Rabu, Januari 16, 2008

Pragmatisme Pendidikan

Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Jika pendidikan sekadar untuk persiapan hidup, maka pendidikan terjebak dalam hal-hal pragmatis. Keterjebakan ini membawa pada hal-hal teknis, serba konkret, juklak, dan juknis. Ujungnya ialah kehambaran dalam pendidikan. Penyebab hambarnya pendidikan adalah lepasnya praksis pendidikan dari pijakannya, yakni filsafat. Filsafat dalam pendidikan sangat berperan dalam proses transfer of knowledge dan transfer of values.

Dalam transfer of knowledge membutuhkan bagian dari filsafat, yakni ontologi (obyek materi) dan epistemologi (hakikat ilmu pengetahuan), dan dalam transfer of values berkaitan dengan aksiologi. Ada enam hal yang menyebabkan filsafat tidak berkembang dalam pendidikan nasional baik pada level kebijakan maupun pada level praksis. Pertama, kebijakan pendidikan terjebak pada hal-hal teknis seperti penyusunan prosedur operasional standar (POS). Yang diurus dan diperhatikan tidak jauh dari apa yang disebut mekanisme. Kedua, pelaku pendidikan (utamanya pendidik) terjebak dalam hal-hal yang sifatnya text book.

Mungkin hal ini bisa dimaklumi karena beban materi pelajaran yang harus disampaikan sangat banyak, apalagi adanya tuntutan kejar target untuk mengantarkan peserta didiknya lulus ujian nasional. Ketiga, pemahaman pendidik tentang filsafat pendidikan itu sendiri masih kurang, sebab bekal yang diperoleh sewaktu kuliah tidak lebih dari dua SKS. Itu pun disajikan dalam mata kuliah dasar umum (MKDU). Keempat, kurangnya buku filsafat yang bahasanya relatif sederhana. Selama ini banyak orang yang enggan membaca apalagi mendalami filsafat karena bahasanya susah untuk dimengerti. Untuk memahami satu kalimat saja perlu dibaca berulang-ulang. Sebenarnya hal ini bisa dimak-lumi karena kebanyakan buku-buku filsafat yang ada adalah terjemahan.

Kelima, ada opini publik yang memandang filsafat sebagai hal yang negatif, ada pula yang memandang filsafat sebaiknya dipelajari di usia senja. Pandangan ini disebabkan maraknya mahasiswa filsafat yang berkelakuan aneh-aneh, nyentrik yang terkadang menjadi sesuatu yang ekstrem dalam perspektif masyarakat umum. Keenam, semakin minimnya mahasiswa yang tertarik mengambil jurusan filsafat. Hal ini disebabkan oleh prospek yang bagi kebanyakan orang dipandang kurang bagus jika dibandingkan dengan fakultas teknik, kedokteran, MIPA, atau komunikasi, dan psikologi. Pentingnya revitalisasi Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan harus dijaga dan dikembangkan eksistensinya. Sebab, tanpa adanya filsafat, utamanya dalam pendidikan, akan mematikan daya kritis, daya nalar, dan daya kreatif peserta didik.

Untuk revitalisasi tersebut, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, antara lain, pertama, memasukkan mata pelajaran dasar-dasar filsafat dalam pendidikan level menengah atas (SMA/SMK/MA). Selama ini yang ada baru materi logika yang dititipkan dalam mata pelajaran matematika. Dasar-dasar filsafat penting untuk dikuasai pada anak level SMA, sebab akan membekali dasar-dasar keilmuan yang kuat pada siswa. Siswa akan tahu obyek formal yang dipelajari mata pelajaran (ontologi), siswa menjadi tahu dan akan kritis terhadap hakikat pengetahuan yang dipelajari (epistemologi), dan siswa dapat mengimplementasikan nilai yang diperoleh dari kajian yang dipelajari (aksiologi). Kedua, materi pelajaran dalam kurikulum hendaknya memicu daya kritis, bukannya malah mekanis. Jadi, dalam setiap kompetensi dasar, ada peluang untuk dikritisi semisal mengapa materi ini dipelajari, bagaimana materi ini terbentuk, bagaimana kebenaran materi yang dipelajari, dan lain sebagainya.

Ketiga, memperbanyak buku filsafat yang dapat dicerna anak-anak usia sekolah. Idealnya bahasanya sederhana tetapi membangkitkan daya kritis siswa Keempat, perlunya kesadaran bagi individu untuk menjaga eksistensi filsafat, terlebih bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia atau jurusan filsafat. Untuk menjaga eksistensi jurusan filsafat rasanya tidak perlu harus bersikap aneh-aneh yang bisa menyebabkan banyak orang enggan untuk mempelajari atau memilih jurusan filsafat.

Tidak pula harus senantiasa melakukan reinterpretasi sesuatu atau kajian yang given dari Tuhan karena hal ini bisa jadi kontra produktif. Kelima, pentingnya memasukkan unsur-unsur filsafat dalam setiap mata pelajaran. Sebab, pada hakikatnya semua materi pelajaran yang dipelajari adalah bagian dari filsafat itu sendiri. Penulis yakin jika filsafat dalam pendidikan hidup maka output pendidikan akan mendalami ilmu pengetahuan yang dipelajari menjadi lebih berbobot, lebih menghunjam dan bukan sesuatu kajian yang dipelajari untuk sekadar menjawab soal dalam ujian. Lebih dari itu dengan pemahaman dan penghayatan filsafat maka anak didik kita menjadi manusia yang bijak sebagaimana makna filsafat itu sendiri. Barnawi Guru pada MA Alhikmah 2 Benda Sirampog, Brebes, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: