Kamis, Januari 17, 2008

Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa

oleh Drs. Fahmy Alaydroes, psi., MM, MEd.[1]

Pendahuluan

Motivasi belajar (motivation to learn) menentukan kualitas interaksi siswa dengan kegiatan di kelas. Perhatian, respons dan kesungguhan mengerjakan tugas-tugas belajar menjadi lemah, dan pada gilirannya akan berakibat pada rendahnya prestasi akademik. Sebaliknya, apabila motivasi belajar anak tinggi muncul gairah dan semangat belajar dalam yang tampil dalam bentuk perilaku antusias dalam mengerjakan berbagai tugas, dan akhirnya akan mendongkrak prestasi akademik.

Untuk meningkatkan motivasi para siswa, seorang guru haruslah memahami teknik-teknik membangkitkan motivasi. Teknik-teknik ini mengacu kepada prinsip-prinsip dan teori-teori dasar tentang motivasi. Dengan pemahaman itu, guru dapat menemukan cara terbaik untuk meningkatkan motivasi para siswa. Motivasi dapat berasal dari faktor eksternal yang disebut motivasi ekstrinsik dan dapat juga berasal dari individu itu sendiri, yaitu motivasi intrinsik. Kedua jenis motivasi ini secara signifikan memainkan peran dalam mendorong perilaku individu.

Esai ini akan menjelaskan tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik dan penjelasan tentang bagaimana para guru dapat mengembangkan masing-masing untuk memotivasi para siswa untuk belajar. Kemudian, esai ini juga akan menjelaskan kelebihan dan kekurangan masing-masing motivasi untuk memotivasi para siswa.

Pengertian

Motivasi Ekstrinsik

Term ‘ekstrinsik’ menunjukkan bahwa motivasi ini terkait dengan faktor-faktor eksternal. Dalam perspektif behavioral, motivasi muncul karena faktor-faktor eksternal seperti penghargaan (rewards) atau penghukuman (punishment). Alberto dan Troutman[2] (berpendapat bahwa motivasi ekstrinsik yang dikembangkan dengan memberikan stimulus yang menyenangkan atas suatu perilaku tertentu yang dianggap kesenangan oleh siswa dan hal ini akan meningkatkan perilaku tersebut. Santrock (2001) menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik berkenaan dengan insentif eksternal seperti penghargaan dan penghukuman. Elliot et al (1999, h. 333) berpendapat bahwa motivasi ekstrinsik disebabkan oleh penghargaan dan dorongan eksternal atas para siswa. Ryan dan Deci (1999, h. 55) mendefinisikan motivasi ekstrinsik sebagai “sebuah konstruk berkenaan dengan aktifitas apapun juga dilakukan agar dapat mencapai sejumlah hasil yang dapat dipisahkan.” Dengan definisi dan pandangan ini, motivasi ekstrinsik jelas disebabkan oleh dorongan eksternal dari orang lain.

Untuk mengilustrasikan konsep ini, misalnya, seorang guru SD menerapkan sebuah sistem penghargaan (reward system) di kelas. Kepada para siswa, dia menjelaskan apabila mereka dapat menyelesaikan 10 soal matematika dengan baik dua hari kemudian, maka mereka akan mendapatkan sebuah game VCD baru. Dengan penghargaan eksternal ini, guru SD itu berupaya memotivasi para siswa untuk belajar matematika dengan baik. Dengan demikan, apabila sistem ini bekerja efektif, maka motivasi ekstrinsik akan berkembang pada para siswa. Di tempat kerja, motivasi ekstrinsik terlihat apabila para pegawai bekerja dengan lebih produktif karena pihak manajemen telah menaikkan upah mereka. Di universitas para siswa belajar keras karena mereka ingin mendapatkan pekerjaan yang baik di masa depan.

Motivasi Intrinsik

Ryan dan Deci (1999, h. 57) mendefinisikan motivasi intrinsik sebagai “melakukan suatu aktifitas untuk kepuasan inheren daripada untuk mencapai hasil tertentu yang dapat dipisahkan.” Orang akan berperilaku untuk kesenangan atau mengambil resiko apabila dimotivasi secara intrinsik daripada karena dorongan eksternal, tekanan atau penghargaan. Santrock (2001, h. 397) juga mengatakan bahwa motivasi intrinsik disebabkan oleh faktor-faktor internal, seperti kebutuhan pencapaian, penentuan diri, keingintahuan, tantangan dan berkarya. Para siswa belajar bersungguh-sungguh karena secara internal mereka dimotivasi untuk mencapai standar tinggi dalam pekerjaan mereka. Sementara itu, Elliot, Kratochwill, Liitlefield dan Travers (1999, h. 333) menyatakan bahwa motivasi intrinsik berarti kehendak para siswa sendiri belajar untuk mencapai tujuan spesifik tanpa kebutuhan atas dorongan eksternal. Berkaitan dengan menghidupkan motivasi intrinsik, Stipek (1998, h. 117) menyatakan bahwa pada dasarnya manusia secara lahiriah cenderung “(1) mencari peluang untuk mengembangkan kompetensi dan (2) mencari kesenangan baru – peristiwa dan aktifitas yang agak menyimpang dari harapan mereka; dan mereka juga (3) mempunyai kebutuhan lahiriah secara otonom dan melakukan aktifitas atas kemauan mereka sendiri.”

Selain itu, Paul Chance (lihat internet: http://seamonkey.ed.asu.edu/~jimbo/..) mendeskripsikan penghargaan intrinsik secara menakjubkan: “Kita belajar untuk melepaskan anak panah dengan melihat berapa dekat anak panah itu dengan target, belajar mentipekan dengan melihat kata-kata yang benar yang muncul di layar komputer, belajar memasak dari penglihatan mata yang menyenangkan, wewangian dan rasa sedap yang dihasilkan oleh usaha kulinari kita; belajar membaca dari memahami yang kita peroleh dari kata-kata yang dicetak dan belajar untuk memecahkan teka-teki dengan mencari solusi.”

Untuk melihat konsep ini lebih jelas lagi, mari kita lihat sebuah contoh sebagai ilustrasi yang dikutip oleh Santrock (2001, h. 394). Terry Fox, seorang pemuda warga negara Kanada, melakukan lari jarak jauh terbesar dalam sejarah. Dia berlari melintasi Kanada sejauh 5.359 mil dalam cuaca yang buruk, angin kencang, hujan deras, bersalju dan jalan-jalan yang ditutupi es dengan bantuan alat penyangga (prosthetic limb). Sebelum melakukan lari bersejarah itu, dia kehilangan satu kakinya karena penyakit kanker. Dia menyelesaikan lari yang bersejarah itu karena ingin melakukan pengumpulan dana untuk penelitian kanker. Terry Fox adalah orang yang punya motivasi intrinsik.

Kelebihan dan Kekurangan Motivasi Ekstrinsik


Dalam praktek pendidikan, mempergunakan “grades”, “high test scores”, “award”, “teacher or instructor attention” yang merupakan bagian dari teknik-teknik untuk memobilisasi motivasi ekstrinsik adalah suatu yang lazim. Glaser dan Cooley, 1973 (Wlodkowski, 1986, h. 56) menyatakan bahwa dengan mempergunakan penghargaan dalam berbagai bentuknya secara efektif diyakini sebagai sebuah variabel penting dalam desain instruksional kelas. Selain itu, Webb, Currington & Guthrie (lihat di Stipek 1999, h. 27) telah mengamati bahwa penerapan prinsip-prinsip atas penghargaan telah lazim dilakukan di sekolah Amerika sebagai insentif untuk pencapaian akademik. Kepada siswa terbaik, mereka memberikan predikat sebagai “siswa terbaik tahun ini,” mereka biasanya memberikan vouchers boneka dan hamburger serta beasiswa. Dalam hal ini, kita dapat melihat insentif-insentif ini sebagai salah satu jenis untuk penegasan kembali (reinforcement) dan umum digunakan dalam setting pendidikan.

Kemudian, apabila memotivasi anak-anak pada kelompok usia awal sekolah (4-6 tahun), maka jauh lebih efektif apabila kita memobilisasi motivasi ekstrinsik ini melalui berbagai jenis sistem penghargaan. Dalam konteks membangun perkembangan moralitas pada anak-anak, Newman dan Newman (1995) berpendapat bahwa suatu sistem penghargaan dan penghukuman eksternal adalah suatu kontribusi yang signifikan.

Goodenow pada tahun 1992 seperti yang dikutip oleh Elliot et al (1999) menemukan pada penelitiannya (atas 301 siswa SMU kulit putih, kulit hitam, keturunan Amerika Latin) bahwa konteks sosial mempengaruhi baik faktor motivasi maupun pencapaian. Penelitian ini telah membuktikan bahwa konteks sosial telah berfungsi sebagai konsekuensi. Lingkungan sosial yang dianggap sebagai suatu kondisi yang baik untuk proses belajar atau konteks ruang kelas, dikatakan dapat merupakan sebagai konsekuensi dari perilaku belajar. Para siswa dalam penelitian ini mempunyai perasaan yang puas dan mendapatkan kesenangan dengan teman-temannya, dengan lingkungan sosialnya dan perasaan yang puas ini adalah suatu stimulus yang baik untuk meningkatkan motivasi para siswa.

Dengan kata lain, selain berbagai kelebihan itu, kita juga harus memahami bahwa memobilisasi motivasi eksternal dapat menyebabkan situasi yang merusak. Berbagai studi telah mengungkapkan bahwa dalam hal tertentu, mempergunakan faktor-faktor eksternal untuk memotivasi siswa untuk belajar mempunyai efek negatif tertentu. Berbagai studi itu mengungkapkan sebagai berikut ini:

Yang pertama, Penghargaan dapat menurunkan proses belajar. Lepper et al., 1973 (Santrock, 2001) pada studinya telah menemukan bahwa para siswa yang punya kepentingan yang kuat dalam bidang seni dan tidak mengharapkan mengdapatkan penghargaan lebih banyak mempergunakan waktunya untuk mata pelajaran menggambar daripada siswa yang juga mempunyai minat yang tinggi dalam bidang seni tetapi mereka tahu akan diberikan penghargaan atas mata pelajaran menggambar. Dari studi ini, kita dapat memahami bahwa acapkali penghargaan secara spesifik memindahkan atau mengalihkan perhatian atau konsentrasi para siswa dari bidang yang harus dipelajari karena faktor penghargaan dan secara tepat hal ini dapat mengganggu atau merusak proses belajar itu sendiri.

Yang kedua, pemberian peringkat (grades) tidak efektif untuk sebagian anak pada kelas-kelas dini di sekolah dasar. Stipek (1998) menyatakan bahwa penghargaan yang diterapkan di ruang-ruang kelas di Amerika Serikat tidak secara universal efektif. Dia memberikan contoh bahwa memberikan peringkat (grades) tidak begitu efektif karena sebagian anak di kelas-kelas dini SD karena anak-anak belum punya nilai dalam faktor peringkat (grades).

Yang ketiga, penghargaan mempunyai efek negatif atas keinginan individu untuk mencoba tugas-tugas yang menantang. Harter pada tahun 1978 dan Kohn pada tahun 1933 (Stipek, 1998) telah mengkaji bahwa sebagian anak-anak yang diberikan penghargaan ekstrinsik (extrinsic reward) untuk pilihan jawaban yang benar atas soal-soal yang kurang sulit secara signifikan daripada anak-anak yang tidak diberikankan penghargaan (rewards). Anak-anak hanya mencoba untuk mendapatkan penghargaan dengan menjawab soal-soal tanpa memperhatikan soal-soal itu apakah sulit atau tidak. Dengan kata lain, mereka memilih soal-soal yang lebih mudah. Selain itu, Burger tahun 1980 (Beck, 1983, h. 188) telah mengungkapkan pada eksperimennya bahwa penghargaan eksternal kadang-kadang mengurangi motivasi intrinsik.

Yang keempat, penghargaan dapat mempertahankan perilaku tertentu hanya dalam jangka pendek. Stipek (1998) berpendapat bahwa perilaku yang diberikan penghargaan, biasanya terjadi hanya pada kondisi penghargaan (reward condition) dan hal ini hanya bertahan dalam jangka pendek. Apabila penghargaan itu tidak diberikan dalam jangka panjang, maka perilaku itu akan menghilang. Kemudian, Kazdin dan Bootzen pada tahun 1972 (Wlodkowski, 1986) pada studi mereka, mengungkapkan bahwa perilaku yang dipelajari dengan baik dan dikontrol oleh penguatan ekstrinsik (extrinsic reinforcement) acapkali tidak dapat dialihkan ke lingkungan alamiah dan tidak terkontrol.

Dari kelebihan dan kekurangan motivasi ekstrinsik tersebut, para guru sebaiknya lebih hati-hati apabila mereka akan mempergunakan faktor-faktor eksternal untuk memotivasi para siswa. Mereka harus mengetahui dan mempersiapkan semua manajemen penguatan (reinforcement management) secara komprehensif dan bijak.

Kelebihan dan Kekurangan Motivasi Intrinsik

Berbagai studi dan penelitian menyatakan bahwa ada nilai tertentu untuk memobilisasi motivasi intrinsik. Paragraf berikut ini menganalisis kelebihan yang terlihat secara empirik seperti yang dibuat oleh Stipek (1999, h. 124).

Yang pertama, mempelajari berbagai aktifitas di luar sekolah: Dengan meningkatnya motivasi intrinsik, para siswa terlibat dalam mempelajari berbagai aktifitas di luar sekolah. Hal ini akan berlangsung karena para siswa terlibat dalam proses belajar tidak bergantung pada faktor penghargaan (reward) atau penghukuman (punishment) yang biasanya berlaku di dalam sekolah. Dengan kata lain, para siswa yang secara intrinsik dimotivasi untuk belajar di tempat lain, baik di dalam atau di luar sekolah. Kedua, preferensi atas tantangan: seorang anak yang secara intrinsik dimotivasi cenderung menyukai tugas-tugas yang menantang. Berbagai studi memperlihatkan kecenderungan ini, sebagian di antaranya adalah dari Boggiano, Pittman dan Ruble tahun 1982; Boggiano et al., 1988; Flink, Boggiano, Barret & Katz tahun 1992. Ketiga, pemahaman konseptual: Para siswa yang secara intrinsik cenderung membaca dan mempelajari lebih banyak materi daripada rote-learning (Shirey, 1992; Tobias, 1994; Wade, 1992). Meningkatnya proses belajar berlangsung karena orang cenderung lebih kepada teks yang menjadi minat mereka dan perhatian ini membantu mereka untuk memproses dan mengingat apa yang telah mereka baca (Anderson, 1982; Asher, 1980). Keempat, kreatifitas: Berbagai studi memperlihatkan bahwa motivasi intrinsik mendukung kreatifitas, seperti Amabile tahun 1983; Butler and Nisan, 1986. Alasannya adalah kontingensi ekstrinsik dapat menciptakan fokus instrumental yang memperkecil perhatian dan orientasi individu untuk mengambil solusi yang paling cepat dan mudah. Kelima, kesenangan dan keterlibatan: Sejumlah penelitian (Harter, 1992; Tobias, 1994; Miserando, 1996) menemukan bahwa motivasi intrinsik juga terkait dengan kesenangan dan keterlibatan yang lebih besar daripada motivasi ekstrinsik. Mereka juga menemukan bahwa para siswa yang secara intrinsik dimotivasi untuk lebih terlibat, tekun, berpartisipasi dan punyai rasa ingin tahu atas tugas-tugas sekolahnya dan berkurangnya kejenuhan dalam aktifitas sekolah daripada para siswa yang mengklaim dimotivasi secara ekstrinsik.

Selain itu, Deci dan Ryan (1985, h. 32) juga menyatakan bahwa apabila orang-orang secara intrinsik termotivasi, maka “mereka punya kepentingan dan kesenangan, mereka merasa kompeten dan menentukan nasib sendiri, mereka mempersepsikan lokus sebab-akibat atas perilaku mereka menjadi suatu yang internal. Dan dalam hal tertentu, mereka berada dalam arus”.

Walaupun sebagian besar studi telah melaporkan kelebihan motivasi intrinsik, namun ada keterbatasan tertentu apabila guru-guru berupaya memobilisasi motivasi ini pada kondisi tertentu. Masalah ini terjadi apabila guru-guru atau orang tua mengeluh bahwa mereka menghadapi anak-anak yang termotivasi secara intrinsik berupaya menghindari tugas yang mereka tidak sukai. Anak-anak yang secara intrinsik termotivasi hanya memberikan perhatian dan mengerjakan secara serius hanya berbagai aktifitas yang mereka suka (Deci dan Ryan, 1985).

Strategi untuk Meningkatkan Motivasi Ekstrinsik


Pada dasarnya, meningkatkan motivasi ekstrinsik atas para siswa untuk belajar, berarti memanipulasi faktor-faktor eksternal agar dapat berfungsi sebagai suatu penguat (reinforcer) atau penghargaan (reward) dari perilaku target tersebut. Sejumlah strategi telah diajukan oleh Wlodkowski (1986), misalnya, dengan memberikan hadiah atas tugas yang berprestasi melalui berbagai bentuk upacara penyerahan hadiah dan memberikan umpan balik positif dan pujian yang efektif. Dengan memberikan pujian yang efektif, Flemming dan Levie (1993) menyatakan bahwa lebih baik diberikan dalam bentuk pesan personal tertulis karena dapat berpengaruh lebih lama atas perasaan kepuasaan seorang siswa daripada sebuah pernyataan verbal atau pernyataan singkat dengan tugas itu sendiri. Sementara itu, Stipek (1999, h. 32) dengan tegas menyatakan bahwa memberikan pujian harus bersifat contingent atas perilaku dimana seorang guru hendak mempertahankan atau meningkatkan. Dia juga meyakini bahwa ekonomi (token economic) sebagai sebuah alat yang efektif dalam meningkatkan pencapaian akademik seperti terlihat dalam berbagai studi yang sudah dibuat oleh Cohen (1973), Alschuler (1968).

Kemudian, Elliot dan rekannya (1999) telah memberikan catatan bagaimana mempergunakan faktor penguat (reinforcement) sebagai faktor eksternal secara efektif:

Yang pertama, memberikan respons secepat-cepatnya. Seorang guru sebaiknya segera memberikan respons, memberikan penghargaan atas para siswanya. Yang kedua, mengontrol penguatan (reinforcement) akan mengontrol perilaku. Guru harus mengidentifikasi penguatan tersebut sehingga para siswa khususnya menyukainya. Apabila siswa suka melakukan aktifitas luar sekolah, maka dia dapat melakukan aktifitas ini untuk mengontrol perilaku para siswa. Ketiga, menyadari penentuan waktu penguatan (timing of the reinforcement). Guru sebaiknya mempertimbangkan seberapa sering dia memberikan para siswanya penguatan tersebut. Keempat, pertimbangkan membuat kontrak (contracting). Membuat kontrak berkaitan dengan menempatkan penguatan itu (reinforcement contingencies) secara tertulis. Para ahli teori perilaku menyatakan bahwa sebuah kontrak kelas (classroom contract) seharusnya merupakan hasil input baik dari guru maupun para siswa. Kontrak kelas ini berbentuk pernyataan “apabila …. maka” dan ditandatangani oleh guru dan para siswa, kemudian ditetapkan. Kelima, mempergunakan penghargaan ekstrinsik tangible sekecil mungkin. Apabila penghargaan ekstrinsik tangible diberikan secara berlebihan, maka hal ini dapat menjadi fokus perhatian utama atau tidak menjadi efektif sebagai suatu penguat (reinforcer).

Strategi yang Bertumpu pada Motivasi Intrinsik

Untuk meningkatkan motivasi intrinsik, Elliot et al (1999, h. 346-347) menyarankan kepada para guru dan para instruktur untuk meningkatnya keingintahuan para siswa dengan berbagai cara, yaitu: memungkinkan para siswa Anda melihat semangat Anda dalam mengajar satu mata pelajaran, menstimulasi konflik kognitif, memungkinkan para siswa untuk menyeleksi topik-topik, memberikan model keingintahuan dan mendapatkan perilaku (inquiring behavior). Sementara itu, Wlodwoski (1986, h. 286) mengusulkan untuk memberi umpan balik positif dan tugas-tugas yang menantang secara optimal. Bruner pada tahun 1962; Neil tahun 1960 dan Holt tahun 1964 (Deci dan Ryan, 1985) berpendapat bahwa para siswa harus bebas dari segala bentuk penghargaan (rewards) atau penghukuman (punishment). Apabila mereka mau belajar secara intrinsik, maka mereka cenderung menginterpretasikan keberhasilan dan kegagalan mereka sebagai informasi daripada sebagai penghargaan dan penghukuman. Proses belajar dapat efektif apabila penghargaan primer itu adalah kepuasan intrinsik siswa atas penyelesaian tugas yang diembankan kepadanya.

