Kamis, Januari 17, 2008

Home Schooling: Apa, Mengapa dan Bagaimana ..?

Fahmy Alaydroes, Psi., MM, MEd[2]


Best Thing about Homeschooling
by Marty Layne[3]

Time to sit and read to your children out loud
Time to stay in your pajamas all day and play
Time to watch your children as they put on plays
Time to listen to your children
Time to look at spiders
Time to go for a walk when the sun is shining,
or the rain has just started to fall, or the wind is blowing hard
Time to understand your children, to discover what makes them happy,
sad, mad, or glad, and help them understand themselves
Time to build relationships
Time for a child to follow an interest
Time for a child to be bored
Time to sing
Time for a child to learn how to live in a family with other people
all sharing the same space
Time for a child to just sit outside and daydream
Time for a child to read
Time for a child to discover things
Time to paint in the kitchen and make a mess
Time to learn patience
Time to laugh together
Time to play games together
Time to just sit with a child and be quiet together
Time to call your own.

Apa itu ‘Homeschooling’?

Homeschooling dapat dipandang sebagai suatu pendidikan alternative yang merupakan substitusi dari aktivitas sekolah, dimana anak belajar di bawah supervisi dan kontrol penuh orangtua. Perlu dibedakan dengan kegiatan belajar di rumah (seringkali disebut ‘homestudy’) yang berada di bawah supervise personil dari sekolah, atau adanya program visiting teacher. Biasanya program ini sengaja disediakan oleh sekolah tertentu untuk melayani anak-anak yang mengalami kesulitan untuk pergi ke sekolah dengan alasan sakit berkepanjangan. Jadi, Homeschooling adalah kegiatan belajar anak yang sepenuhnya berada dalam program dan kendali ‘orangtua’, dan tidak ada ketergantungan dengan yang namanya sekolah (formal).

Mengapa harus ‘Homeschooling’?

Sesungguhnya tanggung jawab utama pendidikan anak, ya di tangan orang tua. Lagipula, orangtua lah yang paling memiliki kepedulian, perhatian dan kedekatan yang tak tergantikan oleh pihak lain (baca: guru di sekolah!). Kalaupun terpaksa anak harus sekolah dan di didik oleh orang lain, maka kewajiban orangtua untuk mencarikan sekolah atau lembaga pendidikan yang baik, bertanggung jawab, dan bermutu. Allah SWT telah menggariskan masalah ini dalam firmannya:

- Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan kelurgamu dari api neraka (QS:

-Ya Robb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri isteri kami dan anak-anak kami

‘penyejuk mata” dan jadikanlah kami penghulu bagi orang-orang yang bertaqwa (QS 25:

-Dan hendaklah khawatir akan meninggalkan anak keturunan yang ’lemah’...(QS 4:9)

Umumnya keputusan menyelenggarakan Homeschooling biasanya dilatarbelakangi oleh kekecewaan, ketidak puasan dan kekhawatiran dan ketidak-percayaan akan proses dan mutu pendidikan di sekolah formal. “School is dead !”, demikian jargon sinis yang kerap kita dengar dari para kalangan homeschoolers. Jargon ini akan semakin relevan bila kita letakkan dalam peta kondisi pendidikan di tanah air. Sekolah-sekolah di Indonesia, baik negeri dan kebanyakan swasta sangat sarat masalah: mulai dari pijakan filosofis, kurikulum, pembiayaan, sdm, manajemen, sumber belajar, dan sebagainya. Sekolah-sekolah di tanah air, ternyata sebagian besar tidak mampu menjalankan perannya sebagai institusi yang seharusnya menjadi agen penumbuhan dan pengembangan seluruh potensi anak. Yang terjadi malah sebaliknya.

Lihatlah beberapa indicator, betapa sekolah-sekolah mengalami permasalahan yang serius:

n Skor rata-rata untuk membaca siswa SD: 75.5 (Hongkong), 74.0 (Singapura), 65.1 (Thailand), 52.6 (Filipina), dan 51.7 (Indonesia). Anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan: sukar membaca soal uraian. Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Greanery, 1992),

n Skor IPA & Matematika anak Indonesia (2SMP) berada pada urutan 34 dan 32 diantara 38 negara, Hasil studi The Third International Mathematics and Science Study 1999.

n Lebih dari sejuta pemuda terkena narkoba (Prof. Dadang H, 1998); 1997 >> 9 daerah rawan 1998 >> 18 daerah rawan (Kongres Nasional Epidemiologi IX) 2003 >> semakin banyak anak SD terkena NARKOBA !! (Republika, 17 Mei 2003)

n Proporsi guru layak (SD), rata-rata 33,81%, Guru layak SLTP

Bahasa Indonesia: 46,99%, Bahasa Inggris :45,45%, Matematika : 50,93%

I P A : 54,62%, I P S : 48,29%

n Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala; diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan:

Ø ke 102 pada tahun 1996,

Ø ke 99 pada tahun 1997,

Ø ke 107 pada tahun 1998,

Ø Ke …….tahun 2000

Ø Ke 112 tahun 2003

n Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu menduduki urutan ke 37 dari 57 negara yang disurvai di dunia.

n Anggaran Pdd thn 2002 hanya 10 triliun, sementara untuk penghapusan hutang sebesar 30 triliun !!, Tidak pernah lebih dari 5%, belum lagi tingkat kebocoran sampai 30% !

Padahal, potensi anak itu dapat berkembang optimal sangat bergantung bagaimana model, pola, intensitas interaksi, kekayaan sumber belajar, variasi dan metode pendekatan. Dan, masa-masa pertumbuhan itu sangat ditentukan di saat usia sekolah! Bahkan, kemudian manakala sekolah tidak mampu menciptakan suasana pendidikan yang kondusif, yang terjadi adalah sebaliknya; anak-anak akan tumbuh ke arah perkembangan negatif, seperti: rendah diri, kriminal, tidak disiplin, etos belajar yng rendah, dan sebagainya.

Di sisi lain, Kebanyakan mereka memandang homeschooling punya banyak keuntungan, antara lain:

* Kesempatan yang sangat luang dan intens dalam membina hubungan interaktif dan penuh emosi antara orangtua-anak, sebagai kelanjutan hubungan yang sudh terbina sejak kelahiran. Tidak ada alasan untuk menghentikan hubungan ini hanya karena anak-anak ‘harus’ pergi ke sekolah!
* Supervisi yang lebih baik, intens dan focus terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kemajuan anak.
* Lebih dapat menerapkan cara dan gaya pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan keadaan dan kondisi anak.
* Meniadakan factor resiko keamanan dan kelelahan fisik anak: factor kondisi dan jarak rumah-sekolah
* Fleksibilitas dalam pendekatan, metode, media: bisa sambil jalan-jalan, shopping, bercanda, diskusi serius, dan sebagainya…

Homeschooling di Indonesia

Di Indonesia, homeschooling belum begitu populer. Ini terjadi karena beberapa sebab, antara lain: daya dukung resources, aspek hukum, budaya dan peluang kelanjutan belajar/sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Bila kita rujuk ke UU Sisdiknas, homeschooling dapat dikategorkan dalam jalur Pendidikan Informal, yang diatur pada Pasal 27, yang berbunyi:

1. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

2. Hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

3. Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dengan demikian, praktek homeschooling di negeri kita mendapatkan pijakan hukum yang kuat, meskipun aturan teknis keabsahan dan pengakuan masih harus menunggu PP.

Prasyarat Homeschooling

Keputusan penyelenggaraan homeschooling harus mempertimbangkan banyak sisi, karena menyangkut perjalanan karir akademis anak. Paling tidak, sejumlah pra syarat berikut hendaknya menjadi pertimbangan bagi penyelenggaraan homeschooling:

1. Mau

Baik orangtua dan anak telah memiliki motivasi, tekad dan dorongan yang kuat untuk menyelenggarakan homeschooling. Ini menjadi penting sebagai modal awal yang handal, terutama dalam rangka menghadapi tuntutan dan konsekwensi dari penyelenggaraan homeschooling seperti: penyediaan resources, disipilin, efek psikologis, dan sebagainya

2. Mampu

Tentu saja kemampuan dan kompetensi orangtua sebagai pendamping dan sekaligus pembimbing anak harus melebihi kemampuan dan kompetensi para guru di sekolah formal. Orangtua harus memiliki keluasan pengetahuan tentang seluk beluk mengajar, melatih mengasuh dan membimbing. Orangtua mesti terampil dalam membuat perencanaan, mengembangkan berbagai metode dan pendekatan, memiliki kemampuan dalam mengakses berbagai sumber belajar (resources), dan melakukan evaluasi yang sistematis. Lebih jauh, orangtua juga harus punya konsep yang ajeg dan benar, yag kemudian dituangkan ke dalam visi yang jelas. Termasuk di dalamnya, kemampuan bagaimana mencapai tugas-tugas perkembangan anak sesuai dengan perkembangan usianya, baik fisik, kognitif, agama dan moral, social, dan emosi.

3. Waktu

Meskipun homeschooling menjanjikan kebebasan, keleluasaan dan keluwesan dalam pelaksanaannya, namun tetap saja mesti ada ketersediaan dan komitmen waktu yang cukup dan memadai dari orangtua untuk membuat jadwal, dan berupaya untuk melaksanakan jadwal yang disusun sebaik-baiknya, agar juga terbina kebiasaan disiplin yang baik.

4. Jaminan hukum/pengakuan, demi kelanjutan

Pengakuan resmi kompetensi anak menjadi hal penting bagi kelanjutan karir akademik ataupun karir kehidupannya. Selayaknya, ada jaminan hukum (formal), berupa pengakuan keabsahan kompetensi sehingga dapat melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya (kalau sekiranya proses homeschooling berhenti). Pengakuan kompetensi juga relevan buat bekerja, ataupun ketika yang bersangkutan berminat untuk terlibat dalam karir politik (yg mensyaratkan ijazah, sebagai bukti pendidikan)

5. Jaminan psikologis anak

Praktek homeschooling di tengah budaya sekolah perlu mempertimbangkan dampak psikologis anak. Boleh jadi anak homeschooler akan merasa ’aneh’, ’beda’ ataupun ’outgroup’ bila dibandingkan dengan lingkungan sosialnya yang sebagian besar adalah anak-anak sekolahan. Kekhawatiran yang kerap timbul dalam penyelenggaraan home schooling dipicu oleh anggapan-anggapan umum seperti: ”Homeschoolers terkungkung di rumah sepanjang hari”, ”Homeschoolers tidak punya teman”, ”Anak-anak tidak dapat bersosialisasi bila mereka tidak pergi ke sekolah biasa”, ”Kebanyakn orangtua tidak (akan) mampu mengajar anak-anak mereka sendiri”, ”homeschoolers remaja kehilangan kesempatan mendapatkan ”the high-school experience." Perlu jaminan, bahwa dengan homeschooling, perkembangan self-esteem, self perception, tidak bermasalah[4].

Berbagai Pendekatan
Pola penyelenggaraan homeschooling bisa menggunakan aneka pendekatan. Tentu saja pilihan mana yang akan diambil sangat bergantung kepada motivasi, filosofi, konsep, tujuan dan gaya orangtua. Berbagai pendekatan dalam pelaksanaan homeschooling, antara lain[5]:

* Structured: seringkali disebut dengan istilah ‘sekolah di rumah’. Programnya sangat jel;as, terorganisir, goal-oriented.
* Interest-initiated: Anak belajar dari kehidupan dan pengalaman nyata. Orangtua mendorong dan menyediakan berbagai resources yang menarik minat anak-anak. Orangtua dan anak-anak merencanakan beberapa kegiatan yang disusun dalam kalender bulanan, dengan catatan-catatan kecil pada setiap kegiatan itu.
* Learning-style: material belajar dan aktivitas dipilih berdasarkan gaya belajar anak guna mendapatkan hasil belajar optimal.
* Philosophical: Struktur kegiatan belajar berpijak dan bersandar kepada konsep filosofis yang difahami dan diyakini orangtua.
* Accelerated: Orangtua menilai anaknya memiliki kemampuan khusus (talenta) yang memungkinkan untuk belajar dengan determinasi dan akselerasi tinggi. Aktivitas belajarnya focus, dengan sasaran target tertentu.
* Accommodating: Kegiatan belajar didasarkan kepada adanya kebutuhan tertentu dari anggota keluarga mereka.
* Unit-based: Belajar memusatkan kepada satuan pelajaran/bahasan tertentu untuk satu periode tertentu. Anak belajar sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
* Community : Sebagian waktu belajar anak dilakukan melalui pelibatan mereka ke dalam kelompok-kelompok yang ada di sekitar tempat tinggal anak. Biasanya dalam kelompok remaja, kelompok keagamaan.
* Eclectic: berbagai komninasi dari pendekatan-pendekatan di atas. Orangtua tinggal memilih sesuai dengan porsi yang diinginkan

10 Tips Menjadi Orangtua Homeschooling[6]

1. Tahu benar apa alasan dan latar belakang keputusan mendidikan anak dengan program homeschooling. Apakah karena alasan keamanan, keselamatan, atau sakit. Atau karena alasan agama, filosofis yang diyakini. Alasan ini akan sangat mempengaruhi disain program homeschooling yang akan digulirkan.
2. Memastikan aspek legal dan hukum yang berlaku di daerah tempat tinggal. Seringkali, kebijakan dan peraturan tiap daerah berbeda satu dengan yang lain.
3. Program dibuat dengan jelas, berstruktur. Apapun pendekatan yang dianut, tentu saja perencanaan, sumber belajar, metode dan media, penjadwalan serta langkah evalausi mesti disiapkan.
4. Sabar dan Luwes. Posisi sebagai orangtua dan sekaligus guru dalam program homeschooling menuntut kesabaran yang luar biasa. Bolehjadi kedua posisi menuntut peran yang berbeda, dan kemungkinan memunculkan konflik peran.
5. Kembangkan hubungan yang positif dan akrab antara orangtua dan anak. Layaknya sebuah tim yang solid dalam rangka mengejar target bersama.
6. Berkomunikasi dan menjlin hubungan dengan orangtua homeschool lain. Dengan komunikasi, kita akan banyak mendapatkan ide, gagasan, solusi, sumber belajar. Komunitas homeschooling banyak didapatkan melalui jaringan internet.
7. Siapkan area atau tempat belajar yang memadai, nyaman dan kondusif; terutama saat-saat mempelajari hal-hal yang memerlukan konsentrasi. Seringkali suasana rumah sangat dekat dengan berbagai hal yang kurang relevan dengan suasana belajar.
8. Selalu mempersiapkan diri untuk pindah ke sekolah biasa. Boleh jadi, orangtua, anak ataupun kondisi menjadi sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan program homeschooling. Guna menghindari keterputusan pendidikan, orangtua harus menyiapkan segala kemungkinan untuk memindahkan anak ke sekolah biasa. .
9. Metode dan Model Evaluasi yang efektif. Sebaiknya, orangtua memiliki pengetahuan tentang model, pola dan content evaluasi yang dilakukan oleh sekolah-sekolah biasa yang ada di sekitar tempat tinggal. Boleh jadi, orangtua akan menggunakan pendekatan evaluasi yang sama dengan sekolah, sehingga bisa sekaligus mengukur dan membandingkan kemajuan belajar anak.
10. Jangan lupakan program sosialisasi. Seringkali masalah sosialisasi menjadi pertanyaan kritis dalam program homeschooling.

PENUTUP

Homeschooling harus lebih baik dari sekolah biasa. Bila penyelenggaraan homeschooling ternyata tidak mampu melebihi mutu sekolah, atau dengan kata lain perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dan bermasalah: maka sungguh akan berlaku jargon: homeschooling is dead..!! Jadi, sesungguhnya yang paling esensial adalah bagaimana anak mendapatkan proses pendidikan yang baik, benar dan bermutu; siapapun dan dimanapun mereka mendapatkannya.

[2] Peminat masalah pendidikan, Ketua JSIT Indonesia.

[3] Marty Layne is the mother of 4 young adults (23-15) who have been learning at home since they were born. She likes to sing, write, work in the garden, drive her daughter to and from dance classes, and talk with her family. Diambil dari situs www.homeschooling.gomilpitas

[4] Persoalan yang kerap dipertanyakan orang dalam konteks homeschooling adalah masalah ’sosialisasi’, yang erat kaitannya dengan pembentukan ‘self –esteem’ anak. Tentu saja orangtua ’homeshoolers’ mesti memiliki kepekaan dan kemampuan dalam masalah ini Dalam riset yang dilakukan Larry Edward Shyers, PhD ditemukan, tidak ada beda yang berarti antara anak-anak sekolah formal dengan anak-anak ‘homeschoolers’ dalam pembentukan self esteem. Dia mengukur self esteem 70 anak usia 8-10 tahun dari homeschooling dan 70 lainnya dari sekolah biasa dgn menggunakan “the Piers-Harris Children's Self-Concept Scale”. Lihat lebih detail dalam situs: learninfreedom.org/socialization.html

[5] Lebih detail lihat di situs: www.homeschooling.gomilpitas

[6] Dijabarkan oleh Molly Hewitt dalam situs: www.homeschooling.gomilpitas

Tidak ada komentar: