Kamis, Januari 17, 2008

Mengajarkan Teknik Problem Solving Kepada Anak

Oleh: Drs. Fahmy Alaydroes, psi., MM, MEd.
Pendahuluan

Sangatlah penting bagi para siswa untuk memiliki teknik problem solving karena sebagian besar pelajaran yang mereka hadapi mengarah ke pemecahan masalah. Kemampuan problem solving bagi seorang siswa tidak hanya berguna untuk menyelesaikan soal-soal akademik, tetapi juga dapat diterapkan untuk hal-hal di luar sekolah dalam memecahkan masalah-masalah sehari-hari. Kemudian, ketika para siswa sudah mempelajari problem solving, maka mereka akan mempunyai cara yang efektif dalam proses belajar (learning process). Orang-orang yang pandai dalam problem solving dimotivasi untuk meningkatkan performa mereka sebelumnya dan membuat kontribusi original. Oleh karena itu, siswa yang menyelesaikan sience fair projectPara siswa tersebut dapat mempergunakan umpan balik dari penilaian atau informasi dari orang lain yang berbicara dengan para siswa tersebut tentang penggarapan proyek itu dengan baik.[1] dapat melihat kembali pada proyek itu dan berpikir mengenai cara-cara proyek itu dapat garap dengan baik.

Ada berbagai cara untuk memecahkan masalah, tetapi acapkali apa yang kita pilih tidak mengantar kita untuk mencapai satu solusi atau membutuhkan terlalu banyak energi, pemikiran dan sumber-sumber lainnya daripada yang seharusnya. Berarti hal ini menghendaki kemampuan dan keterampilan untuk mempergunakan teknik-teknik yang baik sehingga kita dapat menemukan cara yang paling efisien untuk memecahkan masalah. Pada berbagai penelitian dan studi, berbagai teknik dan model yang baik tentang problem solving telah diajukan. Esai ini akan menjelaskan model problem solving strategis dengan beberapa kemungkinan kegagalan dan kemudian bagaimana mengajarkan keterampilan ini kepada para siswa.

Apakah Problem Solving


Problem solving adalah sebuah proses kognitif untuk mencari solusi untuk mengatasi hambatan yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dari suatu pandangan pemrosesan informasi, problem solving adalah sebuah pencarian serangkaian jalur yang terbaik dimana dapat mengatasi hambatan dan mengarah ke tujuan.[2] Problem solving sebagai suatu keterampilan khas (specialized keterampilan) di dalam domain pengetahuan daripada keterampilan tergeneralisasi (generalized keterampilan) dapat diterapkan lintas berbagai content areas. Smith dan rekan-rekannya (1993) menyatakan bahwa problem solving adalah kemampuan untuk mengkombinasi aturan-aturan yang sudah dipelajari sebelumnya (baik secara relasional maupun prosedural), pengetahuan deklaratif dan strategi kognitif di dalam domain content untuk memecahkan hal-hal yang belum dihadapi sebelumnya.[3] Sementara itu, Medin et al (1997) menyatakan bahwa problem solving terjadi apabila seseorang mencoba untuk mencapai suatu tujuan dengan memulai dari serangkaian kondisi dengan cara menstranformasi kondisi ini, tetapi tanpa pengetahuan yang tersedia dengan segera atas suatu solusi.[4] Dengan kata lain, problem solving berkenaan dengan menemukan cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.[5]

Dari pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang problem solving, dapat dinyatakan ada empat aspek di dalam sebuah masalah:[6] Pertama adalah tujuan. Hal ini berupa pengetahuan (state of knowledge) ke arah mana masalah itu diarahkan dan sekurang-kurangnya kriteria apa yang dapat diterapkan untuk menilai apakah masalah ini telah diselesaikan atau tidak. Kedua adalah givens mencakup objek, kondisi dan constraints, berkenaan dengan masalah ini baik secara eksplisit maupun implisit. Ketiga adalah masalahhambatan. Masalah-masalah memiliki hambatan tertentu. Sebuah tujuan yang dapat dicapai hanya dalam satu langkah tunggal yang sudah diketahui biasanya tidak dianggap merupakan suatu masalah. dimana harus memiliki cara untuk mentransformasi kondisi, merubah kondisi awal. Dan keempat adalah

Masalah-masalah dapat dibagi menjadi dua jenis: masalah yang sudah terdefinisikan dengan baik (well defined problems) dan masalah yang belum terdefinisikan secara gamblang (ill-defined problems). Masalah yang sudah terdefinisikan dengan baik adalah masalah-masalah dimana solusinya sudah jelas dan tujuannya (goal state) sudah tersedia, sedangkan masalah yang belum terdefinisikan dengan gamblang adalah masalah-masalah dimana kita tidak dapat memecahkan tanpa mengambil tindakan tertentu untuk mendefinisikan lebih lanjut atas masalah-masalah tersebut.[7] Masalah-masalah yang sudah terdefinisikan dengan baik sepenuhnya telah menspesifikasi kondisi awal, tujuan dan cara-cara transformasi kondisi. Games dan teka-teki adalah bentuk masalah yang terdefinisikan dengan baik. Masalah-masalah yang belum terdefinisikan secara gamblang mempunyai aspek tertentu yang tidak sepenuhnya terspesifikasi. Masalah berkenaan suatu keputusan yang terbaik atas karir yang menarik adalah suatu yang belum terdefinisikan secara gamblang.

Problem Solving dan Teori Kognitif


Problem solving adalah suatu proses kognitif. Sweller (1999, h. 37-39) melihat bahwa proses memecahkan masalah melibatkan skema-skema, struktur pengetahuan yang telah dipelajari dan tersimpan dalam memori jangka panjang. Menurutnya, seorang siswa yang sedang memecahkan suatu masalah harus memberikan pertimbangan tertentu atas berbagai unsur skema tersebut. “Skema-skema ini tersimpan dalam memori jangka panjang dan dapat ditransfer menjadi memori kerja bila dibutuhkan”, kata Sweller. Sementara itu, Newell dan Simon, seperti dikutip oleh Medin dan Ross (1987, h. 444) melihat problem solvers sebagai sistem yang sedang memproses informasi. Keduanya berpendapat bahwa sejumlah karakteristik utama tentang sistem pemprosesan informasi manusia mempengaruhi bagaimana sistem ini dapat memecahkan masalah-masalah.

Smith dan Ragan (1993, h. 250) menjelaskan bahwa agar dapat memecahkan masalah pada sebuah domain, para pelajar (learners) harus memiliki kemampuan berikut:

- Kemampuan untuk mengingat dan menerapkan aturan-aturan atau rumus-rumus yang relevan; kemampuan untuk mengidentifikasi situasi dimana aturan-aturan itu dapat secara tepat diterapkan atas satu masalah tersebut.

- Kemampuan untuk mengingat kembali pengetahuan deklaratif; Pengetahuan deklaratif membantu pelajar untuk memahami masalah dan membatasi ruang masalah (yaitu, pernyataan tujuan, dari mana memulai, kemungkinan arah solusi) dari masalah tersebut.

- Kemampuan untuk mengingat dan menerapkan strategi kognitif; Strategi kognitif dapat memudahkan pelajar (learner) untuk (1) memahami dan merepresentasikan satu masalah tersebut (2) menguraikan satu masalah tersebut menjadi sub-sub tujuan; (3) mencari, menyeleksi dan mengkombinasikan pengetahuan relevan; (4) merangkaikan aplikasi pengetahuan; dan (5) memonitor keberhasilan relatif atas solusi-solusi.
Pemula dan Pakar dalam Problem Solving

Dalam hal ini, yang cukup membantu adalah membahas pertumbuhan dalam pengertian umum: pada tingkat global, bagaimana seorang problem-solver tingkat ahli berbeda dari seorang problem-solver tingkat pemula? Atau, dalam konteks schooling, apakah perbedaan antara problem solver pemula dan problem solverproblem solver dewasa dapat menangani lebih banyak masalah. Hal ini sebagian karena besar kapasitas pemrosesan informasi meningkat dengan faktor usia. Problem solver tingkat ahli lebih cakap dalam mengorganisir informasi dalam clusters bermakna. Hal ini bukan karena mereka lebih banyak tahu, tetapi mereka telah mengorganisir pengetahuan yang dimiliknya ke dalam struktur yang terjalin dengan sangat rapih. Apa yang mereka telah pelajari tersimpan dalam hirarki yang punya tingkat manfaat yang maksimum untuk tugas-tugas pemecahan masalah. Mengingat kembali satu elemen dapat menimbulkan pengingatan kembali atas unsur-unsur terkait sehingga dapat mengembangkan informasi hingga tingkat informasi yang signifikan dimana dapat diproses melalui suatu sistem yang sangat terbatas. pakar? Ross dan Mayness (1987) menyatakan bahwa

Elliot et al (1999, h. 301) menyatakan bahwa Problem Solver yang baik memiliki karakteristik berikut ini: sikap positif, mempunyai perhatian atas faktor akurasi, kebiasaan untuk memecahkan masalah-masalah menjadi beberapa bagian, menghindari sikap duga-duga (guessing) dan pemecahan masalah secara aktif (active problem solving). Sementara itu, menurut Larkin et al., 1980; Schonfeld, 1985; Hayes & Flower, 1986 (Glover et al., h. 166) dikatakan bahwa para pakar memulai dengan mempergunakan berbagai upaya untuk mencoba memahami suatu masalah dan mereka bekerja dari data atau informasi yang sudah ada (givens) dari suatu masalah ke arah suatu solusi. Sebaliknya, pemula terlihat mempunyai cita rasa yang rendah (sense) dalam cara mengorganisir informasi yang terbatas yang mereka punya.

Hambatan dalam Memecahkan Masalah


Dalam memecahkan satu masalah tertentu, acapkali kita menemukan berbagai hambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan kegagalan untuk mencapai satu solusi tertentu. Santrock (2001, h. 299-300) menyatakan bahwa sejumlah hambatan umum yang acapkali terjadi di antaranya adalah: fiksasi, konfirmasi, kurangnya motivasi dan ketekunan.
Fiksasi berkenaan dengan penggunaan suatu strategi sebelumnya dan gagal melihat suatu masalah dari satu perspektif yang baru. Functional fixedness adalah suatu tipe fiksasi dimana seorang individu gagal untuk memecahkan suatu masalah karena dia melihat unsur-unsur yang terkait hanya dalam kaitan dengan fungsi-fungsi lazimnya saja. Seorang siswa yang menggunakan sepatunya untuk memalu paku telah mengatasi faktor functional fixedness untuk memecahkan suatu masalah. Dia telah mampu keluar dari pola pemecahan masalah yang tradisional dan cenderung kaku.

Sementara itu, confirmation bias adalah suatu kecenderungan untuk mencari dan mempergunakan informasi yang mendukung ide-ide kita daripada menolaknya. Oleh karena itu, dalam memecahkan suatu masalah, seorang siswa dapat punya hipotesis awal bahwa suatu pendekatan tertentu akan berfungsi dengan baik. Dia menguji hipotesis itu dan mendapatkan bahwa hipotesis itu benar pada waktu tertentu. Kemudian, siswa tersebut menyimpulkan bahwa hipotesisnya adalah benar daripada mengeksplorasi lebih lanjut bahwa hipotesisnya ini tidak berfungsi dalam waktu tertentu.

Dengan kata lain, para siswa sudah memiliki berbagai kemampuan problem solving, tetapi mereka akan gagal mencapai satu solusi apabila mereka tidak dimotivasi untuk mempergunakannya. Yang penting bagi siswa adalah dimotivasi secara internal untuk memecahkan satu masalah dan teguh dalam mencari suatu solusi atas masalah tersebut. Dengan motivasi yang buruk, para siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan mereka secara optimal dan mereka akan mengalami kegagalan untuk mendapatkan cara-cara yang efektif dalam memecahkan masalah, seperti kegagalan untuk mengobservasi dan mempergunakan seluruh fakta-fakta dan masalah yang relevan, kegagalan untuk mengadopsi prosedur yang sistematis, setahap-demi-setahap, kegagalan untuk melihat hubungan yang vital pada satu masalah tersebut, dan kegagalan penggunaan teknik sloppy dalam mendapatkan informasi dan mempergunakan reasoning processes dari seseorang.

Beberapa Strategi Problem Solving


Berbagai model dan cara telah diusulkan untuk membantu individu memecahkan berbagai ragam masalah. Elliot et all (1999, h. 301) membagi strategi problem solving menjadi dua kategori: general (juga disebut weak) dan strong (juga disebut specific atau detailed). Strategi General, menurut de Bono (1984), adalah serangkaian prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman yang dapat diterapkan pada situasi tertentu. De Bono mengambil contoh seorang pewawancara yang selalu menyeleksi individu-individu yang mendapat rating nomor dua: prestasi mereka (achievement) hampir sebaik mereka yang mendapatkan rating pertama, tetapi secara temperamental lebih kecil kemungkinan mengalami kesulitan di dalam pekerjaan. Struktur operasional agaknya merupakan basis general problem solving, dan mengarah ke serangkaian metode yang cukup general yang merupakan inti perilaku problem-solving. Suatu strategi yang kuat (strong strategy) adalah satu strategi yang didesain untuk suatu tujuan spesifik, yaitu suatu strategi yang agak unik untuk suatu subjek khusus. Setiap orang yang mengenali konsep inti (core concept) dari suatu subjek adalah lebih baik untuk dapat memulai langkah-langkah memecahkan satu masalah dengan mempergunakan pengetahuan tersebut.

Hill Climbing


Hill climbing adalah suatu teknik sederhana untuk memecahkan masalah yang berjalan dengan asumsi bahwa problem solving adalah setiap “gerakan” yang memungkinkan seorang problem solver satu langkah lebih dekat ke tujuan adalah worth taking. Strategi ini berfungsi dengan pertama-tama membedakan kondisi sekarang dari seorang problem solver (kondisi awal) terhadap kondisi tujuan dan kemudian mengambil langkah tertentu yang bergerak lebih dekat ke tujuan. Misalnya, lihat masalah ini:

D O N A L D

+ G E R A L D

R O B E R T D = 5

Gunakan informasi yang tersedia bahwa D = 5, maka dapat difahami bahwa T harus sama dengan 0 dan langkah ini membawa ke kolom berikutnya (L+L), dimana R harus angka ganjil 1, 3, 7 atau 9. Kemudian, karena D + G harus > 5 (D=5), maka R harus 7 atau 9. dan seterusnya. Dengan demikian, hill climbing terdiri dari meneruskan mencari satu langkah berikutnya yang membuat seorang problem solver bergerak lebih dekat ke tujuan.