Stipek (1999, h. 161-170) menyorot tentang bagaimana para guru dapat mengeksplorasi tugas-tugas bagi seorang siswa sehingga mereka menginternalisasi nilai-nilai akademik dan mendorong tujuan penguasaan dan proses pembelajaran. Stipek mengusulkan tugas guru untuk memaksimalisasi motivasi intrinsik bagi para siswa mereka dengan cara berikut ini:

a. Menjelaskan tujuan tugas-tugas dan signifikansi sebenarnya dari skill yang dirancang untuk diajarkan

b. Memberikan tugas-tugas yang menantang

c. Menciptakan tugas-tugas yang memungkinkan para siswa utuk melakukan tugas intelektual yang substantif

d. Memberikan tugas-tugas multidimensi

e. Memberikan tugas-tugas yang menghendaki eksplorasi, eksperimentasi dan partisipasi siswa secara aktif

f. Memberikan tugas-tugas tertentu yang kompleks, baru dan mempunyai unsur yang mengejutkan atau fantasi

g. Memberikan tugas-tugas yang terkait dengan kepentingan para siswa

h. Memberikan para siswa peluang untuk berkolaborasi

i. Memberikan tugas dan format yang berbeda-beda dari hari ke hari

Kesimpulan

Dapat disimpulkan, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik memainkan peran yang sangat besar dalam meningkatkan proses belajar para siswa. Seorang guru sebaiknya memahami dengan baik aspek negatif dan positif dari kedua jenis motivasi. Dia juga harus bersikap bijak untuk menyeleksi dan memutuskan strategi mana yang tepat atas kelas yang berbeda. Dia harus ingat bahwa pemilihan dan keputusan bergantung pada kondisi, karakteristik kerja dan target perilaku (behavioral target). Dengan mempertimbangkan aspek negatif dan positif dari setiap motivasi, seorang guru harus menekankan motivasi intrinsik untuk target jangka panjang karena hal ini mempunyai sisi positif daripada motivasi ekstrinsik. Tetapi selain untuk kasus-kasus spesifik yang berkaitan dengan target perilaku, hal ini akan sulit untuk memobilisasi motivasi intrinsik.

Rujukan

  1. Beck, Robert C. (1983). Motivation. Theories and Practices (2nd ed). New Jersey: Prentice Hall.
  2. Deci, Edward L., and Richard M. Ryan. (1985). Intrinsic Motivation and Self Determination in Human Behavior. New York: Plenum Press.
  3. Elliot, Stephen N., Thomas R. Kratochwill, Joan Liitlefield and John F. Travers. (1999). Educational Psychology, Effective Teaching Effective Learning. Chicago: Brown & Benchmark Publishers.
  4. Fleming, Malcolm and W. Howard Levie (editors) (1993) Instructional Message Design.
  5. Engelwood, New Yersey: Educational Technology Publications.
  6. Newman, Barbara M and Philip R. Newman (1995). Development Through Life. A
  7. Psychosocial Approach. (6 th ed.). Singapore: Brooks/Cole Publishing Company
  8. Ryan, Richard M. and Edward L. Deci (2000) Intrinsic and Extrinsic Motivations:
  9. Classic Definition and New Directions. Contemporary Educational Psychology, 25, 54-67.
  10. Stipek, Deborah (1998). Motivation to Learn. From Theory To Practice. Boston: Allyn and Bacon.
  11. Santrock, John W. (2001). Educational Psychology. Boston: Mc Graw Hill, Int’l Ed.
  12. Wlodkowski, Raymond J. (1986). Enhancing Adult Motivation to Learn. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

[1] Ketua Pembina Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia, Ketua YPNF. Alumnus Psikologi UI, Magister Manajemen Unpad, Bdg, dan Master of Education UNSW, Sydney,
[2] Lihat dalam Wlodkowski, 1986, h. 57

Tidak ada komentar: