media, halaman 8-9.

[11]Lihat dalam Internet: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/organisasi_sosial_keagamaan_dan_keberadaan.htm

[12] Krisis pendanaan pendidikan diperparah pula oleh sikap sebagian besar masyarakat yang kurang begitu tanggap terhadap dukungan pendanaan pengembangan pendidikan. Mereka lebih tertarik memberikan sumbangan (donasi) untuk kemiskinan, bencana alam ataupun pembangunan mesjid. Jarang dari mereka menyumbang untuk kegiatan pengembangan pendidikan.

[13] Uraian lebih jauh dan filosofis dapat dilihat dalam buku: Menggagas Format Pendidikan Non-Dikotomik”, tulisan Abdurrahman Mas’ud yang diterbitkan oleh Gama Media, Yogyakarta.

[14] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi membahas masalah ini lebih luas dan detail, lihat dalam buku mereka “Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern” , Yogyakarta: Ircisod, 2004. hal 181-190

[15] Opcit, halaman 287

[16] Jihad fi sabilillah, Amar Ma’ruf Nahiy Munkar (memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemunkaran) merupakan doktrin-doktrin Al Qur’an dan menjadi prasyarat bagi terbentuknya “khairu ummah’, lihat QS: Ali Imran: 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” .

[17] QS: Ali Imran 190-191

[18] Dalam hal pluralisme agama., perlu dibedakan antara sikap menerima dalam kerangka hubungan antar manusia (mu’amalah) dengan sikap aqidah. Dalam bermu’amalah Islam mewajibkan ummatnya untuk menghargai, menghormati, bahkan membela hak-hak siapapun yang tertindas. Namun dalam pandangan aqidah, Islam secara tegas dan jelas memandang bahwa hanya agama Islamlah yang Benar (QS: …)

[19] Hasil analisis The Connecticut School Effectiveness Project (lihat di Lunenberg and Ornstein, 1991. “Educational Administration, Concept and Practices”. Belmont, California: Wadsworth Publishing Co.)

[20] Richard M. Haynes and Donald M. Chalker (….) dalam “World Class School”, internet: www.asbj.com/achievement/aa/aa1.html. Lebih jauh hasil penelitian terhadap sekolah-sekolah unggul kelas dunia juga memiliki keyakinan (beliefs) yang sangat kuat, yaitu: Belief #1: We believe that students are our customers and our service to students will be of the highest caliber when every decision is made on the basis of what is best for students. Belief #2: We believe ALL students will learn and excel when provided with authentically engaging work based on high standards that is given in a risk-free environment. Belief #3: We believe in order to provide a world-class education to all students that teamwork, open communication, honesty and trust must be part of all working relationships. Belief #4: We believe that all employees—teachers, support staff, administrators, and School Board members—have special talents and strengths that have a positive impact on student achievement. Employees are encouraged to pursue continual professional development and model life-long learning.

[21] Beberapa contoh gerakan peningkatan mutu pendidikan Islam antara lain dilakukan antara lain oleh:

Sekolah Islam Al Izhar, Sekolah Islam Al Azhar, Sekolah Islam Terpadu Mutiara Duri-Riau, SIT Fajar Hidayah Cibubur, Sekolah Islam Terpadu Nurul Fikri, Depok, Sekolah Islam Al Hikmah Surabaya, Pesantren AzZaitun, Sekolah Islam Tugasku, Jakarta, Madrasah Aliyah “Insan Cendekia”, Serpong, Sekolah Islam “Lazuardi”, Sekolah Islam Salman Al Farisi Bandung. Lembaga Pembinaan Mahasiswa-mahasiswa berprestasi: PPSDMS “Nurul Fikri” . Jaringan Lembaga Pendidikan Islam: Seperti JSIT Indonesia, Konsorsium Pendidikan Islam, Surabaya; Milis “SD Islam” di Bandung dan sekitarnya.

Read More/baca selengkapnya..