Fractionation


Newell dan Simon mengidentifikasi suatu strategi general unggulan dalam problem solving bahwa dengan memilah suatu masalah menjadi sub-sub masalah atau fractionation. Teknik ini adalah suatu pendekatan yang berguna untuk memecahkan tugas tertentu dimana masalah ini dapat dibagi secara baik ke dalam sub-sub masalah yang koheren. Misalnya, Anda diberikan tugas untuk membentuk 10 panitia POMG (parent-teacher committies) di sekolah Anda. Anda diinformasikan bhawa setiap komite yang terdiri dari empat orang harus ada di dalamnya sekurang-kurangnya satu orang guru, satu orang tua dan dua pria dan dua wanita. Anda segera memecah tugas ini kt dalam bagian-bagian untuk menyederhanakannya. Oleh karena itu, Anda memecahkan sub-masalah pertama dengan memilih 10 guru, menugaskan satu untuk setiap kelompok – juga dengan mudah tercapai. Kemudian, Anda menugaskan seorang ibu dan seorang bapak untuk setiap kelompok-juga dengan mudah diselesaikan. Pada akhirnya, setelah meneliti komposisi panitia tiga orang, Anda menambah baik seorang guru atau seorang tua dengan jenis kelamin yang sesuai untuk memastikan bahwa setiap kelompok terdiri dari dua pria dan dua wanita. Catatan, tidak seluruh kelompok akan memiliki komposisi orang tua dan guru yang sama, tetapi seluruh akan memenuhi kriteria ini. Fractionation ke dalam sub-sub masalah menjadikan tugas ini lebih sederhana.

Means-ends analysis


Means-ends analysis adalah salah satu kejadian yang paling sering untuk pemecahan masalah manusia dan hal ini penting pada sistem inteligensi artifisial sekarang ini (AI) (Newell & Simon). Ide dasar means-ends analysis itu sangat sederhana. Langkah pertama adalah membandingkan kondisi sekarang dengan tujuan (goal state) dan mengkarakteristikkan perbedaan. Penggunaan perbedaan ini adalah membantu untuk memutuskan apa yang seharusnya dipilih oleh seorang operator. Apabila dapat digunakan lebih dari satu operator, maka pertama-tama pilihlah salah satu yang menggusur sebagian paling besar perbedaan tersebut. Kemudian, teknik ini diaplikasikan untuk perbedaan baru (yaitu, antara kondisi baru dan tujuan) dan seterusnya hingga seluruh perbedaan direduksi dan tujuan tercapai (dalam Medin & Ross, 1997, h. 450). Sementara itu, Sweller (1999, h. 39) mengatakan bahwa apabila menggunakan means-ends analysis, seorang problem solver harus mencoba menemukan suatu hubungan antara problem goal dan problem givens dengan mencari operator yang dapat memperlihatkan hubungan itu. Dia juga menyatakan bahwa acapkali seorang problem solver mulai dengan tujuan dan upaya bergerak ke belakang dari tujuan atas givens dengan mencari serangkaian operator yang berhubungan. Santrock (2001) menjelaskan suatu means-ends analysis itu bersifat heuristic dimana individu mengidentifikasikan tujuan (end) dari suatu masalah, menilai situasi sekarang dan mengevaluasi apa yang harus dilakukan (means) untuk mengurangi perbedaan antara dua kondisi tersebut. Nama lain untuk means-ends analysis adalah difference reduction. Pada contoh aljabar berikut ini, suatu yang mudah untuk melihat langkah-langkah memecahkan X dimana mengaplikasikan means-ends strategy yang bergerak dari pernyataan masalah (1) hingga pernyataan tujuan (5).

(1) 6X + 7 = 4X – 21

(2) 6X = 4X – 21 – 7

(3) 6X – 4 = –21 – 7

(4) 2X = – 28

(5) X = – 14

Schema based-strategy

Strategy means-end sering disebut sebagai strategi yang paling efisien dalam memecahkan masalah. Menurut Sweller (1999) pendapat tersebut benar sepanjang seorang problem solver dihadapkan pada masalah yang sama sekali baru, dimana belum ada skema dalam struktur kognitifnya. Means-ends strategy sepenuhnya memusatkan perhatian pada goal state, dimana langkah-langkahnya selalu mengarah pada upaya meniadakan perbedaan antara problem state dengan goal-state. Dalam hal ini, menurut Sweller: “means-ends analysis tidak dimaksudkan sebagai suatu strategi pembelajaran, tetapi sebagai suatu strategi pencapaian tujuan”. Strategi tidak didesain untuk menggunakan skema. Sementara seringkali siswa dihadapkan pada masalah yang tidak relevan dan tidak ada hubungan sama sekali dengan strategi yang telah dipelajari.

Sweller bahkan berpendapat bahwa dengan strategy means-ends, seorang problem solver secara simultan harus berupaya menemukan langkah-langkah (operator) yang membawanya pada sub-sub tujuan, menjaganya dalam fikiran (mind) sampai mencapai goal state. Tidak satupun aktivitas yang dilakukan berdiri sendiri, masing-masing elemen saling terkait. Bila elemen interaktifitasnya tinggi, maka beban memori kerja akan tinggi. Oleh karena itu, dalam konteks mendapatkan hasil belajar yang lebih efektif, penggunaan skema (akuisisi skema) dalam memecahkan masalah menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan.

Dengan menggunakan skema, seorang problem solver mendapat bantuan dari skema bagaimana cara jalan memecahkan masalah. Skema menuntun seorang problem solver dalam sekali langkah (one mental step) dan mengajak problem solver melihat seluruh solusi sebagai suatu entitas tunggal. Tentu saja untuk mendapatkan petunjuk dari skema, seorang siswa harus menyimpan banyak skema yang terkait dan relevan dengan problem yang dihadapi melalui serangkaian latihan. Seorang yang sering berlatih tentang triangle geometry, niscaya akan dengan mudah memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan triangle geometry tersebut.

Mengajarkan Problem Solving kepada Para Siswa

Mengajarkan berbagai strategi problem solving kepada para siswa menghendaki dukungan teknis dan media secara tepat agar dapat mendapatkan hasil yang optimal. Tujuannya adalah bagaimana para siswa dapat memperoleh manfaat yang tinggi dari proses pembelajaran problem solving dengan menerapkan keterampilan ini apabila mereka menghadapi masalah riil baik di dalam maupun di luar sekolah.

Berbagai usulan telah diajukan ke guru-guru tentang bagaimana mengajarkan teknik-teknik problem solving kepada para siswa dari berbagai sudut pandang. Dalam penjelasan berikut ini, kita akan melihat sejumlah pedoman dan cara agar dapat memecahkan teknik-teknik problem solving kepada para siswa secara efektif.

Mendukung siswa-siswa Anda untuk memecahkan masalah

Elliot et al. (1999, h. 322-323) memberikan saran bagaimana menggunakan strategi problem solving di ruang kelas. Mereka mengusulkan bahwa guru sebaiknya memberikan perhatian yang cukup kepada para siswa dalam langkah-langkah berikut ini:

(1) Menganalisis berbagai kesulitan dalam perilaku problem solving siswa: Biasanya kesulitan seorang siswa muncul karena satu atau beberapa sebab-sebab berikut:

(a) Inteligensi; Meskipun tingkat inteligensi siswa tidak terlalu tinggi, seorang guru tetap dapat meningkatkan kemampuan siswa tersebut dalam teknik memecahkan masalah dengan mengajukan soal-soal yang tidak terlalu abstrak.

(b) Motivasi; Motivasi dapat ditingkatkan dengan cara memberikan masalah-masalah yang relatif mudah di awal latihan. Dengan demikian, siswa mendapatkan pengalaman yang menumbuhkan rasa percaya diri untuk menghadapi masalah-masalah berikutnya.

(c) Informasi: Kadang suatu masalah tidak memberikan data yang memadai kepada siswa, atau siswanya sendiri tidak mampu menghubungkan informasi yang mereka telah miliki dengan soal yang sedang dihadapinya sekarang ini. Dalam hal ini, guru sepatutnya mendapat kepastian bahwa siswa mendapatkan data dan informasi yang cukup tentang soal yang harus dipecahkan.

(d) Pengalaman: Pada umumnya, saat pertama kali menghadapi suatu masalah, siswa masih dalam keadaan bingung (bewildered). Guru harus secara aktif memperagakan teknik-teknik memecahkan masalah, dan biarkan mereka mencoba pada soal-soal yang sederhana. Sampai akhirnya mereka mereka mendapatkan pengalaman bagaimana menghadapi masalah dalam situasi yang berbeda.

(e) Mind-set: Ajarkan para siswa mencoba menggunakan berbagai pendekatan, jangan hanya terpaku pada satu model atau cara.

(2) Mengkoreksi berbagai kesulitan siswa: Ajarkan siswa bagaimana cara mendekati masalah, menggunakan informasi dan pengetahuan yang sudah dimiliki serta yang ada di masalah itu sendiri untuk mencari solusi. Dengan menuntun siswa tentang bagaimana melihat bagian-bagian masalah menjadi sesuatu yang berarti, seorang guru bukan hanya menolong siswa bagaimana menyederhanakan masalah namun juga mendorong mereka untuk selalu bersikap positif terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan masalah.

(3) Mengajarkan – mengajarkan secara langsung – teknik-teknik problem-solving: Bimbinglah siswa bagaimana memanfaatkan kesalahan yang telah dilakukan. Mengapa langkah yang telah dilakukan salah?, Dimana letak kesalahannya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, siswa menjadi terlatih bagaimana memanfaatkan kesalahan yang telah dilakukan.

(4) Memberikan para siswa kesempatan untuk memecahkan masalah: Kesuksesan dalam hidup banyak ditentukan oleh kemampuan melihat, menganalisis dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, berikanlah kesempatan sebanyak-banyaknya kepada para siswa untuk mengamati, mempelajari dan berlatih memecahkan berbagai masalah dalam berbagai situasi.

Selain itu, Elliot juga menyatakan bahwa dengan mempergunakan berbagai strategi problem solving, para guru sebaiknya memulai dengan pernyataan bahwa para siswa sangat nyaman, secara sadar memilih instruksi langsung atau tidak langsung dan menginstitusikan suatu program instruksional yang baik. Sementara itu, Smith dan Margan (1993, h. 259) mengatakan bahwa dengan memberikan suatu masalah yang dapat dipecahkan secara berhasil akan mempromosikan kepentingan dan motivasi untuk memecahkan masalah-masalah berikutnya. Kedua penulis menyatakan bahwa instruksi sebaiknya dikonstruksikan untuk memberikan praktek yang berhasil secepat-cepatnya.

Memberikan para siswa Anda Kesempatan Melakukan Berbagai Praktek

Praktek adalah perlu untuk mengembangkan keahlian. Simon (1980) memperkirakan seorang atlet catur punya pengetahuan yang baik mengenai lebih dari 50.000 pola dan hal ini membutuhkan sekurang-kurangnya 10 tahun untuk menjadi seorang ahli dalam domain tertentu yang kompleks. Sebagian hal, praktek dapat memungkinkan seorang problem solver mempelajari berbagai kondisi dan tindakan penting dari domain terkait dan melakukan berbagai aksi secara “otomatis.” (Medin, Douglas L. dan Brian H. Ross, 1996: Cognitive Psychology 2nd ed, h. 479-480. Fort Worth: Harcourt Brace Publishers). Sementara itu, Chase dan Chi (1980) seperti yang dikutip dalam Smith dan Ragan (Instructional Design, h. 261) menyatakan bahwa ribuan jam praktek dapat merubah seorang problem solver pemula menjadi seorang problem solver tingkat ahli. Setelah para pelajar telah mengalami solusi berbagai soal contoh, maka mereka seharusnya mempunyai peluang untuk memecahkan soal-soal atau masalah-masalah dengan kesulitan serupa.. Pedoman instruksional, seperti petunjuk, pertanyaan pengarah, presentasi database tentang aturan-aturan dan saran-saran tentang berbagai strategi sebaiknya dicoret secara bertahap.

Lebih jauh, menurut Sweller (1999), sesungguhnya kemampuan memecahkan masalah sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak pengetahuan yang terkait dengan masalah yang sedang dihadapi di dalam skema. Semakin banyak berlatih matematika, maka semakin banyak jaringan skema dalam diri siswa dan semakin mudah ia menemukan pemecahan masalah. Dengan kata lain, melatih siswa agar terampil dalam memecahkan masalah bertumpu pada jenis masalah yang dihadapi. Kemampuan memecahkan masalah matematika tidak dapat ditransfer untuk memecahkan masalah geografi, karena masing-masing memiliki sifat dan karakter masalah yang berbeda. Oleh karena itu, untuk menjadi trampil dalam memecahkan masalah matematika, seorang siswa harus dilatih sebanyak-banyaknya mengenai persoalan matematika dan untuk menjadi pakar geografi seorang siswa juga harus dilatih dan diberi sebanyak-banyaknya pengetahuan tentang geografi. Dengan memperbanyak latihan, maka dengan sendirinya informasi dan pengetahuan yang diperoleh akan membentuk skema, kemudian disimpan di dalam memori jangka panjang. Suatu saat, manakala diperlukan, skema tersebut secara otomatis akan muncul saat menghadapi masalah yang relevan. Dari sini dapat difahami bahwa dengan berlatih, kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah menjadi semakin baik.

Salah satu cara untuk mempraktekkan pemecahan masalah kepada para siswa adalah melalui studi kasus. Studi kasus dapat serupa dengan simulasi dimana mempresentasikan suatu situasi realistik dan memerintahkan para siswa merespons seolah-olah mereka adalah orang-orang yang harus memecahkan satu masalah tersebut. Studi kasus juga menghendaki para siswa untuk menyeleksi dan memanipulasi berbagai aturan dan prinsip agar dapat memecahkan masalah. “Case materials” adalah deskripsi orientasi masalah dari suatu peristiwa yang dapat diyakini dimana memberikan keterangan yang cukup memadai untuk memungkinkan pembaca menganalisis proses masalah/solusi. Sebuah kasus yang tuntas menjelaskan seluruh situasi dan mencakup informasi latar belakang, aksi dan reaksi orang-orang terlibat, solusi dan kemungkinan konsekuensi tindakan yang diambil. Case materials sebaiknya mempunyai informasi dan keterangan latar belakang yang cukup memadai sehingga mereka dapat dibaca dan diyakini.”

Merepresentasikan masalah dalam bentuk Grafik

Langkah pertama dan paling mendasar dalam problem solving adalah merepresentasikan informasi dalam bentuk simbolik atau diagram. Bentuk simbol memberikan informasi masalah itu dalam bentuk kata-kata, huruf-huruf atau angka-angka, sedangkan bentuk diagram memberikan informasi dalam bentuk kumpulan garis-garis, titik-titik atau sudut-sudut.

Representasi grafik adalah ilustrasi visual dari pernyataan-pernyataan verbal dan dapat membantu dalam memahami masalah dam memetakan solusi-slusi atas masalah-masalah. Sejumlah peneliti telah membahas penggunaan dan efek representasi grafik dalam problem solving (Bransford, Sherwood, Vye, & Rieser, 1986; Silver, 1987). John dan rekan-rekannya merekomendasikan prosedur lima langkah untuk mengajarkan para siswa mempergunakan representasi grafik dalam kerja mereka. Lima langkah ini adalah sebagai berikut:

1. Mempresentasikan sekurang-kurangnya satu contoh outline grafik yang baik sesuai dengan jenis outline yang Anda akan ajarkan.
2. Membuat model tentang bagaimana mekonstruksi baik outline grafik yang sama atau outline grafik yang akan diperkenalkan.
3. Memberikan pengetahuan prosedural tentang kapan dan mengapa para siswa seharusnya mempergunakan jenis struktur grafik tertentu.
4. Melatih para siswa dalam mempergunakan struktur grafik dengan memerintahkan mereka untuk menjelaskan struktur yang mereka pilih dan kemudian memberikan para siswa umpan balik mengenai berbagai pilihan mereka.
5. Memberikan para siswa peluang untuk mempraktekkan membuat outline mengenai struktur grafik dan memberikan kepada mereka umpan balik.

Membantu para siswa mentransfer proses belajar mereka

Ketika kita mengajarkan para siswa teknik-teknik problem solving, kita menghendaki mereka mempergunakan teknik-teknik ini untuk beragam situasi dan tidak menganggap teknik-teknik ini hanya digunakan di ruang kelas saja. Transfer of learning mengacu kepada berbagai upaya untuk memahami bagaimana mempelajari satu topik mempengaruhi proses belajar berikutnya. Kondisi-kondisi tertentu tentang apa dan seberapa besar yang akan ditransfer, di antaranya adalah sebagai berikut:

- Kesamaan tugas melatih pengaruh yang kuat atas pengalihan

- Tingkat proses belajar awal adalah unsur penting dalam pengalihan

- Inteligensi, motivasi dan pengalaman masalah lalu adalah variabel-variabel personal yang penting tetapi sulit untuk mengontrol, mempengaruhi proses pengalihan

Santrock (2001, h. 308) menyatakan cara-cara membantu para siswa mengalihkan informasi:

- Berpikir tentang apakah para siswa Anda harus mengetahui keberhasilan hidup

- Memberikan para siswa berbagai peluang untuk proses belajar di dunia nyata

- Mengajarkan berbagai strategi yag akan membuat generalisasi
Solving goal-free problem

Para siswa akan diberi pelajar secara efektif apabila mereka harus memecahkan masalah dimana tujuannya belum dispesifikasi dengan baik. Dalam hal ini, para siswa harus menemukan cara dengan mencari probabilitas tertentu yang mereka dapat lakukan. Goal free problem mengarah para siswa melakukan greakan secara random atau ditentukan dengan gerakan sebelumnya. Dengan tindakan ini, kemudian para siswa mempunyai berbagai pengalaman untuk melakukan perilaku berikutnya di masa depan dengan jauh lebih efektif. Keadaan ini berlawanan dengan masalah yang biasanya dihadapi. Pada masalah konvensional, siswa dihadapkan pada tujuan (goal state) yang diminta. Dengan demikian, seluruh perhatian siswa terpusat pada upaya mencari jalan untuk mencapai goal state tersebut. Kondisi ini menyebabkan siswa berorientasi pada langkah-langkah ke depan, yaitu langkah-langkah yang mengantarkan kepada kondisi yang semakin dekat dengan goal state. Akibatnya, siswa tidak pernah mengambil pelajaran pada langkah-langkah yang telah dia tempuh, karena seluruh perhatian ia tumpahkan pada langkah berikutnya. Dalam perspektif belajar tentu saja dia tidak mendapatkan pengalaman belajar yang berarti. Lagipula, menurutnya, goal-free problem dapat mengurangi cognitive load.

Sweller kemudian memberi contoh dalam kasus seorang siswa yang berhadapan dengan persoalan yang dikonstruk dalam bentuk konvensional seperti berikut ini:

Dalam 18 detik sebuah mobil balap dapat melakukan start dari kondisi diam dan menempuh jarak 305.1 meter. Berapakah kecepatan yag akan dicapai oleh mobil balap itu?

Sebagaimana yang dapat dilihat dalam contoh di atas, specific goal state dalam soal di atas yang nampak dalam kalimat terakhir, dapat diganti dengan indeterminate goal seperti:

Hitunglah nilai variabel sebanyak-banyaknya yang Anda dapat lakukan.

Dengan goal yang tidak spesifik, mencegah siswa menggunakan cara backward-working, means-ends strategy, yang kemudian dapat mengurangi cognitive load.
Melakukan Praktek dengan Mempergunakan Worked Examples

Sweller (1999) mengajukan hipotesis bahwa worked examples akan memfasilitasi proses belajar seperti yang terjadi pada goal-free problem. Worked examples seharusnya secara tepat memfokuskan perhatian, mengurangi cognitive load bila dibandingkan dengan masalah-masalah konvensional dan, akibatnya, memudahkan akuisisi skema dan otomasi aturan (rule automation). Dengan worked examples, seorang siswa tidak perlu lagi memberi perhatian pada hal lain yang tidak berhubungan dengan problem state. Dengan sendirinya, siswa akan memahami langkah-langkah yang akurat dan efektif bagaimana memecahkan masalah. Dengan demikian, siswa mendapatkan pengalaman belajar yang nyata dan relevan dengan soal yang sedang dihadapinya.

Efektifitas worked examples dalam proses belajar didukung oleh sejumlah temuan yang diperoleh dari berbagai studi. Misalnya apa yang dilakukan oleh Chi, Bassok, Lewis, Reiman and Glaser (1989) yang telah menemukan bahwa lebih banyak siswa yang pintar lebih terlatih daripada siswa yang kurang pintar dalam menganalisis worked examples. Lebih banyak siswa yang pintar dapat membuat penjelasan yang lebih terinci dan lebih sadar tentang kegagalan pemahaman atas bacaan (comprehension failures) daripada siswa yang kurang pintar. Zhu dan Simon (1987) dalam studinya mengenai efek pemberian worked examples pada pelajaran matematika menemukan bahwa siswa yang diberikan worked examples lebih baik performanya ketimbang siswa yang belajar dengan teknik tradisional. Demikian juga apa yang ditemui oleh Pass (1992) dalam studinya dengan menggunakan konsep statistik, mendapat kesimpulan bahwa prestasi kelompok yang mendapat worked examples mengungguli kelompok yang bekerja dengan teknik konvensional. (lihat Sweller, 1999 h. 71). Dengan hasil studi yang dilakukan banyak peneliti menunjukkan bahwa belajar dengan worked examples telah menunjukkan hasil yang signifikan.

Penutup

Secara umum, keterampilan memecahkan masalah dapat ditingkatkan melalui pedoman dan pelatihan sistematis dan terarah. Mengajarkan teknik-teknik keterampilan problem solving bagi para siswa seharusnya dilakukan melalui pendekatan holistik dan terintegrasi dengan mempertimbangkan faktor motivasi, teknik atau strategi serta teori kognitif. Tiga faktor ini saling terkait dan saling mempengaruhi dimana salah satu faktor itu diabaikan, maka kita tidak dapat memperoleh hasil yang optimal untuk meningkatkan keterampilan problem solving para siswa.

Meningkatkan motivasi siswa dalam problem solving dilakukan melalui berbagai cara dan hal ini akan memberikan dukungan menyeluruh atas para siswa untuk terlibat secara aktif dan memungkinkan mereka suka dalam proses problem solving. Di sini, seorang pelatih atau guru sebaiknya memperhatikan prinsip-prinsip motivasi dasar dalam proses belajar, proses menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan para siswa semangat dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah atau soal-soal.

Apabila motivasi telah tercipta, maka apa yang kita butuhkan adalah kapabilitas untuk menemukan cara-cara yang efektif dalam proses problem solving. Pedoman mengenai berbagai pendekatan dan model problem solving untuk melatih kapabilitas general dalam keterampilan ini begitu berarti dan efektif. Sekurang-kurangnya, seorang siswa mengetahui dan mendapatkan berbagai pengalaman dalam mengaplikasikan berbagai cara utuk menemukan problems solving melalui model-model dan teknik-teknik yang telah penulis jabarkan.

Keterampilan problem solving tidak dapat dipisahkan dari bagaimana sistem kognitif seharusnya berfungsi. Oleh karena itu, deskripsi tentang karakteristik arsitektur kognitif harus dipertimbangkan dalam mengajarkan teknik-teknik problem solving. Di sini, cognitive load theory memberikan kontribusinya. Salah satu cara yang berperan penting dalam meningkatkan keterampilan problem solving adalah memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyimpan berbagai skema mengenai soal-soal yang relevan dengan apa yang mereka hadapi. Apabila kita akan melatih seorang siswa menjadi seorang problem solver tingkat pakar, maka kita harus mensuplai system kognitif siswa tersebut dengan serangkaian pelatihan atau pendidikan. Dalam pelatihan atau pendidikan ini, pertimbangan efisiensi dan efektifitas kerja dari sistem kognitif dalam problem solving harus mendapatkan perhatian.

Refferences

Elliot, Stephen N., Thomas R. Kratchowill, Joan Liitlefield, and John F. Travers.(1999). Educational Psychology. Effective Teaching, Effective Learning. 2nd ed. Madison: Brown & Benchmark Publishers.

Glover, John A., Royce R. Ronning and Roger H. Bruning. (1990). Cognitive Psychology for Teachers. NY: MacMillan Publishing Company.

Medin, Douglas L. and Brian H. Ross. (1997). Cognitive Psychology.2nd ed. Forworth:Harcourt Brace & Company.

Smith, Patricia L. and Tilman J. Ragan. (1993). Instructional Design. NY: MacMillan Publishing Co.

Santrock, John, W. (2001). Educational Psychology. Int’l ed. Boston: MacGraw Hill Company.

Sweller, John. (1999). Instructional Design. Camberwell: Acer Press.

[1] Santrock, John W., 2001. “Educational Psychology”. Int’l edition. Boston: Mc Graw Hill. P. 299.

[2] Glover, John A., Royce R. Ronning and Roger H. Bruning. 1990. Cognitive Psychology for Teachers. NY:MacMillan Publishing Company, p. 150

[3] Smith, Patricia L. and Tilman J. Ragan. 1993. Instructional Design. NY:MacMillan Publishing Co. p. 249

[4] Medin, Douglas L. and Brian H. Ross. 1997. Cognitive Psychology. (2nd ed.). Forworth:Harcourt Brace & Company, p. 439)

[5] Santrock, John, W. 2001. Educational Psychology. (Int’l ed ). Boston: MacGraw Hill Company, p.298

[6] Medin and Ross, op.cit p. 438

[7] Glover et al., op cit, p. 151

Tidak ada komentar: